LOGINDia telah mereguk manisnya madu asmara bersama ibuku, tapi tiba-tiba saja memaksakan sebuah pernikahan denganku. Aku belajar menanggung aib, berdamai dengan takdir. Walau aku tak tahu, apakah aku akan menemukan cinta sejatiku kembali
View MoreMobil pengantin berhenti.
Gandes belum mampu mengatur napas. Gaun zamrud beludru yang membungkus tubuh tinggi mungilnya terasa berat, membuat langkah terseret seperti terikat rantai tak terlihat. Gemerincing perhiasan menambah sesak di leher, seolah setiap kilau mengingatkan bahwa dirinya hanyalah pengganti, bukan pengantin yang sesungguhnya.
Gandes memandang rumah besar bercat gading. Lampu gantung di beranda memantulkan cahaya kuning pucat, menciptakan bayangan panjang yang menelan halaman. Dingin merayap dari bawah tapak kaki. Tangannya menggenggam ujung kebaya, mencoba menenangkan gemetar yang tak bisa disembunyikan.
Jati melangkah lebih dulu, tegap, tenang, berseragam putih dengan sabuk emas mengilap khas perwira Angkatan Darat. Setiap gerakan miliknya menunjukkan kekuasaan, tapi juga menyisakan bara yang samar di wajah. Tatapan mata tajam seolah mengusir segala bentuk kelemahan dari sekitarnya. Gandes berjalan beberapa langkah di belakang, tanpa berani menatap lelaki itu.
Pintu terbuka. Aroma bunga segar menyambut, bercampur dengan wangi kayu tua dan parfum yang menguar lembut. Ruang tamu tampak megah. Gandes terdiam dengan jantung terasa bergemuruh. Di dalam sana, muncul sosok wanita setengah baya, membawa bingkisan berlapis kertas perak.
"Ini hadiah dari Ayu untukmu, Jati," ucap Bu Wendy, budenya Jati.
"Terima kasih, Bude. Tapi kenapa Ayu tak datang?"
Senyum tipis muncul dari bibir wanita itu, bukan senyum ramah, melainkan sindiran yang dibungkus sopan. Tatapan tajamnya mengarah pada Gandes, seolah menelanjangi seluruh keberadaan gadis itu.
"Wah, pengantin baru rupanya tak sabar masuk kamar. Tante ganggu ya?""Bude, jangan mulai," ujar Jati, nada berat, berusaha menahan.
"Kenapa? Tante hanya ingin melihat menantu pengganti itu. Mirip ibunya waktu muda, ya? Mudah-mudahan tak semurah ibunya."
Gandes menahan napas. Tenggorokan terasa kering, jari-jari bergetar. "Bu, jangan hina Mama saya." Suaranya pecah.
Tatapan wanita itu memaku dirinya. "Kalau ibumu tahu malu, ia tak akan kabur saat akad. Anaknya tak perlu menanggung malu seperti ini."
Gandes memejamkan mata, menahan sesak.
"Cukup, Bude," ujar Jati keras. "Saya yang tanggung nama keluarga, bukan Bude."
Tawa sinis keluar pelan. "Ya, tanggunglah. Tapi jangan kaget bila perempuan itu nanti merepotkanmu, sama seperti ibunya."
Langkahnya menjauh, suara tumit menghantam lantai marmer hingga menghilang ke pintu. "Gadis begini kok dibandingkan Chandra Ayu," gumannya nyaris berbisik.
Hening. Gandes mematung. Pandangan kabur oleh air mata yang enggan jatuh. Dada terasa sesak karena luka yang disodorkan begitu terang. Ia menatap Jati, mata penuh amarah yang tak bisa disembunyikan.
Lelaki itu menatap balik, dingin, keras.
"Naik ke kamar." Suara datar, tapi tak bisa dibantah.Gandes melangkah perlahan, mengikuti salah satu pembantu menuju tangga.
Kamar terbuka. Ruangan luas dengan dinding warna kelam, ranjang besar bertabur kelopak mawar, tirai panjang berayun pelan. Aroma melati memenuhi ruangan, menyusup ke paru, menyesakkan dada. Gandes berdiri menatap ranjang itu lama. Ia menggenggam kedua tangan, berusaha mengusir gemetar.
Suara langkah berat terdengar mendekat. Jati muncul di ambang pintu, wajahnya keras, mata tajam menelusuri sosok gadis di depannya.
"Kenapa masih berdiri?"
Jati mendekat, jarak tinggal sejengkal.
"Atau mau kabur seperti ibumu?"Napas Gandes tercekat.
"Kalau aku ingin pergi... apa mungkin? Tadi pagi kamu sudah buktikan, dengan kekuasaanmu kamu bahkan bisa mengusir seseorang yang seharusnya berada bersamaku dalam pelaminan kelak. Bukan orang tua seperti kamu."
Wajah Jati memerah, rahang mengeras. Tangan mengepal.
"Jaga ucapanmu, Gandes!" Ucap Jati keras. "Kamu harus tahu kewajibanmu, melayaniku sebagai seorang istri."Gandes menelan ludah, kepala menunduk, suara bergetar.
"Aku bukan istri pengganti. Aku manusia yang punya hati. Pernikahan ini paksaan, aku tak harus melayanimu."Tawa pendek keluar dari Jati, getir.
"Kamu pikir siapa dirimu bisa bicara seperti itu? Kamu hanya alat untuk menutup aib keluarga."Gandes menatapnya, mata memerah. "Kenapa aku? Aku masih kuliah, aku punya kehidupan sendiri, aku juga punya seseorang yang aku cintai."
"Aku tak peduli," balas Jati tajam. "Kamu harus menanggung dosa ibumu."
Kata-kata itu menghantam lebih keras dari tamparan.
Jati melepas topi seragam, meletakkannya di meja. Tangan membuka sabuk emas perlahan. Suara gesekan logam memecah hening, membuat napas Gandes memburu. Lelaki itu melepaskan kancing seragam, menyisakan kaos tipis yang menempel pada tubuh tegapnya.
"Mau apa kamu?" bisik Gandes.
Senyum tipis muncul di sudut bibir Jati. "Mau apa, katamu?"
Langkah semakin mendekat.Gandes mundur selangkah, namun kakinya terjerat ekor kebaya. Tubuh Gandes terhuyung, menambrak dada keras di hadapannya. Tangan Jati memegang pinggangnya, kuat, nyaris tanpa jarak.
"Lepaskan aku!" seru Gandes, suara bergetar.
"Takut aku menyentuhmu?" tanya Jati lirih, namun menekan.
Gandes menunduk. Napas terasa berat. Aroma tubuh Jati bercampur dengan wangi melati, menciptakan sesuatu yang aneh: ketakutan dan kelembutan dalam waktu bersamaan.
Tangan Jati terangkat, menyentuh dagu lembut Gandes, mengangkat wajahnya.
"Lihat aku."Tatapan mereka bertemu. Waktu seolah berhenti. Di mata Jati ada amarah, tapi juga sesuatu yang lebih dalam, semacam luka yang disembunyikan.
"Kenapa kamu yang harus ada di sini, hah? Kenapa bukan ibumu?" Nada suaranya serak, hampir putus asa.
Gandes menahan tangis. "Aku tak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku..."
Air mata menetes, jatuh tanpa bisa dicegah.Wajah Jati semakin dekat. Napasnya menyentuh pipi. Satu tangan menumpu ke dinding, satu lagi di dagu Gandes.
Gandes menggigit bibir, menahan isak.
"Lepaskan... kumohon...""Diam!" bentak Jati, tapi suaranya tak lagi sekeras sebelumnya.
Jati menatapnya lama, wajahnya semakin dekat. Napas keduanya beradu.
Sentuhan pertama begitu singkat, hanya desiran bibir Jati di kening, lalu bergeser ke pipi, turun ke dekat rahang.
Gandes membeku. Ia tak tahu harus melawan atau berteriak. Tubuhnya gemetar, matanya terpejam, napasnya tertahan.
"Kamu yang mau berada di posisi ini!" Nafas Jati makin memburu. Dengan serakahnya ia melumat bibir Gandes, mengambil ciuman pertama gadis itu
"Lepaskan... tolong, jangan..." suara Gandes serak.
Jati berhenti. Ia masih menahan bahunya, tapi matanya kini menatap wajah gadis itu lama, dalam, seolah menimbang sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.
Seketika ia berbalik, melangkah menjauh, menekan napas berat.
Suara sabuk logam terdengar saat ia mengambilnya, tapi bukan dengan niat semula. Ia justru menendang kursi di dekat ranjang, marah pada dirinya sendiri."Bersihkan dirimu!"
Pintu tertutup, Jati melangkah pergi, namun hati Jati masih bergemuruh.
"Awas kamu, Gandes. Ini baru permulaan, kamu yang akan membayar penghinaan ibumu! "
Gandes berdiri diam, wajahnya basah. Ia diam. Hanya memandangi punggung Jati yang melangkah pergi meninggalkan kamar dengan langkah lebar.
Pintu tertutup pelan, tapi gema suaranya menggantung lama di kepala Gandes, membuat gadis itu luruh dan terisak.
Wulan mengusap lengannya pelan.“Dia bilang dia telah merusakmu, apa maksudnya?"Gandes terhuyung."Apa dia mengatakan yang lain?""Apa ada sesuatu diantara kalian?"Muka Gandes pucat. Dia menggeleng lemah. Dia tak ingin ada seorangpun yang tahu kejadian dia dan Ryan. Cukup Mica dan Jati saja.“Aku nggak pernah bermaksud melukai dia,” ucap Gandes, lebih ke arah dirinya sendiri.Wulan mendekat. “Kami tahu.”Werda menatapnya lembut. “Perasaan nggak selalu nurut.”Gandes menoleh. “Kalian yakin dia ke Australia?”Sandi mengangguk. “Dia sudah berangkat . Dia nggak mau bikin perpisahan.”Ada sunyi singkat. Suara sendok jatuh dari meja lain terdengar nyaring.Wulan menggeleng pelan. “Nomor barunya nggak dia kasih. Dia cuma titip pesan.”“Pesan apa?”Wulan menatapnya lama. “Dia bilang suruh kami jaga kamu."Gandes duduk kembali, bahunya merosot.“Aku masih berat,” ucapnya jujur. “Rasa itu belum selesai.”Werda memegang tangannya. “Itu wajar.”“Tapi aku juga tahu batas,” lanjut Gandes. “Aku is
"Gandes!” Panggilan Wulan membuat Gandes menoleh.Wulan melambaikan tangan dari kantin. Werda di sampingnya, Rendi dan Sandi duduk menghadap meja penuh gelas.“Kamu tuh ya, kapan hari baru masuk, ngak masuk lagi. Sekarang, sudah masuk terus?” tanya Wulan begitu Gandes mendekat.“Habis badanku nggak enak.”Werda menatap dari ujung kepala sampai kaki. “Tapi, kamu kelihatan beda.”“Lebih segar,” sambung Rendi.Gandes duduk. “Baru sembuh dari rumah sakit.”"Wah, maaf, kita kok nggak tahu." Werda merangkul Gandes.“Nanti habis kuliah kita ke mall, ya,” ajak Sandi. “Sekalian ngerayain hari jadian kita.” Sandi mengerling ke Wulan.Wulan tersenyum lebar. “Kita udah resmi, lho, Ndes."Gandes membelakkan matanya. "Serius?“Wulan mengangguk."Selamat,” ucap Gandes tulus merangkul Wulan.“Kamu ikut, ya,” pinta Wulan. “Biar rame.”Gandes ragu sebentar. “Lihat nanti. Kalau nggak capek.”“Kamu pasti ikut,” sahut Werda yakin. “Mukamu lagi pengen keluar rumah.”Mereka tertawa kecil. Untuk sesaat, Gand
“Wah, sudah segar?”Sontak Gandes menatap pria yang berdiri di ambang pintu dan tersenyum malu. Jati masih mengenakan seragam loreng lengkap, sepatu belum dilepas, tas sandang masih menggantung satu bahu saat Gandes mendekat dan mengulurkan tangan, tetapi segera ditarik Jati dengan mendaratkan ciuman di keningnya. Gandes mengenakan pakaian rumahan sederhana. Hanya rok lembut berwarna gading panjang yang jatuh pas mengikuti tubuh mungilnya. Rambutnya terkuncir rapi, wajahnya segar, pipinya kembali berwarna. Tidak pucat seperti pagi tadi.Jati tersenyum tanpa sadar. “Kamu… begitu cantik,” pujinya. Pipi Gandes merona. Jati sampai tak lepas menarap wanita di depannya. Maheswari muncul dari arah dapur sambil membawa gelas. “Jati, cepat ganti. Jangan dekat-dekat Gandes duluh sebelum bersih. Cucuku nggak boleh kena tatapan mata jahat dari luar.""Kanjeng Ibu, jangan keterlaluan. Aku cuma...""Pokoknya lain kali jangan pegang Gandes dulu sebelum bersih." Maheswari mendorong Jati menjauh
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Jati dengan suara lebih rendah dari biasanya. Bukan keras, bukan lembut. Seperti orang yang sedang menahan sesuatu agar tidak luntruh.“Kenapa tiba-tiba bicara seolah aku akan membencimu?”Gandes memejamkan mata. Detik berjalan, namun dadanya seperti berhenti. Jari-jarinya mencengkeram seprai. Ketika akhirnya bicara, suaranya nyaris tak keluar.“Bagaimana kalau anak ini… bukan anakmu?”Kalimat itu jatuh begitu saja. Tak dihias. Tak disiapkan. Namun dampaknya terasa nyata bagi Jati.Jati membeku. Rahangnya mengeras. Napasnya tertahan separuh. Matanya menatap Gandes lama, terlalu lama, seolah mencari kepastian bahwa ia salah dengar.Gandes memalingkan wajah. Bahunya bergetar, tapi ia berusaha diam.“Aku menghitung,” katanya cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Aku coba ingat. Aku coba yakinkan diri sendiri. Tapi angka itu tidak mau patuh.”Jati mendekat. Tangannya terulur, lalu berhenti sebentar, ragu, sebelum akhirnya menggenggam tangan Gandes.






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.