LOGINVennesa Sanders, wanita karier sukses yang gila kerja, akhirnya mengambil cuti untuk mengunjungi adiknya di Pulau Serenova — pulau tenang nan indah di selatan Valderis. Namun, pertemuannya dengan Benjamin Addam, pemilik bar berkarisma dengan masa lalu kelam sebagai gigolo dan anggota jaringan gelap, mengubah segalanya. Saat organisasi lamanya mulai mengincar Vennesa, Benjamin terpaksa kembali ke dunia yang telah ia tinggalkan demi melindunginya. Dalam pusaran cinta, penebusan, dan pengkhianatan, keduanya terperangkap di antara harapan dan takdir yang menuntut pengorbanan. Mampukah Benjamin menebus dosanya dan menyelamatkan Vennesa — atau cinta mereka akan tenggelam bersama gelombang Serenova?
View MoreMobil hitam itu meluncur laju di jalanan berliku Pulau Serenova, sebuah pulau kecil yang tersembunyi di tenggara negeri itu. Walau pun pulau ini jarang disebut dalam peta wisata, keindahannya membuat siapa pun yang datang ingin tinggal lebih lama. Jalan raya yang dilalui membelah kawasan hijau, melewati pekan-pekan kecil yang tampak sederhana tapi cukup maju. Rumah-rumah kayu berwarna pastel berdiri rapi di tepi jalan, dihiasi bunga kertas dan lampu jalan bergaya retro yang menambah pesona desa modern itu.
Di sisi kanan jalan, laut biru kehijauan terbentang luas sejauh mata memandang. Batu-batu besar di pinggir pantai menambah keindahan pemandangan, seolah melindungi laut dari amukan ombak. Cahaya matahari sore memantul di permukaan air, menciptakan kilauan keemasan yang menenangkan. Di sisi kiri, pohon-pohon cemara dan kelapa berjejer rapat, menciptakan lorong hijau yang membuat perjalanan terasa sejuk dan damai. “Cantiknya pemandangan di sini. Asik, kan, kalau bisa lebih lama di sini?” ujar Venesa, memecahkan kesunyian yang hanya diiringi deru mesin dan deburan ombak di kejauhan. Konsentrasi Velery, yang sedang memegang setir, sedikit teralihkan. Ia melirik kakaknya sekilas, lalu tersenyum kecil. “Ayo dong, Kak. Tinggal aja terus di sini. Nyaman, kok. Ya, walaupun pekannya kecil dan nggak ada perusahaan internasional kayak tempat kerja Kakak sekarang, tapi enak loh. Bikin usaha sendiri — kafe, kedai bunga, apa aja lah… asal bisa menikmati hidup yang tenang.” Venesa tertawa kecil mendengar rayuan adiknya. “Kamu ngomongnya gampang, Vel. Hidup itu nggak sesederhana itu. Semua butuh rencana.” “Tapi Kakak juga butuh bahagia,” sahut Velery sambil mengedip nakal. “Dari dulu kerja mulu. Coba sekali-sekali pikirin diri sendiri.” Venesa hanya tersenyum tanpa menjawab. Pandangannya kembali jatuh ke luar jendela, menikmati pemandangan laut yang perlahan mulai tertutup oleh barisan perumahan kecil di tepi jalan. Perjalanan mereka dari bandara menuju vila yang disewa Velery memakan waktu hampir satu jam. Venesa dikenal di kotanya sebagai seorang perunding pelaburan di perusahaan internasional ternama. Di usia tiga puluh tahun, ia sudah memiliki reputasi sebagai pekerja keras, disiplin, dan sangat kompeten. Wajahnya cantik, tubuhnya terawat, tutur katanya selalu terukur. Tapi di balik semua kesempurnaan itu, Venesa menyimpan kekosongan yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun. Beberapa kali ia jatuh cinta — dan setiap kali pula ia disakiti. Mungkin, pikirnya dalam hati, wanita berkarier sepertinya memang ditakdirkan untuk sendiri. Lelaki datang dan pergi, sebagian kagum pada pencapaiannya, tapi mundur perlahan setelah merasa tak mampu menandingi dirinya. Velery, adiknya yang baru berusia dua puluh tahun, adalah satu-satunya keluarga yang ia punya. Mereka kehilangan kedua orang tua dalam kecelakaan jalan raya dua belas tahun lalu. Saat itu Venesa baru menginjak delapan belas tahun, sementara Velery masih anak kecil berusia delapan tahun yang belum mengerti arti kehilangan. Sejak hari itu, Venesa mengambil alih peran sebagai ibu sekaligus ayah. Ia bekerja sambilan di restoran, menjadi tutor privat, bahkan menjual kue buatan sendiri demi biaya hidup dan pendidikan Velery. Semua ia lakukan sambil tetap melanjutkan kuliah di jurusan keuangan. Malam-malam panjang ia lewati dengan begadang, menghitung lembar demi lembar angka di laptop, sementara Velery tertidur pulas di sisinya. Ia pernah menangis diam-diam, bukan karena lelah, tapi karena takut tak sanggup mempertahankan satu-satunya keluarga yang tersisa. Kini, melihat Velery tumbuh menjadi gadis ceria dan penuh semangat, hati Venesa menghangat. Mungkin benar kata adiknya — hidup tak melulu soal kerja dan karier. Mungkin sudah saatnya ia mencari arti lain dari kata tenang. Kereta perlahan menurunkan laju saat papan bertuliskan “Selamat Datang ke Desa Mirandora” muncul di tepi jalan. Velery menepuk bahu kakaknya lembut. “Kita hampir sampai. Vila yang aku sewa di depan bukit kecil itu, Kak.” Venesa menoleh, menatap pemandangan yang makin memukau — rumah-rumah putih beratap merah di kaki bukit, dikelilingi ladang bunga liar yang sedang bermekaran. Hatinya berdesir aneh, seolah tempat itu menyimpan sesuatu yang menantinya. Di kejauhan, burung-burung beterbangan rendah, seperti menandai senja yang mulai turun. Jalan menuju vila melewati jembatan kecil dari kayu tua yang sedikit berdecit saat roda mobil melintas. Venesa sempat menatap air sungai jernih di bawahnya — tenang, tapi entah kenapa terasa asing. Velery menurunkan kaca jendela, membiarkan angin sore masuk. “Wangi banget, ya. Kayak aroma bunga liar yang Kakak suka.” Venesa tersenyum tipis. “Iya… tapi aneh, aku merasa pernah mencium aroma ini sebelumnya.” Velery mengerutkan kening. “Pernah ke sini sebelumnya?” Venesa menggeleng pelan. “Nggak. Setahuku belum pernah…” jawabnya, tapi suaranya menurun di akhir kalimat. Ada sesuatu di ujung ingatannya, samar, seperti bayangan masa lalu yang tak mau sepenuhnya muncul ke permukaan. Mobil terus menanjak pelan ke arah bukit. Di depan sana, tampak vila putih berdiri tenang di antara pepohonan. Cahaya jingga sore jatuh di dindingnya, membuatnya tampak hangat dan mengundang. Velery menepikan mobil dan mematikan mesin. “Kita sampai, Kak!” serunya riang. Venesa turun perlahan. Angin sore menyapa wajahnya lembut. Ia mengedarkan pandangan — halaman vila itu luas dan tenang, hanya ada suara jangkrik dari balik rerumputan. Hatinya berdesir aneh, seolah tempat itu menyimpan sesuatu yang menantinya. Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Venesa merasa... ia tak keberatan kalau perjalanan ini tidak berakhir terlalu cepat.Pagi itu, dua pengawal baru tiba untuk menggantikan shift malam. Mereka menapaki lorong bawah tanah yang lembap, membawa senter dan senjata di tangan. Namun, langkah mereka terhenti ketika melihat jeruji sel terakhir terbuka. Rantai pengikatnya terlepas, dan hanya ada mangkuk logam tergeletak di lantai kosong. “Dia… kabur?” suara salah satunya bergetar. Yang lain segera menekan alat komunikasi. “Cari dia! Cepat! Jangan biarkan tahanan itu lolos dari area markas!” Mereka berlari keluar menuju koridor sempit di ujung barak. Tanah di dekat pintu darurat masih basah oleh jejak kaki. Sementara itu, di sisi lain hutan, Ben terus berlari di antara akar pohon dan batu lembap. Napasnya berat, namun langkahnya mantap. Setiap suara di belakangnya membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah lima bulan ia bertahan di tempat itu, menunggu kesempatan sekecil apa pun — dan kini, inilah waktunya. Tiba-tiba, suara ranting patah terdengar di belakang. Dua pengawal muncul dari arah berlawanan
Malam itu, Ben duduk di sudut sel dengan pandangan kosong. Dinding beton di sekelilingnya dingin dan lembap, udara pengap membuat napasnya terasa berat. Tak ada suara selain detak jam tua di lorong — satu-satunya penanda waktu yang membuatnya tahu malam belum berakhir. Sudah lima bulan ia di tempat ini. Lima bulan tanpa tahu di mana ia berada, tanpa tahu siapa yang benar-benar mengawasinya. Tapi malam ini berbeda. Video itu — wajah Vennesa yang jujur dan penuh air mata — masih berputar di kepalanya. Kata-kata terakhir wanita itu terus terngiang: “Aku akan tetap menunggunya… sampai kapan pun.” Kalimat itu menyalakan sesuatu yang selama ini padam dalam dirinya: harapan. Ben mulai memperhatikan kembali setiap detail di sekitarnya. Letak kamera kecil di sudut dinding. Langkah penjaga yang selalu melewati pintu pada jam yang sama. Suara kunci yang beradu logam setiap kali shift berganti. Semuanya ia hafal satu per satu — seperti pola napas musuh yang menunggu untuk diserang. Ia t
Keesokan harinya, suara engsel tua kembali berderit panjang. Pintu besi berat itu terbuka perlahan, menimbulkan gema yang tajam dan dingin di dalam ruang sempit. Ben yang duduk bersandar di dinding hanya menoleh sedikit. Ia sudah hafal bunyi langkah itu — langkah angkuh dengan dentingan halus dari tumit tinggi. Wanita itu datang lagi. Jessica. Namun kali ini ekspresinya berbeda. Tak ada senyum menggoda, tak ada ejekan licik. Tatapannya datar, namun ada kepuasan di balik mata tajamnya — seperti seseorang yang baru menang taruhan setelah lama menunggu. “Masih kepikiran soal wanita itu?” tanyanya lembut, seolah menabur garam di luka yang baru saja mulai tertutup. Ben tak menjawab. Ia hanya menatap lantai di hadapannya, berusaha tidak terpancing. Tapi jantungnya berdegup cepat. Ia tahu — setiap kedatangan Jessica selalu membawa sesuatu. Dan sesuatu itu tak pernah baik. Wanita itu menatap layar kecil di tangannya, lalu memutar sesuatu tanpa banyak bicara. Suara lembut mengalun dari
Hari itu, wanita itu datang lagi.Langkah tumit tingginya menggema di lorong sempit, mengiris kesunyian seperti bilah tipis yang tajam. Aroma parfum mahal yang menyengat mengikutinya ke dalam ruangan berpintu besi, membuat kepala Ben sedikit pening. Namun kali ini, dia tidak membawa cambuk, tidak membawa amarah — hanya senyum sinis dan nada bercerita yang ganjil. “Aku baru dengar sesuatu yang menarik,” katanya ringan, bersandar di dinding dingin berlapis besi. “Katanya ada seorang wanita… yang begitu mencintaimu.” Ben yang duduk di lantai mengangkat wajah perlahan. Matanya sayu, namun tatapannya masih menusuk. “Kau ke sini cuma buat bercerita gosip?” suaranya parau tapi tenang. Wanita itu tersenyum tipis. “Gosip? Entahlah. Tapi kisah ini… cukup menyentuh hati.” Ia melangkah pelan, setiap hentakan tumitnya bergema di lantai logam. “Wanita itu dulu salah satu korbanmu, kan






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.