Perjalanan dari perkemahan menuju rumah pak tua berjarak cukup jauh. Sena dan Azlan berjalan beriringan untuk tiba di sana. Tidak ada percakapan antara Sena dan Azlan. Hingga suatu celutukan kecil Azlan membuat atmosfer di antara keduanya lebih baik.
“Terima kasih balutan perbannya. Sepertinya lukaku akan sembuh besok” Azlan tertawa menggoda.
“Semoga cepat sembuh” Aku menggumam datar. Ia tak menanggapi jawabanku dengan serius, ia justru membuat pernyataan baru.
“Ngomong-ngomong soal perban. Kamu cukup gerak cepat dalam berinisiatif” Ujarnya
“Hanya agar kamu tetap jadi kapten. Kan tidak mungkin seorang kapten lama-lama cidera” Aku menjawab apa adanya masih terus berjalan melihat pemandangan di samping kanan.
“Kupikir ada alasan lain” Azlan berjalan lebih cepat dariku.
“Tidak ada hal lain. Yang ada hanya kepedulian kelompok, aku hanya peduli padamu hanya karena kamu seorang kapten di kelompokku.” Aku menjawab jengkel.
“Kapten kel
Mereka tiba sebelum matahari terbenam. Azlan tiba saat yang lainnya baru saja tiba di perkemahan. Matahari sudah berwarna jingga pekat. “Kita akan bersiap menunaikan shalat Maghrib sebelum memulai penjelasanku” Azlan memerintahkan semuanya untuk bersiap sesaat setelah menyimpan kayu dan bahan makanan di tempat khusus. Semuanya bersemangat melihat raut wajah Azlan yang terlihat begitu ceria saat mengucapkan kalimat itu. Tanda baik sedang ia tampakkan meskipun nyatanya tidak demikian. Ia mencoba membuat teman-temannya sedikit merasa lebih baik. “Kau bisa membersihkan diri dan bersiap untuk misi besok dan seterusnya. Kita tidak punya waktu bersantai.” Azlan berbisik di telinga Sena. Sena terdiam datar tanpa anggukan atau jawaban. Setelah kalimat itu selesai Azlan menjauh meninggalkan tenda menuju danau untuk membersihkan diri. Gelap sudah menyelimuti langit di atas sana. Sena, Dira dan Faleya bersiap mengenakan mukenah di dalam tenda. Mereka menunggu Maghrib di
Malam telah berlalu. Pagi telah datang memancarkan cahayanya sebagaimana biasa. Tugas susul-menyusul menungguku. Diariku telah mencapai lembar ke delapan, sebagaimana aku mengisinya dengan catatan-catatan singkat tentang kesanku menjalani hari-hari. Aku menyimpan diari, dan kembali berkutat dengan ponselku yang sepi tanpa bunyi notifikasi. Semuanya beraktivitas sebagaimana seharusnya. Tidak ada hujan yang melanda, tidak ada mendung yang menyelimuti langit perkemahan. Udara lebih sejuk dari sebelumnya, seolah terapi bagi otakku yang akhir-akhir ini sering pusing dan sering melihat sekilas memori lama dalam hidupku. Perkemahan ini adalah rumah kedua kami beberapa hari terakhir. Dira menjemur pakaian kotor di belakang tenda. Ah iya, kehidupan kami di sini persis sama seperti kehidupan di rumah. Memasak, mencuci, menyapu dan kegiatan lainnya yang juga tak kalah merepotkan di samping bertugas. Tapi kami melakukannya bersama-sama lagi pula teman-teman lainn
Faleya membawa segelas teh hangat dari luar tenda dan mengulurkannya pada Sena. Sena menerimanya dan menegaknya sekali. Kay masuk ke dalam tenda menghampiri keduanya setelah membereskan urusannya di luar. “Kau sudah baikan?” Tanyanya membawa buah yang di simpan di atas piring datar berbentuk persegi. “Cukup baik. Terima kasih” Aku menerima uluran piring itu dan berterima kasih. “Kau akan segera sembuh. Aku akan keluar untuk mengawasi penombak itu.” Kay tersenyum padaku dan Faleya. Kay tersenyum mengangguk ke arah Faleya. “Hati-hati” Faleya tersenyum membalasnya. Kay duduk di samping perapian sambil memanggang ubi singkong yang kemarin ia dapat dengan Faleya di dalam hutan. Ia membolak-balikkan ubi singkong itu dan menyantapnya sambil lalu mengawasi sekitar. Ia menuangkan segelas teh hangat dari samping perapian yang ia sisihkan setelah mendidih tadi. Ia menegak teh hangat itu dengan rasa dahaga yang begitu besar di tenggorokannya sehin
Sore telah tiba semuanya berdiri mendirikan sholat ashar, matahari telah berubah warna di kaki langit sana. Suara air danau yang mengalir, menentramkan sholat yang terlaksana dengan irama syahdu menenangkan jiwa-jiwa yang resah. Saat pikiran terlalu sesak dengan masalah, juga hati yang terasa berat dengan tekanan situasi semuanya kembali lagi pada sang Ilahi. Penombak itu memperhatikan kami yang mendirikan sholat berjamaah, ia merasa aneh untuk pertama kalinya melihat hal ini dalam hidupnya. Ia memperhatikan dengan seksama dan teliti bahkan ia sempat mengabaikan tali yang melingkar di pergelangan tangan dan kakinya dengan erat. Seolah ia bebas dari semua itu, ia merasa lebih baik dari sebelumnya. Setelah semuanya selesai, aku mempersiapkan makanan untuk makan malam. Faleya dan Dira membantu banyak, keduanya cekatan memotong sayur dan bergerak gesit memasukkan sayur-sayur itu pada panci yang sudah penuh dengan air yang mendidih. Aku meletakkan masakan yang sudah matan
“Aku butuh minum nyonya” Ujar penombak itu membuat Sena menoleh saat mengambil air minum untuk ia minum. Berpikir sejenak, akhirnya Sena menuangkan air pada gelas kayu yang lain untuk di berikan kepada penombak itu. “Terima kasih” Ujar penombak itu lagi setelah Sena menuangkan air itu ke mulutnya. Tanpa jawaban Sena pergi meninggalkannya. Di samping itu suara burung beterbangan di langit-langit perkemahan. Seperti ada yang menganggu ketenangan mereka. Sena berbalik menatap penombak itu, ia masih di ikat dengan tali pengikatnya. Sebuah tombak mendarat lagi tiga puluh sentimeter di depannya. Untuk kedua kalinya ia benar-benar merasa trauma. Ia melihat ke arah tombak itu di lemparkan. Banyak sekali penombak bertopeng yang mengelilingi perkemahan. Jaring otomatis itu belum tertutup sempurna. Sena menarik tali kontrolnya dan seketika jaring tertutup otomatis. Aku yakin jaring ini tidak akan membantu banyak dalam hal perlindungan. Tapi setidaknya me
Azlan mengepalkan tangannya dengan erat atas apa yang ia dengar. Di hatinya sudah tidak ada lagi benci terhadap penombak itu. Ia fokus untuk menyembuhkan luka itu terlebih dahulu. “Kau harus bertahan” Seru Azlan gusar sambil terus menghentikan darah yang keluar. Penombak itu sangat pucat. “Sen, kau punya daun herbal bukan. Bisakah kau membantuku?” Tanya Azlan pada Sena. “Tentu. Aku akan membuatnya segera”. Sena gesit meracik daun herbal yang belum di awetkan. Ia menghaluskan dan membuatnya menjadi pasta, serta menyaring sari-sari daun herbal itu agar membantu mempercepat pemulihan. “Ini.” Sena menyodorkan obat herbal. Azlan menerimanya dengan cepat dengan cekatan mengoleskan pada luka penombak itu. “Kau akan sembuh. Aku akan menceritakan semuanya nanti” Ujar Azlan. Penombak itu menggeleng tidak setuju. “Aku ingin mendengarnya, aku akan sembuh dengan cepat” Jawab penombak itu, wajahnya semakin pucat. Azlan tidak punya pilihan lain ia ha
“Kapten, aku telah menyiapkan semuanya! “ Seru Kay sambil membawa kayu yang di butuhkan. Azlan mengulurkan mangkuk berisi air dan beberapa jenis tumbuhan yang mengandung wewangian. “Simpan mangkuk ini di sampingnya. Aku akan segera menyelesaikan tugasku” Kay mengangguk dan segera kembali ke tempatnya. “Sen, tutup semua pintu tenda. Awasi sekitar dengan yang lainnya” Azlan memerintahkan Sena, semuanya bertugas sesuai perintah masing-masing. Kami berada di luar jaring perkemahan. Mereka akan melakukan proses pemakaman untuk penombak itu di halaman perkemahan. Sehingga mereka perlu waktu dan keamanan untuk itu. Faleya mengamati sekitar, ia siap dengan senjatanya. Dia tidak pernah kaku menggunakan senjata apa pun, fisiknya sangat kuat dan dia juga sangat terbiasa dengan pertempuran. Bahkan tak hanya itu dia juga pandai bela diri, kakinya berdiri kokoh siap memasang kuda-kuda jika hal buruk terjadi. “Mereka akan mengubur penombak itu di dalam
Malam sempurna, gelap menyelimuti perkemahan. Hanya ada api unggun yang berkobar menyala menerangi area perkemahan. Sena melipat mukenah menyimpannya di dalam tenda. Dira dan Faleya mempersiapkan makan malam untuk di santap bersama di atas tikar. Semua berkumpul kecuali Kay. Ia masih terbaring di dalam tenda, lukanya sudah kering namun sedikit membengkak. Ia pun tadi mendirikan shalat dalam keadaan berbaring, tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak bahkan hanya sekedar duduk. Mereka berinisiatif untuk membawakan makan malam untuk Kay. Mereka ingin sebagian dari mereka tetap makan di atas tikar sambil lalu berjaga. Dan satu orang lainnya membawa makan malam untuk Kay. Azlan menunjuk Faleya untuk menemani Kay makan malam, namun Dira ikut menemaninya. Jadi malam ini Sena, Azlan dan Rizam makan bertiga di atas tikar di samping perapian. Mereka makan seperti biasanya, tidak ada percakapan hanya ada suara sendok dan garpu yang sesekali bersentuhan dengan piring.