Hari itu, Alvan harus memaksa tubuhnya untuk bekerja meskipun ia merasakan lelah di sekujur tubuhnya.
Di depan mesin fotokopi, Alvan merenggangkan lehernya yang kaku dan memijatnya ringan dengan sentuhan lembut tangannya.
"Ah." keluhnya ringan.
"Ada apa dengan lehermu?" tanya Profesor Nia, ketika dia tiba-tiba memasuki ruangannya dan melihatnya mendesah lelah sambil memegang lehernya. "Apakah kau diam-diam melakukan pekerjaan sambilan lain? Kau terlihat sangat letih."
"Entah aku bisa menyebutnya pekerjaan sambilan atau tidak." gumam Alvan pada dirinya sendiri.
Namun sepertinya Profesor Nia bisa mendengarkan suaranya, hanya saja dia tidak menangkap jelas ucapannya. "Apa? Kau mengatakan sesuatu?"
"Tidak." tampiknya. "Aku tidak melakukan pekerjaan sambilan lagi. Meskipun aku sudah mengajukan hal itu pada Elsie, tapi dia tampak tak setuju dengan pendapatku."
Entah mereka memiliki pemikiran yang sama atau bagaimana, Profesor Nia lang
Malam ini, Direktur Johan tiba-tiba mengajak Eizel untuk makan bersama. Meskipun Direktur Johan adaah orang pertama yang menghubunginya ketika Direktur Jere meninggal. Ia tahu kalau panggilannya bukanlah hanya sekedar untuk memanggil biasa.Seperti yang tertulis dalam wasiat kakek angkatnya, baik Eizel maupun Elsie memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan harta. Hanya saja, harta itu akan jatuh ke tangannya jika Elsie tidak memenuhi syarat.Mungkin atas dasar tulisan di atas meterai itulah yang membut Direktur Johan tertarik untuk menggaet Eizel dalam pemberontakannya. Karena dia sadar tak memiliki kuasa untuk merebut perusahaan dari Elsie, dia meminjam tangannya untuk merebut semua kekayaan itu demi dirinya.Namun meskipun ia mengerti semua situasi itu, Eizel tidak menghindari Direktur Johan. Ia sudah terlanjur masuk ke dalam dunia ini, jadi ia akan meneruskannya, walau ia harus menanggung resiko kalau Elsie akan terus mencurigainya dan membe
Karena ia sudah dibayar menjadi temannya, Alvan merasa ia perlu bekerja sesuai bayarannya dan datang tepat waktu.Jadi tanpa memandang motornya yang sudah menua, ia menerjang jalan layaknya pembalap dan mengambil kecepatan yang tinggi dengan motornya yang butut.Hingga setelah menyiksa motor perjuangannya itu sedemikian rupa, Alvan sampai juga di tempat kerja kedunya dan terburu-buru menaiki tangga untuk sampai ke kantor wanita itu."Aku datang."Namun betapa sangat kecewanya yang dirasakannya, Alvan melihat ruang kerja Elsie kosong tanpa ada satu orang pun di sana."Ah, dia sedang bekerja di luar kantor." gumamnya sambil masuk ke ruangan Elsie dan menutup pintu yang ada di belakangnya. "Haruskah aku pulang lagi?"Jika tahu seperti ini, ia tak akan datang ke kantor dengan terburu-buru. Dalam secarik penyesalannya, ia merebahkan dirinya di kursi. Sambil menatap sekitar, ia memikirkan kegiatan apa yang dapat ia lakukan untuk menghabiskan
Walaupun Eizel tahu betapa terpaksanya Elsie untuk pergi mengikutinya, tapi ia senang wanita itu mau mendengarkan permintaannya.Di kedai di mana mereka dulu sering makan bersama, Eizel membawa Elsie ke sana hari ini untuk makan siang bersama.Ia akui, dengan datang ke tempat itu ia memang sedikit terkenang dengan masa cinta mereka yang dulu. Bahkan bisa dibilang ia sangat merindukan saat-saat itu. Hari itu, semuanya terasa manis. Kehidupannya seperti lengkap.Namun alasan ia menunjuk rumah makan ini bukan karena hal itu. Melainkan karena sebelum ia pergi ke luar negeri, rumah makan ini adalah rumah makan kesukaan Elsie.Walaupun jika ia boleh berkata jujur, sebenarnya ia tidak suka kembali ke sana. Karena kembali lagi ke tempat itu setelah sekian lama, hanya akan membuatnya menyadari betapa tidak sempurnanya kehidupan mewah yang ia rasakan sekarang. Datang ke tempat itu juga hanya membuatnya ingin menangis dalam penyesalan. Namu
Sebagian besar orang yang ada di gedung itu sudah pulang, karena akhir jam kerja sudah terlewat sejak tadi. Hingga hanya tersisa segelintir pekerja yang memutuskan untuk tinggal lebih lama untuk menyelesaikan tugas mereka, seperti yang dilakukan Anna saat ini.Seusai ia selesai dengan beberapa tugas sekretarisnya, Anna merenggangkan tubuhnya yang kaku di depan layar monitor dan menguap lebar.Sudah saatnya ia pulang. Akhirnya tugasnya selesai dan ia bisa tertidur dengan tenang.Namun bayangan Elsie yang memasuki ruangan, membuatnya memutuskan untuk menunda keinginannya sejenak dan masuk ke dalam ruangan atasannya untuk melaporkan perkembangan tugas yang telah ia selesaikan.Dengan senyum lebar yang disertai perasaan bangga, ia masuk mengetuk pintu dan menyapa direkturnya yang menghilang sejak makan siang. "Direktur ...,"Ucapannya tertahan dan senyumnya langsung luntur seketika.Nia melihat Direktur Elsie berdiri lemah dengan seb
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Hari itu, pagi-pagi Elsie mengajaknya untuk ke taman bermain. Tidak hanya itu, Elsie bahkan juga mengirimkan pakaian santai yang harus dikenakannya saat ke taman hiburan nanti.Karena tidak memiliki alasan untuk menolaknya, Alvan mengikuti rencana wanita itu. Dengan pakaian yang sudah dikirimkan wanita itu padanya, ia datang ke taman bermain dan menunggu Elsie di depan loket.Usai menunggu kira-kira lima belas sampai dua puluh menit, Elsie mulai menunjukkan batang hidungnya.Dari kejauhan wanita itu melambaikan tangannya dan tanpa sadar, tangannya terangkat membalas lambaian wanita itu."Maafkan aku, aku sedikit terlambat karena aku mempunyai beberapa hal yang harus kulakukan.""Tidak apa-apa. Apakah urusanmu sudah selesai? JIka belum, aku masih bisa menunggu hingga kau menyelesaikannya." ujarnya pengertian, lantaran ia tahu seberapa sibuknya wanita itu dalam kesehariannya."Tidak, sudah ti
Siapa sangka, caranya melamar hari itu membuat Alvan sangat terkejut. Namun tetap saja, seharusnya dia tidak meninggalkannya seperti itu. Karena dia pergi begitu saja ketika ia masih bersujud di tempatnya, semua orang jadi mengira kalau ia sedang ditolak oleh seorang pria. Semua orang menatapnya iba dan balon yang disediakan untuk menjadi perayaan jawaban Alvin pun, jadi terbang ke langit tanpa sebuah makna."Ada apa dengan pria itu? Kenapa dia bertingkah berlebihan seperti itu? Sebelumnya, aku saja pernah melamarnya di meja kasir. Kenapa sekarang dia terkejut ketika aku melamarnya di taman bermain?!" seru Elsie dengan perasaan kesal lantaran kejadian memalukan di taman bermain itu."Sudah kubilang, itu terlalu berlebihan." komentar Anna yang duduk di depannya sambil menyodorkan segala jenis makanan kesukaannya yang dapat menyurutkan emosinya. "Seharusnya Direktur cukup berkata kalau Direktur ingin menikah segera. Dia pasti akan akan menerimanya dengan lebih baik."
Pagi-pagi, di saat ia seharusnya pergi bekerja, Elsie mengajak Anna untuk pergi ke mall dalam rangka membuat keju perangkap.Seperti yang mereka tahu, pemberian terkadang bisa sangat ampuh untuk memikat hati siapa saja, dan kini karena Alvan belum menunjukkan batang hidungnya. Elsie —bersama Anna— mengatur strategi dengan mengambil hati ibunya lebih dulu.Jadi ketika mereka memasuki mall, dalam sekejap mata Elsie dan Anna berubah menjadi mata profesional yang mencoba untuk mencarikan barang yang cocok bagi ibu dan adik Alvan, yang akan segera mereka temui dalam beberapa menit kedepan."Bukankah ini bagus?" gumam Elsie yang di sahut oleh Anna dengan nada ragu-ragu."Sepertinya begitu."Lalu Elsie membawa tas pilihannya itu ke depan cermin untuk melihat tas pilihannya dengan seksama. "Kalau aku, aku pasti akan menyukainya. Namun bagaimana dengan ibu mertua?""Bagaimana jika yang ini saja?" Anna menunjukkan sebuah tas lain, lalu men
Alvan menunggu di depan kampusnya selagi ia sesekali melihat jam tangannya. Entah mengapa menunggu Elsie yang tak kunjung tiba, membuatnya semakin gugup. Hingga tangannya menjadi dingin dan banyak berkeringat.Sampai, setelah ia mencoba untuk bersabar lebih lama lagi, Elsie akhirnya tiba juga. Dengan mobil hitam mewah yang dibawanya, dia membuat Alvan semakin tersiksa oleh perasaan cemas dan puncaknya saat wanita itu datang menghampirinya."Maafkan aku, jalanan sangat macet saat aku datang kemari." ucap Elsie pertama kali setelah melihat wajahnya.Namun Alvin tidak menjawab dan hanya menggeleng sebagai ganti suaranya, lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam kampus.Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan itu.Layaknya sepasang kekasih di dunia nyata yang sedang bertengkar, lucunya mereka berlaku sama. Keduanya terdiam seribu bahasa dan saling sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.Sesekali suara tawa dari luar yang mengisi kes