Pangeran Corlen tersenyum menetralkan suasana pagi. Azlan membalasnya singkat sedikit ramah namun tegas. Ia menjawab kalimat pangeran itu dengan tegas.
“Apa yang ingin kau tau?” Azlan mengamati sekitar dengan ekor matanya. Semua prajurit berdiri lebih dekat ke arahnya. Ia tersenyum miring melihat beberapa perubahan yang terjadi. Setiap senyuman hanyalah bingkai, di sini tidak ada yang benar-benar tulus melakukannya. Bahkan jika itu sebuah permainan maka pilihan teraman saat ini adalah ikut bermain. Sekali pun belum paham alur permainan.“Simpel saja, aku hanya ingin tau pembunuh saudaraku” Pangeran Corlen menjawab singkat. Seolah ia paham arah lawan dalam permainannya. Senyumnya masih mengembangkan di wajahnya.“Akan ku jelaskan singkat tentang kami, jika kau mencurigai kami adalah dalang dari pembunuhan.” Azlan menarik nafasnya berat dan menghembuskan dengan cepat. Pangeran Corlen bersiap mendengarkan.“Mereka akhirnya berjalan meninggalkan perkemahan semua barang di kemas dengan baik tanpa menyisakan jejak apa pun. Mereka berjalan beriringan tanpa percakapan. Pikiran mereka menerawang satu sama lain. Perjalanan yang seharusnya sedikit singkat terasa lebih panjang dalam keheningan. Langkah yang tidak pernah di perhitungkan, kini mulai terbilang dan membosankan. Suasana hati, lelah dan segala hal yang terjadi membuat pikiran mereka tidak diam saja. Siapa yang bertahan? Tidak ada. Siapa yang bisa di percaya? Tidak ada. Siapa yang berhak di salahkan? Tidak ada. Ini hanya perjalanan hidup, semuanya akan kembali dan berjuang dalam kehidupan mereka masing-masing. Jangan percaya ucapan tentang kepedulian itu, itu hanya bualan saja. Mereka tak bisa melukai siapa pun. Tapi kau yang di lukai amarahmu, dan juga harapan-harapan itu. Kejadian-kejadian itu terputar ulang dengan jelas. Pertempuran, luka, kematian, semua hal janggal itu tergambar jelas di kepala mereka. Kini, semuanya harus kembal
Hujan mereda tatkala suara rem mobil menghentikan roda yang melaju cepat ke arah parkiran. Semuanya turun tak terkecuali dengan pak sopir, udara yang dingin setelah berjam-jam melewati jalanan tanpa macet, namun dengan guyuran hujan yang sangat lebat tiada henti. Masih dengan sisa rintik hujan yang masih berjatuhan semuanya turun dari mobil menuju kursi yang masih kosong di dalam kafe. Semuanya duduk sambil mengibas percikan air di baju yang cukup basah. Pak sopir tersenyum menatap ke arah anak-anak yang sedang membersihkan air dari pakaian mereka. Uban pak sopir cukup banyak, hal itu terlihat setelah ia melepaskan topinya. Namun, wajahnya tak kelihatan tua sama sekali, tak sebanding dengan uban yang hampir seluruhnya memutih. Padahal sebelumnya pak sopir pernah bercerita bahwa sebentar lagi ia akan menimang cucu ke sembilannya, cucu ke sembilan dari anak bungsunya. Seorang pelayan menghampiri kami dengan senyum lebar di wajahnya menawarkan menu kafe, yang langsung d
Azlan memotret beberapa pohon dari atas kapal. “Perjalanan ini membutuhkan waktu 2 jam 15 menit. Untuk tiba di pulau yang akan kita tinggali beberapa hari” Ucapan Azlan membuat Faleya seketika menjawab. “Pulau? “ “Ya, pulau” Tegas Azlan. Faleya membelalakkan mata tak percaya ia bahagia namun sedikit ragu. Ia menatapku aku hanya tersenyum mengangguk berharap semuanya akan menyenangkan. Faleya menatap danau yang begitu jernih. “Jangan di tatap Faleya, atau buaya akan muncul ke permukaan!” Kali ini Faleya sudah sedikit pucat, ia bergidik ngeri dan segera menggeser tubuhnya ke tengah kapal dekat denganku. Namun, hanya itulah yang membuatnya takut. Ia tidak peduli apakah Azlan bercanda atau serius intinya ia bahagia berada di atas kapal ini. Melihat danau dari jauh sudah membuatnya lupa kalimat Azlan barusan. Perjalanan cukup menyenangkan, terpaan angin yang membelai wajah kami dengan perlahan menenangkan kelelahan kami selama berjalan tadi
Matahari hampir terbenam saat kami sampai di perkemahan. Saat kami tiba di sana. Kami telah melihat tenda berdiri tegak, Azlan menatap kami sinis. Aku meketakkan keranjang dan Faleya segera membasuhnya ke danau, Dira menatap Faleya dan segera membantunya. Aku berinisiatif mempersiapkan beberapa peralatan untuk masak. Rizam mencoba membantuku, aku masih diam tak ingin menjelaskan apapun. Entah aku tidak mengerti apa yang Azlan pikirkan dengan ekspresi wajahnya yang terlihat tidak bersahabat seperti ini. Kay diam ia mengambil beberapa karpet untuk di gunakan untuk shlat maghrib nanti. Matahari sudah terbenam dengan sempurna, malam akan datang dan gelap sudah mulai terasa. Aku terus saja memasak, Kay menghidupkan api sebagai penerang mala mini, api itu secepatnya menyala. Kebetulan sedari tadi aku tidak masak di depan tenda melainkan di dalam tenda khusus yang memang sengaja kami buat untuk kepentingan darurat. Kami, beranggapan bahwa aroma masakan mun
Waktu pukul 17.00 saat kami tiba di area perkemahan. Kami segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat magrib. Kebutulan shalat ashar sudah kita kerjakan saat bertugas tadi. Kami mempersiapkan diri dengan baik, setelah shalat maghrib nanti Azlan dan Rizam akan memasak menu makan malam, malam ini sesuai jadwal yang telah di tentukan. Akhirnya, aku bisa duduk di dalam tenda dengan tenang, sambil lalu menunggu waktu maghrib tiba aku menyempatkan diri menulis sesuatu di buku kecil yang ku dapatkan dari Kay saat di atas kapal waktu itu. Buku ini ku jadikan sebagai buku khusus yang mencatat delapan atau lebih kata yang bermakna sebagai kenangan yang bisa kubaca. Buku berwarna-warni ini membuatku semangat untuk menulis setiap hari. Aku tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di halaman pertama.. Perjalanan yang indah tidak terlepas dari pengelaman yang bermakna aku menuliskan kalimat pertama di dalam buku diaryku. Aku tersenyum kecut, dalam hati ada sesuatu y
Aku mengangguk meyakinkan kondisiku dalam keadaan baik-baik saja. Rizam mengangguk kecut, semuanya terdiam beberapa saat memikirkan tentang suku kanibal itu, aku pun terpikir hal yang sama. Namun, kepalaku nyeri sesekali saat kupaksa mengingat hal itu. Aku pun mencoba menarik nafas membiarkan rasa lega di dadaku yang sedikit sesak karena terlalu banyak berpikir. “Kalian sudah menunaikan shalat isya’?” Tanyaku mereka semua menggeleng cepat seolah baru tersadar dari lamunan. Azlan melangkah keluar segera mengakhiri pembicaraan kita. Aku menyusulnya semuanya pun demikian. Kami semua bergantian ke danau sebab beberapa orang di antara kami menjaga tenda agar tetap aman. Setelah semuanya selesai, kami mendirikan shalat berlajut dengan makan malam. Nasi yang sudah matang sedari tadi kini sudah hampir dingin, tidak ada asap mengepul lagi di atasnya. Namun masih nikmat untuk di makan. Kami menghabiskan makan malam tanpa percakapan, setelah semuanya selesai aku kembali ke tend
Tugasku sudah selesai Rizam pun demikian kami membereskan semua peralatan penelitian kami. Kami memutuskan untuk berjaga mengambil jadwal lebih awal dari yang sudah di tentukan. Semuanya menyetujui keputusan kami dan mengubah jadwal untuk Minggu ini. “Sebaiknya kita istirahat sesudah subuh saja Sen. Aku pikir kita perlu membuka mata agar penjagaan lebih aman. Tapi jika kamu butuh lebih banyak istirahat kamu bisa istirahat saja dulu nanti ku bangunkan” Ucap Rizam. Sebagai jawaban aku menggeleng tidak setuju. “Aku tidak mengantuk lagi. Tidak apa-apa aku akan berjaga juga sesuai kesepakatan” Jawabku tegas. Angin malam di tengah hutan membuat kulitku menggigil kedinginan. Untunglah, aku membawa jaket dari tenda tadi, sehingga angin dingin tidak menembus tulang-tulangku. Meskipun kami di daerah perkemahan, namun tetap saja suasana hutan memberikan suasana yang berbeda. “Aku penasaran dengan persis apa yang kamu lihat tentang suku kanibal” Rizam menatap ten
“Bagaimana kita akan melakukannya, kapten?” Kay sedikit ragu. Air hujan membasahi wajahnya, ratusan tetes air itu membasahi jas hujan yang membungkus tubuhnya. Azlan menunjuk jas hujannya. “Kita akan mengelabuhi mereka dengan ini” Azlan menatap serius. “Baiklah. Aku ikut” Kay berujar serius. “Kau harus ikut. Tapi dengarkan aku, kau hanya perlu melepas jas hujan. Dan menghilanglah di balik semak-semak. Aku tau kamu pasti paham maksudku, jangan sampai dirimu ketahuan berlari.” Azlan menjelaskan. “Aku paham kapten” Kay tersenyum semangat. Ia merapikan jas hujan dengan seringai singkat di wajahnya. Ada semangat yang tiba-tiba mengobar di dalam jiwanya. Ia sudah geram dengan kelakuan burung-burung itu, terlebih lagi ia geram karena mereka enggan pergi saja tanpa perlu membuat keduanya repot. Sebelum pergi kami melihat burung-burung itu. Jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya. Azlan melihat satu persatu burung itu, ia melihat hal janggal di sana