LOGINMereka menikah karena wasiat, bukan karena cinta. Mei Lin --mahasiswi tengil yang bicara dulu baru mikir, tidak menyangka hidupnya akan sekomedi ini. Suaminya? Zhang Yichen, CEO dingin yang bahkan lebih kaku dari jasnya. Tapi siapa sangka ... gaya bicara dan tingkah Mei Lin yang selalu di luar prediksi BMKG justru membuat sang CEO jatuh hati lebih cepat dari jadwal rapatnya. Karena terkadang, cinta datang bukan lewat bunga, tapi lewat lelucon dan sup gosong di meja makan.
View More"Mei Lin! Cepat bangun!"
Suara Lin Xiu Lan --ibu Mei Lin, menggema dari ruang tamu seperti alarm hidup. Mei Lin menggeliat malas di tempat tidur. Matanya terbuka perlahan. "Cepat! Hari ini penting!" teriak ibunya lagi. "Bu, ini hari Minggu! Penting apanya? Dunia nggak akan kiamat kalau aku bangun jam sembilan!" Namun, begitu Lin Xiu Lan menyerbu masuk lengkap dengan dress bermotif bunga dan ekspresi 'ini serius', Mei Lin tahu ... tidak ada jalan keluar. Walaupun demikian, Mei Lin memilih menutup mata kembali. "Kau harus ikut ke jamuan keluarga Zhang hari ini. Jangan banyak alasan!" Mei Lin membuka mata setengah. "Keluarga Zhang? Siapa itu? Kita punya hubungan keluarga sama mereka?" "Bukan punya, tapi pernah!" Sang ibu memasang wajah misterius yang membuat Mei Lin sedikit curiga. "Nenekmu dulu bersahabat dengan ibunya Madam Zhang. Dan hari ini … mereka mengundang kita ke makan siang keluarga." "Makan siang?" Mei Lin duduk setengah sadar. "Kenapa Ibu terlihat tegang, sih? Itu cuma makan siang, bukan wawancara kerja," lanjut Mei Lin. "Kau tak tahu. Ini bukan sembarang makan siang. Mereka keluarga konglomerat, Mei. Lihat bajumu!" Mei Lin menunduk memerhatikan piyamanya yang warna kuning dengan gambar bebek lucu. Ia terkekeh-kekeh. "Menurutku imut, Bu." "Imut tidak bisa membuatmu kaya!" Ibunya menarik selimut, menyeret Mei Lin menuju lemari. "Cepat mandi dan pakai gaun biru muda yang Ibu belikan dua bulan lalu, yang belum pernah kau pakai karena katanya terlalu 'dewasa'." Mei Lin menghela napas. "Ya ampun! Seperti mau dijodohkan aja …" gumamnya pelan. Sang ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. Ia merasa putrinya memiliki insting yang kuat. "Kau tidak akan tahu kalau belum datang." --- Dua jam kemudian, mobil tua peninggalan ayah Mei Lin berhenti di depan rumah utama keluarga Zhang. Tidak cocok disebut rumah, karena mirip istana. Mei Lin melongo. "Bu, jujur aja. Ini makan siang atau ...?" "Diam! Nanti kau tahu sendiri." Lin Xiu Lan tersenyum aneh. Kedatangan mereka disambut pelayan dengan ramah. Saat masuk ke ruang makan besar yang dipenuhi perabot antik dan aroma teh melati, pandangan Mei Lin langsung berhenti pada satu sosok pria di ujung meja. Pria itu duduk tegak, bersetelan kemeja abu-abu muda, wajahnya dingin, tetapi luar biasa tampan. Mata tajamnya menatap layar tablet, sama sekali tak memedulikan sekitar. "Demi apa …" bisik Mei Lin pelan, lalu memiringkan kepalanya. "Dia kayak keluar dari drama Korea. Tidak, tidak! Aku tidak boleh berkedip. Aku takut ketika aku berkedip dia akan berubah jadi kakek tua!" "Dia Zhang Yichen," ucap ibunya pelan. "Anak laki-laki Madam Zhang. CEO Zhang Group." "CEO?" Mei Lin hampir tersedak ludahnya. "Ibu bercanda, kan? Orang sekeren itu mau makan siang sama kita?" "Selamat datang, dan silakan duduk!" Fang Qiu Hua atau dikenal dengan sebutan Madam Zhang menyambut. Mei Lin mencubit lengan ibunya. "Bu, ini bukan mim--" "Diam, dan duduk sopan!" Mei Lin duduk di seberang, berusaha menahan diri agar tidak menatap pria itu terus, tetapi gagal total. Zhang Yichen menoleh sekilas, tatapannya singkat, tetapi cukup membuat jantung Mei Lin berlari maraton. "Apa kau baik-baik saja, Nona Lin?" suara baritonnya rendah, tenang, dan dingin. "Ba-baik," jawab Mei Lin cepat, hampir gagap. "Aku cuma … kagum dengan arsitektur ruang makan ini. Sangat … simetris." Suasana hening beberapa detik, lalu Madam Zhang tersenyum hangat. "Nenekmu pasti akan senang melihat kalian berdua akhirnya bertemu." Mei Lin menatap bingung. "Maksudnya?" Madam Zhang menatap ke arah Zhang Haoren --suaminya, lalu tersenyum samar. "Bukan cuma jamuan, Mei Lin. Ini soal wasiat ibu kami," tutur Haoren. "Wasiat?" Mei Lin mengulang, napasnya tercekat. Di saat itu juga, Yichen menatap langsung ke arahnya untuk pertama kalinya, dingin tapi tegas. "Tampaknya, Nona Mei Lin … kau akan menjadi bagian dari keluarga kami." Suara pria itu tenang, tapi cukup untuk membuat Mei Lin terpaku, bibirnya setengah terbuka. "Tunggu …. Maksudmu, bagian keluarga … kayak … keluarga menantu gitu?" Tidak ada yang menjawab. Hanya ada tatapan lembut dari Madam Zhang dan wajah kaku Zhang Yichen. Sementara ibu Mei Lin tersenyum lebar, bahkan terlalu lebar. "Selamat, Nak Mei. Sepertinya nenekmu memang punya selera bagus." "Apa--APA?!" Suara Mei Lin menggema di ruang makan megah itu. Dan begitulah, hidupnya yang biasa saja berubah total hanya karena makan siang. Bahkan, mie instan di dapurnya pun belum sempat dimasak.Pagi di lantai 31 terasa lebih sibuk dari biasanya. Karyawan berlalu-lalang dengan langkah cepat, semua fokus. Kecuali satu orang yang masih berjuang hidup dengan printer."Astaga, kenapa ini kertasnya nyangkut terus?! Aku cuma mau cetak jadwal meeting, bukan bikin drama!"Mei Lin berjongkok di depan mesin printer seperti sedang menghadapi monster kuno.Sementara di ruangan kaca besar tak jauh dari situ, Zhang Yichen memperhatikan diam-diam dari balik kaca bening kantornya.Ekspresinya tetap datar, tetapi dagunya sedikit bertumpu di tangan.Chen, berdiri di sampingnya dengan raut muka antara kasihan dan bingung."Tuan Zhang … apa saya perlu bantu Nona Mei?""Tidak perlu. Biarkan dia beradaptasi.""Tapi dia sudah … menatap printer itu selama sepuluh menit.""Artinya dia berusaha.""Atau hampir menyerah," gumam Chen pelan.Tak lama, printer berbunyi klik!Dan ... BLAM!Tumpukan kertas menyembur keluar, berserakan ke lantai seperti hujan salju putih."YA AMPUN! AKU MENANG! Tapi … kenapa
Hari Rabu pagi di Zhang Group. Kantor masih sibuk seperti biasa. Karyawan berlarian dengan berkas, printer meraung, dan Mei Lin ... masih kebingungan karena panggilan mendadak ke lantai 31. "Tuan Zhang ingin kau ke ruangannya sekarang," kata asisten Han Wei. "Hah? Aku'kan di marketing? Aku bahkan belum selesai input data!" "Perintah langsung." "Dia nggak bilang aku bikin kesalahan, kan?" "Tidak, tapi nada suaranya ... serius." "Oh Tuhan, aku mau dipecat tiga hari setelah magang." --- Sesampainya di lantai 31, lantai paling dingin dan mencekam di seluruh gedung. Mei Lin melangkah dengan hati-hati. Ruang kerja Zhang Yichen luas, bersih, dan terlalu sunyi. Pria itu duduk di balik meja besar dengan setelan hitam sempurna, wajah fokus pada layar laptop. "Tuan Zhang?" panggil Mei Lin pelan. "Masuk!" "Aku … dipanggil?" "Duduk!" Mei Lin duduk perlahan, menatap pria itu dengan gugup. Setiap detik terasa seperti wawancara masuk neraka. "Kau tahu kenapa aku memanggilmu?" tanya
Hari kedua magang.Divisi marketing, lantai 30.Mei Lin sudah duduk manis dan bersiap menunggu arahan. Ia bersumpah, tidak ada hal yang lebih menegangkan dari bekerja di perusahaan suaminya sendiri, kecuali harus berpura-pura tidak mengenalnya di depan 300 karyawan lain."Oke, Mei Lin. Kau cuma karyawan magang. Kau bukan istrinya. Jangan manggil dia 'Sayang'. Jangan manggil dia 'Suami'. Jangan tatap terlalu lama. Jangan ...,”"Nona Mei?""YA?! Eh, maksudku, ya, Pak!"Pria yang berdiri di hadapannya bukan Zhang Yichen, melainkan Han Wei --manajer muda divisi marketing, 27 tahun, berwajah ramah dan senyum menular."Kau tegang banget, ya. Santai aja, ini cuma kerja, bukan audisi Miss Universe," katanya sambil tertawa kecil.Mei Lin menatapnya, masih kikuk. "Maaf, aku cuma ... ehm ... grogi. Ini pertama kalinya aku magang di perusahaan besar.""Kalau begitu, anggap saja ini latihan. Aku pembimbing magangmu mulai hari ini.""Kau yang akan membimbingku?""Ya, kenapa?""Nggak, nggak apa-ap
Hari Senin pagi.Langit Haicheng mendung, tetapi semangat Mei Lin?Cerah sekali … sebelum ia sadar siapa bosnya. "Hari pertama magang. Harus kelihatan profesional, elegan, dan tidak konyol."Ia berdiri di depan kaca, merapikan rambut, menatap refleksinya sambil mencoba tersenyum serius."Aku siap. Aku kuat. Aku--"Notifikasi ponsel berbunyi.Satu pesan masuk dari nomor yang baru tersimpan semalam:"Jangan terlambat. – ZY."Mei Lin langsung pucat. "Oh Tuhan ... aku lupa dia CEO-ku!"---Pukul delapan lewat lima.Lobby Zhang Group terlihat seperti museum modern. Lantai marmer putih, dinding kaca tinggi, dan karyawan bersetelan rapi berjalan cepat. Mei Lin berdiri di depan resepsionis, memeluk map seperti pelampung hidup."Selamat pagi. Saya Mei Lin, peserta magang baru di departemen marketing.""Oh, baik. Silakan tunggu sebentar, Nona Mei. Saya hubungi asisten direktur HR."Sambil menunggu, Mei Lin mencoba menenangkan diri. Akan tetapi, setiap kali melihat logo besar "Zhang Group" di d
Tiga hari setelah malam pertama “tanpa rasa” itu, kehidupan Mei Lin kembali normal. Atau … seharusnya normal. Kalau saja “normal” itu tidak berarti menjalani kuliah sambil diam-diam menikah dengan CEO perusahaan raksasa. Saat ini pun ia kembali menempati asrama dekat kampusnya, karena perlengkapan kuliah tentu saja ada di sana. "Aku masih mahasiswi, tapi statusku udah kayak tante-tante kaya," gumamnya sambil menatap cincin di jarinya."Astaga, Mei Lin, jangan sampai teman kampusmu tahu. Nanti kau jadi legenda," lanjutnya. Ia menatap bayangannya di cermin asrama. Wajahnya polos, rambut dikuncir dua, ransel pink di punggung, siapa pun tidak akan menyangka gadis ini sudah bersuami."Yup," katanya mantap. "Kembali jadi mahasiswi normal. Lupakan Yichen. Fokus ke kampus. Fokus ke nilai!"Akan tetapi, tentu saja semesta tidak sebaik itu.---Kampus sore itu ramai. Para mahasiswa berkumpul di papan pengumuman fakultas bisnis, menunggu dosen pembimbing membagikan surat magang."Aduh, semoga
Mei Lin yang belum bisa tidur memilih keluar kamar. Ruang tamu malam itu tampak seperti foto dari majalah interior. Semua tertata sempurna, rapi, dan tenang. Terlalu tenang."Aku merasa seperti sedang syuting iklan furnitur," gumamnya pelan sambil menatap sofa kulit abu-abu yang mengilap.Tak ada lawan bicara. Tentu saja, Zhang Yichen sedang membaca dokumen di ruang kerja bahkan setelah menikah sore tadi."Menikah jam empat, kerja jam tujuh. Hebat. Cinta sejati antara manusia dan laporan keuangan," gerutu Mei Lin pelan.Ia menatap cincinnya. Masih berkilau di jari manis, tetapi terasa asing. Lucunya, setiap kali ia menatapnya, wajah Zhang Yichen muncul di kepala. Dan entah kenapa ... bukan karena marah, tetapi ... geli.---Pukul sepuluh malam.Zhang Yichen akhirnya keluar dari ruang kerja. Masih dengan kemeja putih, kancing atas terbuka satu. Ia tampak lelah, tetapi elegan dan tentu saja tetap dingin. Sedangkan, Mei Lin memilih duduk manis di sofa ruang keluarga. "Kau belum tidur?"
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments