Share

Penghinaan Untukku

#SAUDARA RASA ORANG LAIN (6)

Bukannya aku nggak mau untuk menjaga Faraz, tapi kalau aku tak berjualan, pemasukan pun otomatis menjadi berkurang. Karena hanya mengandalkan pemasukan dari Bang Arham saja.

Akhirnya kuputuskan untuk datang sebentar ke rumah Bang Majid besok pagi. Sepulangnya dari rumah Emak nanti.

Aku juga sudah mengatakan pada Bang Arham perihal ini semua. Kata Suamiku itu, gapapa aku datang dulu saja untuk mengatakan langsung pada Bang Majid bahwa aku nggak bisa menemani Faraz karena harus berjualan.

🌼🌼🌼

Pagi pun kini telah menyapa, Emak sedang menyapu halaman rumah yang sudah dipenuhi oleh dedaunan yang jatuh dari ranting-ranting pohon.

Aku pun bersiap-siap sambil menunggu Bang Arham selesai beberes. Aku juga sudah selesai membantu Emak untuk membereskan rumah walau ada Bik Neti, tapi kami semua tetap melakukan pekerjaan rumah.

Setelah semuanya selesai, kami pun pamit pada Emak, dan segera meluncur ke rumahnya Bang Majid.

"Kami pulang dulu ya, Mak? Nanti Insha Allah Kami kesini lagi." Pamit Bang Arham sambil mencium punggung tangan Emak. Emak pun mengusap-usap pucuk kepala Bang Arham. Damai sekali rasanya melihat pemandangan ini. Lalu aku pun dan juga Anak-anak turut ikut mencium punggung tangan Emak sambil berpamitan.

"Kalian hati-hati ya di jalan? Semoga Allah selalu memberkahi setiap langkah yang kalian jejaki, Aamiin." Doa Emak yang membuat hati ini terasa sejuk bagai disirami air es.

"Aamiin." Jawab kami serentak.

🌼🌼🌼

Kini, kami semua sudah sampai di depan rumahnya Bang Majid. Rumah sekaligus tempat usaha catering Bang Majid. Rumah yang sangat indah menurutku. Halamannya luas sekali, serta dindingnya yang bercat putih menambahkan kesan luas dan terang. Ditambah lagi dengan pagar berwarna hitam yang tinggi menjulang.

Aku turun dari motor, lalu memencet bel yang terletak di sebelah kanan pagar rumah tersebut.

Tak lama seseorang yang kuperkirakan adalah karyawannya Bang Majid itu bergegas untuk membukakan pagar.

"Nyari siapa?" Tanyanya arogan.

"Bang Majidnpya ada? Saya Lila, adiknya Bang Majid," jawabku, dia menautkan kedua alisnya. Sejenak memperhatikanku dari atas sampai bawah, membuatku menjadi risih.

"Sebentar." Lalu dia pun pergi masuk ke dalam rumah, dan tak lupa menutup pagar kembali, tanpa menyuruhku masuk terlebih dulu. Aku pun hanya bisa menunggu di depan pintu pagar bersama Bang Arham dan juga anak-anak.

Sepertinya lelaki tadi adalah karyawan baru Bang Majid. Karena waktu terakhir aku berkunjung kesini, lelaki tersebut belum ada. Itu pun setahun lalu kalau tak salah, memang sudah lama sekali aku tak kesini. Karena walaupun saudara sekandung tapi tetap saja ada perasaan tak enak jika sering-sering kesini.

Kulihat dari balik pintu pagar, lelaki tadi berjalan lagi ke arah tempat di mana kami sedang berdiri. Dia bergegas membukakan pintu dan menyuruh kami langsung masuk ke dalam.

Kata lelaki tersebut, Bang Majid sedang pergi dan di rumah hanya ada Kak Arimbi saja. Lalu aku pun segera masuk untuk menemui Kak Arimbi.

Tok!

Tok!

Tok!

"Assalamualaikum, Kak." Aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

Ceklek! Pintu pun terbuka.

"Wa'alaikumsalam, eh Lila. Masuk sini, mari silahkan masuk," sambut Kak Arimbi dengan ramah. Tak biasanya Kak Arimbi seramah ini, apa karena memang sedang ada maunya ya? Makanya dia menjadi ramah seperti ini.

Lalu kami pun segera masuk ke dalam rumah mewah ini, dan duduk di atas sofa empuknya. Ada Faraz dan juga Fariz yang sedang tertidur di atas kasur tak jauh dari tempat kami duduk.

Bang Arham hanya diam saja sedari tadi, Amalia dan Raffa juga sudah kami wanti-wanti agar tak memegang semua peralatan yang ada di dalam rumah Bang Majid. Karena takut rusak atau pecah, dan aku tak bisa menggantinya.

Setelah membukakan pintu, Kak Arimbi langsung ke belakang. Entah dia mau ngapain.

Tak lama Kak Arimbi datang dari arah dapur. Lalu dia pun langsung duduk di sofa tepat di depan kami.

"Begini, Lila, Kakak mau minta tolong sama kamu untuk jagain Faraz. Dia lagi demam jadinya rewel banget, sedangkan pesanan catering itu lagi banyak banget, kamu mau kan? Cuma sekitar tiga hari aja kok," ujar Ibu beranak dua itu to the point.

Aku terdiam sejenak, menyusun kalimat demi kalimat di dalam hati yang akan terlontar dari mulutku. Agar tak menyakiti hati Kak Arimbi, karena aku akan menolaknya.

"Gimana Lila?" Tanyanya lagi, memastikan.

"Ehem, begini Kak. Sebelumnya aku mau minta maaf karena pesanan kue aku juga lagi banyak yang order, jadi aku nggak mau ngecewain pelanggan aku, jadi aku sekali lagi mohon maaf sama Kakak bukannya nggak mau ngejagain Faraz, tapi emang waktunya lagi nggak tepat," tuturku pelan menjelaskan dan terpaksa lagi-lagi harus berbohong, tapi dalam hati mengamini, semoga habis ini doaku langsung diijabah oleh Allah yaitu banyaknya orderan kue. Kak Arimbi berdecak kesal. Raut wajahnya mulai berubah menjadi jutek.

"Jadi nggak bisa? Kalau nggak bisa ngapain kesini? PHP dong namanya?" Ujarnya sinis. Kedua tangannya melipat di depan dada sambil bersandar pada sofa.

Ruangan ini mendadak menjadi tegang. Aku belum menjawab.

"Assalamualaikum, eh Lila udah datang." Bang Majid tiba-tiba datang, dia membawa banyak sekali kardus-kardus berisi sayuran sepertinya. Ada kardus bergambar kaleng biskuit terkenal juga. Bang Arham refleks berdiri untuk membantu membawakan kardus-kardus tersebut, lalu dibawa masuk ke tempat penyimpanan, bersama salah satu karyawan Bang Majid.

Kak Arimbi mengikuti Suaminya ke dalam, dan meninggalkan aku disini. Amalia dan Raffa yang mungkin sedari tadi sudah merasa bosan, akhirnya mulai berdiri dan hendak keluar.

"Bu, Lia mau keluar dulu ya, sama Raffa. Disini bosen cuma bengong aja," Lia pamit untuk keluar dan bermain dengan Raffa di halaman depan.

"Yaudah gapapa, tapi ingat pesan Ibu ya? Jangan pegang-pegang apapun," pesanku pada mereka.

"Siap, Bu." Mereka pun langsung berlari keluar rumah.

🌼🌼🌼

Tak lama Bang Arham muncul dari dalam, lalu diikuti Bang Majid di belakangnya dan juga Kak Arimbi.

Mereka berdua lalu menuju sofa dan duduk di depanku. Sedangkan Bang Arham duduk di sebelahku.

"Gimana Lila? Mau kan bantuin Kakak kamu untuk jagain Faraz? Cuma tiga hari kok," aku diam tak menjawab, padahal pertanyaan tadi sudah dilontarkan oleh Kak Arimbi, tapi kenapa kini Bang Majid malah bertanya lagi? Apa Kak Arimbi belum bercerita? Entahlah.

"Maaf Bang. Aku nggak bisa, bukannya nggak mau, tapi lagi ada pesanan kue juga dalam jumlah banyak. Makanya aku mau selesaikan orderan dulu," jawabku, mengulangi ucapan tadi pada saat ditanya oleh Kak Arimbi.

"Memangnya total orderan kue kamu berapa sih? Abang ganti deh, bilang aja kamu nggak mau jagain anak Abang karena nggak digaji kan? Jangan itung-itungan kenapa sih sama saudara sendiri? Begitu amat kamu, La!" Cecorosnya, tanpa menunggu jawaban dariku lagi.

Bang Arham memegang tanganku, menguatkan agar aku tak menangis. Aku memang manusia lemah, mudah sekali mengeluarkan air mata. Apalagi jika direndahkan oleh saudara sendiri.

"Maaf Bang. Tapi emang Lila lagi banyak orderan, dan kami sama sekali nggak minta pamrih apapun pada Abang dan juga Kakak. Kalau waktunya tepat juga pasti kami mau untuk menjaga Faraz, tapi karena kami tidak mau mengecewakan orang lain, makanya kami tidak bisa menjaga Faraz untuk saat ini," Bang Arham kini angkat bicara dan menjelaskan dengan detail. Bang Majid memutar kedua bola matanya, sambil berdecak kesal.

"Ya, Kan tadi Abangmu sudah nanya, berapa total orderan kamu? Biar kami ganti, masa minta tolong aja susah, apalagi sama saudara sendiri, jangan belagu lah jadi manusia!" Ucap Kak Arimbi tak kalah sengit. Aku kini jadi bingung sendiri. Ingin rasanya cepat buru-buru pergi dari sini, karena sudah tak nyaman sekali berada disini.

"Maaf Kak. Bukan soal nominalnya, tapi soal tanggung jawabnya. Kalau aku seenaknya membatalkan sepihak, nanti orang itu bakal kecewa sama aku. Yaudah, aku cuma mau bilang kayak gitu aja, Bang. Kami pamit dulu," karena sudah jengah banget dengan mereka berdua, akhirnya aku pun segera beranjak dari tempat duduk dan diikuti oleh Bang Arham, kami segera melangkah keluar. Tanpa bersalaman lagi. Karena kali ini aku benar-benar sudah malas dengan Abangku itu, terlebih lagi dengan istrinya.

"Arham! Lila! Sombong sekali kamu dengan kami sekarang. Saran Abang, kalau orang miskin jangan punya sifat sombong, takut besok-besok butuh bantuan Saudara." Ucap Bang Majid dengan lantangnya saat aku dan Bang Arham sedang berjalan keluar dari rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status