Tristan mencoba menenangkan Stella dari ketakutannya dengan mendekapnya erat dan mengelus lembut rambutnya. Meskipun Stella tidak bisa melihatnya, tapi ia bisa merasakan sentuhan hangat lelaki itu, dan kehadiran Tristan membuatnya merasa lebih aman. “Jangan takut, Stella. Aku di sini bersamamu,” bisik Tristan dengan suara lirih, ia mencoba menenangkan gadis itu. Suara tenang dan penuh kasih dari Tristan mampu meredakan sedikit ketegangan yang dirasakan Stella di tengah ketakutan yang menyelimuti dirinya.Sinar matahari pagi menembus jendela ruangan, menciptakan coretan-coretan cahaya yang menari-nari di lantai. Udara segar dan harum menyejukkan ruangan, memberikan suasana yang tenang meskipun masih tersisa kecemasan dalam hati Stella.Stella memandang keluar jendela, melihat gemerlap cahaya pagi yang menyinari bangunan-bangunan di sekitar kantor mereka. Meskipun alam luar terlihat damai, dalam hatinya masih ada kecemasan akan kejadian di gudang. Dia masih merasakan ketakutan yang mel
“Halo, Pak. Kamu bisa pulang terlebih dulu. Malam ini, aku ingin membawa mobil sendiri.”“Baik, Tuan.”Setelah menghubungi sopir pribadinya, Tristan meletakan kembali ponselnya di atas meja, ia melihat ke arah Stella yang masih tertidur pulas, meski malam sudah semakin larut. Meski begitu, lelaki tampan itu tak tega untuk membangunkannya.Stella menggeliat ketika udara dingin menyentuh wajahnya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Pandangannya memperhatikan dinding sebentar sebelum menyadari bahwa dia masih berada di kantor. Dengan refleks, ia bangun dari sofa dan duduk tegak, melihat ke arah jendela. Langit sudah gelap, dan melalui jendela, cahaya lampu-lampu kota mulai bersinar.“Kamu sudah bangun?” tanya Tristan dari meja kerja.Stella membalikkan kepala ke arah suara itu. “Sudah malam?” tanyanya kembali.Tristan mengangguk, menutup laptopnya dengan perlahan. “Ya, sudah larut.”Stella menatap jam dinding, jarum
Stella menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, ia begitu berat untuk mengungkapkan apa yang ada di benaknya. “Aku masih teringat saat kita dulu, saat aku menolakmu. Apakah kamu masih marah padaku karena itu?”Tristan yang masih fokus mengemudikan mobil, merasakan kebekuan di setiap sudut ruang hatinya. Dia bisa merasakan ketegangan di sepanjang ruang mobil, bahkan tanpa harus menoleh ke arah Stella. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, ke saat-saat yang dia inginkan untuk dilupakan, tetapi masih terukir jelas di dalam ingatannya.“Iya, aku masih marah,” jawab Tristan dengan suara yang terdengar rendah, tetapi penuh dengan ketegasan.Stella merasakan getaran kesedihan melintasi dadanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi melihat Tristan masih terbawa oleh kemarahan itu membuatnya merasa hancur. Dia berharap Tristan telah melupakan semuanya, tetapi sepertinya luka itu masih ada di dalam hatinya.“Maafkan aku
Tristan sedang fokus berolahraga di ruang gym pribadi di rumahnya. Pagi yang cerah memberinya semangat ekstra untuk menjalani latihan rutinnya. Dengan gerakan yang teratur, ia mengangkat beban besi dengan tangannya yang kuat, mengejar keringatnya dengan setiap repetisi.Tiba-tiba, pintu ruang gym terbuka, memotong konsentrasi Tristan. Evan, sahabat lamanya muncul di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya.“Tristan, sudah berapa lama kamu nge-gym? Aku sudah menunggumu dari tadi di luar, tapi kamu tidak kunjung keluar,” tanya Evan sambil memperhatikan sahabatnya yang tengah fokus berolahraga.“Aku akan habiskan hari Minggu untuk berolahraga,” jawab Tristan, masih fokus memainkan alat-alat gym-nya.Evan mengernyitkan kening melihat keputusan sahabatnya itu. ”Oh iya, kemarin aku melihat Weni di salah satu minimarket. Apa dia ada di Jakarta?” tanya Evan, mencoba mengalihkan perhatian dari topik olahraga.“Iya, dia sedang ada di Jakarta,” jawab Tristan sambil mengambil botol minum dan
Pagi ini hari begitu cerah menyambut kedatangan Tristan ketika ia memasuki kantor. Suasana kantor begitu sibuk dengan karyawan yang silih memasuki pintu masuk, membawa tas dan membicarakan rencana kerja mereka untuk hari ini. Terdengar suara ceria dari beberapa karyawan yang saling menyapa sambil berjalan menuju meja kerja masing-masing. Tristan melangkah dengan langkah tegas, ia berusaha fokus pada pekerjaannya hari ini.Namun, kesibukan pagi ini terganggu ketika seorang OB (office boy) yang bergegas dengan membawa seember air tak sengaja menabrak Tristan yang sedang melangkah maju. Air dari ember tersebut tumpah membasahi jas Tristan, membuatnya menjadi marah.“Shit, sialan!” umpat Tristan berang ketika jasnya sudah kotor.“Maaf, Tuan! Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap OB tersebut sambil panik, mencoba membersihkan air yang tumpah dengan tisu yang dibawanya.Tristan menatap OB tersebut dengan tatapan tajam, ekspresinya penuh kemarahan. “Ini jas baruku, bagaimana bisa kau begitu
Hoeek! Hoeek!Stella mencoba menutup mulutnya, ketika semua orang yang ada di ruang rapat melihat ke arahnya.“Maaf semua, saya permisi dulu,” pamit wanita berkulit mulus itu, sambil berlari keluar dari ruang rapat. Semua orang menatap heran kepada Stella, tak biasanya wanita itu mual-mual di tempat kerja.Setelah masuk ke kamar mandi, Stella langsung menuju wastafel. Wajahnya pucat dan terlihat sedikit berkeringat. Dia mencuci mulutnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan rasa mual yang mengganggu. Tetapi, mualnya tidak kunjung hilang.Hoeek! Hoeek!Setelah beberapa saat mencuci muka dan menghirup napas dalam-dalam, Stella menatap tampilan dirinya di cermin. Dia terlihat lelah dan gelisah. Pikirannya melayang ke belakang, mengingat apa yang telah terjadi beberapa hari belakangan. Stres di tempat kerja, pertemuan dengan Tristan, dan sekarang, mual yang tak kunjung mereda.“Kenapa aku jadi mual-mual seperti ini?” Dia mencoba mengingat apa yang mungkin menjadi penyebab mualnya. Ma
“Apa tidak ada pertanyaan lain yang kamu miliki? Kenapa bisa-bisanya kamu bertanya seperti itu? Kenapa bisa kamu mengira bahwa aku sedang hamil?” cecar Stella, sambil menatap kesal Tristan.“Gejala yang kamu miliki memang mirip seperti orang hamil, makanya aku bertanya seperti itu,” imbuh Tristan.Stella terlihat begitu kesal. “Memangnya kamu pikir aku wanita apaan yang bisa langsung hamil?”“Bukannya kamu sudah punya pacar, siapa tahu kamu hamil oleh pacarmu!” sergah Tristan dengan ekspresi yang ikut kesal juga.Bibir Stella terkatup mendengar perkataan Tristan. “Dari mana kamu tahu kalau aku sudah punya pacar? Kalau bicara, jangan ngaco deh!”Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Stella langsung meninggalkan Tristan dan keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya begitu cepat, menunjukkan betapa marahnya dia terhadap pertanyaan yang tidak sepatutnya dari Tristan.Tristan hanya terdiam, merasa menyesal atas kata-katanya yang terl
Tristan langsung meraih tangan Stella dan membawa wanita itu ke dekatnya. “Kalau mau lihat, lihat punyaku saja,” kata Tristan, tiba-tiba lelaki itu menarik tubuh Stella ke arahnya. Dan wajah Stella mendarat tepat di depan dada bidang Tristan yang begitu indah, sampai membuat mata Stella membelalak sempurna.Deg … deg … deg ….Stella terdiam menikmati irama detak jantung Tristan yang berbunyi begitu merdu di telinganya. Kedekatan mereka membuat Stella terdiam, sampai lupa akan segala hal. Wanita itu memandang dengan intensitas yang membuatnya merasakan getaran aneh di dalam dirinya.Stella tak bisa menahan tangannya untuk meraih dada bidang Tristan, ia mengelusnya begitu lembut sampai membuat tubuh Tristan berdesir. Sentuhan lembutnya menyebabkan gemetar tak terelakkan yang melintasi tubuh Tristan.Manik mata Tristan mengikuti dengan penuh perhatian ke arah mana jemari Stella bergerak. Dia merasakan getaran aneh yang melintasi kulitnya saat sentuhan lembut Stella menyentuhnya. Hatinya