Share

Chapter 5 : Pesta Rakyat

Tak lama kami sampai di sebuah pedesaan yang ramai. Aku yakin sekali ini bukan bagian dari wilayah Axylon, tapi sepertinya juga bukan bagian dari Vainea. Parahnya, aku tidak mengerti kenapa Azura membawaku ke tempat ini.

"Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan sampai-sampai kau membawaku ke tempat ini?" tanyaku akhirnya, setelah saling diam selama perjalanan.

"Sepertinya kita butuh menginap malam ini."

Aku langsung menoleh dengan mata menyipit. "Padahal aku bisa saja sampai di Axylon sebelum matahari terbenam."

Ia melirikku sejenak kemudian menatap lagi kedepan. "Aku tidak tahu kemana akan membawamu, yang jelas aku butuh tempat untuk berbicara denganmu."

Aku menghela sebal. "Bisakah kau langsung memberiku alasan sekarang juga agar aku bisa secepatnya kembali?"

"Kau tidak penasaran dengan kehidupan di luar wilayahmu?" bisiknya, kemudian memacu kudanya dengan kencang hingga aku tersentak. "Seharusnya kau berterima kasih karena mau mengajakmu bersenang-senang dengan caraku."

"Jadi, inikah caramu melarikan diri dari istana?"

"Tidak masalah jika itu bersamamu, setidaknya untuk saat ini. Dengan begitu, aku memiliki alasan yang kuat kenapa aku pergi."

"Sialan!" umpatku lirih.

"Jika kau butuh alasan, seharusnya kau jangan membantah!"

Sepanjang jalan kami kembali terdiam, tapi aku semakin terhibur dengan pemandangan desa yang begitu terpencil dan memukau. Mataku melihat sebuah danau yang mengelilingi desa itu dengan pantulan langit yang begitu jernih.

Ternyata benar, ada banyak hal yang indah di luar sana tanpa kuketahui dan belum pernah kubaca di buku manapun.

"Untuk melihat dunia, membaca buku saja tidak lah cukup. Ada kalanya kau harus pergi untuk melihatnya secara langsung," ujarnya, menjawab pesona dalam benakku.

Ya, dia benar. Selama ini yang kutahu hanya pemandangan di Axylon dan wilayahnya, tanpa pernah berpikir bahwa masih banyak wilayah di luar Axylon yang tak kalah memukau ketika melihatnya secara langsung.

"Terima kasih," ujarku dengan perasaan tenang. "Kau benar, membaca buku saja—tidaklah cukup. Terima kasih sudah mengajakku pergi melihat dunia luar meski hanya sebentar."

Aku melepas perhiasanku dan menyimpannya sebelum memasuki desa, termasuk cincin Blue Saphire kesayanganku. Sesekali ingin merasakan bagaimana rasanya melepas status dan kedudukanku dan menjadi orang biasa tanpa harus menyamar. Kuhirup udara dengan bebasnya ketika aku mulai merasa nyaman sebagai diriku sendiri.

"Kau begitu rela melepas perhiasanmu," komentarnya.

"Akan terlihat mencolok jika aku memakainya."

Azura mendesah pelan. "Padahal kau tidak perlu melakukannya karena pasti di sana juga banyak wanita yang memakai perhiasan." Ia merogoh kantung di mana perhiasanku tersimpan, kemudian menarik kalung di dalamnya. "Setidaknya pakai satu."

Aku menurutinya untuk memakai kalungku kembali. Kami memasuki desa yang sangat ramai dengan penduduknya yang terlihat sangat sibuk. Kuda kami berjalan pelan, sementara mata kami menyusuri bangunan dalam diam.

Azura memacu kudanya dan membawaku kesebuah bangunan bersusun yang megah. Aku langsung tahu bahwa bangunan itu adalah sebuah penginapan untuk para pendatang seperti kami.

"Aku hanya membawa uang secukupnya, jadi jangan protes dengan apa yang kulakukan," bisiknya di telingaku sebelum ia menuruni kuda.

Aku tak menyahut dan mengikutinya turun dari kuda. Kami memasuki bangunan dan di sana sudah ada wanita paruh baya yang menyambut kami.

"Kami pesan satu kamar."

"Satu?" bisikku sambil membelalakkan mata.

"Bukankah tadi kubilang jangan protes? Kau sendiri juga tidak membawa uang kan?" balasnya berbisik.

"Kalau aku tahu kau akan membawaku kabur, pasti aku sudah membawa uang!" lirihku kesal. "Pesan dua kamar, aku akan menjual perhiasanku!"

"Aku bersumpah akan membuang perhiasanmu kalau kau sampai menjualnya," sahutnya sambil menarik tanganku dengan wajah dingin.

"Tuan, jika anda membawa teman wanita sebaiknya anda memesan dua kamar," ujar wanita itu menengahi kami.

"Apakah tidak boleh suami istri menginap satu kamar?"

Kalimatnya membuatku melengos ke arahnya. "Trik picisan macam apa itu?" gumamku dalam hati.

"Ah, sayang sekali padahal kami sedang bulan madu," lanjutnya, pura-pura kecewa sementara aku hanya bungkam.

"Kalian pasti pengantin baru." Kini wanita itu tampak antusias. "Tentu saja boleh, Tuan. Kebetulan sekali nanti malam akan ada pesta rakyat. Anda bisa ikut meramaikan pesta nanti malam bersama istri anda."

"Wah, sepertinya sangat menyenangkan." Azura merangkul penggangku dan mencengkeramnya. "Kalau begitu kami akan ikut. Bagaimana? Kau tertarik?"

Aku tertawa geli sambil meringis kesakitan. "Tentu saja, kita tak boleh melewatkannya."

"Kalau begitu ini undangannya dan ini kunci kamar anda."

"Terima kasih banyak." Azura menerimanya dengan senang hati, sementara aku masih di bawah siksaannya.

"Yang Mulia!" Aku melepaskan diri setelah situasi aman. "Lepas!"

"Kalau tidak ditekan seperti itu, kau tidak akan bisa diajak kerjasama," ujarnya masih dingin. "Dan satu lagi, jangan panggil aku 'Yang Mulia', ini bukan istana. Panggil saja aku Azura," sambungnya dan berjalan mendahuluiku.

Aku terpaksa mengekorinya dengan langkah cepat untuk mengimbanginya dan menaiki tangga. Tak lama, kami sampai di sebuah ruangan yang lumayan besar dan sejuk. Kubuka jendela dan mentari senja menerpa wajahku dengan hangat. Aku bisa melihat pemandangan di bawah sana yang tampak ramai.

"Selena." Azura sudah berdiri di sampingku dan turut menatap pemandangan di bawah sana. "Bagaimana perasaanmu berada di luar seperti ini?"

Aku terdiam sejenak sambil meraba apa yang kurasakan. "Untuk pertama kalinya aku merasa keluar istana yang sesunggguhnya. Aku belum terbiasa, tapi kurasa...tidak terlalu buruk. Rasanya seperti—aku menjadi diriku yang lain dan menyenangkan. Ada perasaan yang membuatku begitu ringan dan bebas."

Ia tersenyum simpul mendengar jawabanku. "Kehidupan seperti ini lah yang kuinginkan," jawabnya sambil menatap lurus ke depan. "Bisa pergi kemana pun yang kumau dan menikmati perjalanan."

Aku menatapnya dan seketika aku teringat dengan pembahasan kami yang tertunda. "Kau begitu menginginkan dunia luar." Aku memulai pembicaraan dengan melipat tangan. "Seperti katamu, menikah denganku hanya akan membuatmu terikat pada duniamu dan statusmu yang kau anggap membosankan. Lalu kenapa kau mengingkari kesepakatan kita dan memintaku mengubah keputusan?"

"Menikah denganmu atau tidak, itu tidak akan bisa mengubah semuanya," jawabnya tanpa ekspresi.

"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

Ia menarik napas panjang seperti ada beban berat dalam embusannya. "Selena, Ayahku sangat membenci peperangan, karena itu dia ingin berdamai dengan Axylon. Tapi selain itu, sebenarnya Vainea sedang dalam krisis pangan dan sumber daya. Mengharapkan hasil laut saja tidak cukup untuk memulihkan ganti rugi akibat perang besar dengan Axylon waktu itu. Kau pasti sudah tahu perang besar itu sebelum Axylon dipimpin oleh Ayahmu bukan?"

"Lalu?"

"Berhubung Ayah kita sama-sama Raja baru, Ayahku ingin mengambil kesempatan ini untuk memulai semuanya dari awal, yaitu dengan perdamaian sekaligus kami juga membutuhkan sumber daya dari Axylon."

Aku menghela pelan. "Vainea dan Axylon mungkin bisa saja berdamai tanpa harus kita menikah. Dengan keputusan penolakan ini, Ayahku pasti meminta pihak Vainea untuk mengubah persyaratan ke dua. Kalau pun perjanjian damai ini gagal, aku yakin Vainea memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan kerajaan lain bukan? Aku yakin mereka bisa membantu Vainea dalam menghadapi krisis ini."

"Yah, mungkin bisa saja selesai dengan cara seperti itu."

"Kalau begitu, apa lagi masalahmu?"

Ia terdiam sejenak dan menatapku. "Masalahnya adalah...jika aku tak bisa menikah denganmu, Ayahku akan menikahkanku dengan Putri Lucia dari kerajaan Tryenthee."

Aku mendengus tertawa. "Oh, aku tahu inti permasalahnnya. Pada dasarnya masalahmu hanya...kau belum ingin menikah dengan siapa pun, karena kau ingin menikmati kebebasanmu dan berpetualang sepuasmu, begitu kan?" Aku menyangga dagu dengan tangan di jendela dan memasang wajah serius. "Asal kau tahu, Yang Mulia. Pernikahanmu dengan Putri Lucia bukan urusanku. Begitu aku menolak persyaratan ke dua ini, aku akan segera terbebas darimu dan masalahmu setelahnya—aku tidak peduli."

Azura menatapku dingin seolah-olah tak suka dengan jawabanku. "Kau!"

"Aku takan mengubah keputusanku untuk menolak pernikahan ini," ujarku dengan nada tajam. "Setelah urusan kita selesai, kau dipaksa menikah dengan Putri kerajaan mana pun, itu bukan lagi urusanku."

Ia masih menatapku dengan ekspresi dingin. "Dengar Selena, sebagai Putra Mahkota aku bisa melakukan apa pun padamu, bahkan aku bisa membuatmu mengubah keputusanmu dengan paksa."

"Sebaiknya kau bertemu dengan Putri Lucia, mungkin saja kau akan merasa tertarik dan langsung jatuh hati padanya. Itu akan lebih baik dari pada kau memaksaku. Lagipula, dengan bantuan dari Tryenthee aku yakin itu sudah cukup untuk menyelesaikan krisis di Vainea."

"Ya, kau benar. Mungkin menikah dengan Putri Tyenthee bisa memulihkan kembali Vainea, tapi Vainea akan mendapat dua keuntungan jika aku menikahi Putri Axylon." Azura mendekatiku perlahan dan membuatku terpojok di dinding. "Selain berkolaborasi sumber daya, keuntungan berikutnya adalah terwujudnya mimpi Ayahku, yaitu perdamaian. Menikah denganmu sama saja seperti melempar dua burung dengan satu batu."

Aku menatapnya tajam, setara dengan tatapannya. "Aku tahu, pernikahan politik hanya bertujuan untuk menciptakan kerjasama yang menguntungkan. Tapi aku tak suka dijadikan bahan untuk sebuah pilihan. Jika Vainea tetap ingin berdamai, ubahlah persyaratan ke dua yang sama-sama menguntungkan. Setelah itu, pikirkanlah cara menolak pernikahanmu dengan Putri Tryenthee. Jangan libatkan aku lagi!"

"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika aku memaksa." Azura menarik pedangku dan melemparnya ke sembarang arah, kemudian mengeluarkan sebuah belati kecil.

"Kau mau membunuhku?" tatapku nanar.

Ia menarik tanganku dan menggores telapak tanganku dengan belati itu. Aku mengerang kesakitan melihat darah yang perlahan mengalir, tapi herannya dia juga menggores telapak tangannya sendiri. Ia menarik tanganku lagi dan membentur punggungku ke dinding dan mengunci pergerakanku.

"Apa yang kau lakukan?!"

Ia menautkan jemarinya pada jemariku hingga luka sayatan kami bertemu di sana. Aku bisa merasakan betapa lengketnya tangan kami saat darah kami menyatu dan ia tak melepaskannya begitu saja.

Azura memejamkan mata dan bibirnya bergerak seperti membaca sebuah mantra yang aku sendiri tak tahu mantra apa itu. Aku bisa merasakan udara di sekitarku berubah dan terasa panas hingga tubuhku berkeringat.

"Azura," panggilku saat merasakan sebuah energi mengalir dari luka sayatan yang masih menyatu.

Ia tetap bergeming dengan manteranya seolah-olah tak terusik sedikit pun. Aku bisa merasakan tangan kami bergetar lembut dan semakin menjalar ke seluruh tubuh.

Mataku terpejam saat dahi kami perlahan bersentuhan dan Azura masih dengan manteranya yang panjang itu. Jantungku berdegup kencang dan napasku mulai tak beraturan. Energi yang begitu besar terasa seperti menyelimutiku hingga aku tak berkutik sedikit pun.

"Tunggulah, materanya sedang bekerja," bisiknya dengan suara bergetar, sementara aku tak menyahut sedikit pun dengan rasa takut.

Tubuhku tersentak saat bibirku dikecup begitu lembut.

"Azura," gumamku tak percaya.

"Mulai sekarang kau adalah milikku," bisiknya, kemudian menciumku lagi. Namun kali ini begitu posesif seolah-olah aku tak diijinkan berbicara atau pun membantah.

Aku mendorongnya ketika tubuhku mulai stabil dan ia melepaskan ciumannya. "Apa yang kau lakukan, sialan!" Kutatap telapak tanganku dan di sana sudah ada tanda sayatan berwarna hitam. "Apa ini?!"

Ia tersenyum masam saat menatap telapak tangannya. "Tak kusangka menteranya akan berhasil."

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan sebenarnya?!" cecarku tak sabar.

"Mantera ini mengikatmu denganku. Itu berarti, mau tidak mau kau harus menikah denganku," jawabnya menyeringai.

"Aku tidak mau!" sergahku tak terima. "Jangan harap aku akan mengubah keputusanku hanya karena mantera ini."

"Terserah padamu. Tapi mantera itu sudah mengikat kita, jadi pilihamu hanya ada dua. Menikah denganku atau mati?" Ia tersenyum menang.

"Bagaimana kalau kau atau aku mencintai orang lain suatu saat nanti? Apa mantera ini akan hilang?"

"Jika kita mencintai atau menikah dengan orang lain suatu saat nanti, maka kita akan mati bersama."

"Apa?" Mataku menyipit kesal. "Mana bisa seperti itu!"

"Memang begitu aturan dari mantera ini," jawabnya santai, tapi matanya menatap serius. "Pikirkan baik-baik keputusanmu, Putri. Meskipun kau tetap menolak pernikahan ini, kau takan bisa menikah dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang kau cintai sekali pun. Jika kau memaksa, jangan salahkan aku jika kalian akan berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan, yaitu kematianmu."

"Berani-beraninya kau membuat masa depanku terancam!" ujarku dengan nada tinggi.

"Bukan hanya kau! Masa depanku juga terancam jika kau tidak mau mengubah keputusanmu!" sahutnya yang juga dengan nada tinggi. "Kau membuatku terpaksa mengambil keputusan dengan resiko yang lebih besar," lanjutnya, mulai melembut. "Sekarang hidup dan matiku, tergantung pada keputusanmu."

Kami sama-sama terdiam dan menatap telapak tangan masing-masing dengan risau. Jika benar begitu, berarti tidak ada pilihan lain selain menyetujui pernikahan ini atau kami akan mati bersama.

"Dan satu lagi." Azura menutupi kepalaku dengan handuk. "Anggap saja ciuman yang tadi sebagai kesepakatan baru kita. Sekarang mandilah! Aku akan mencari tempat makan terbaik untuk kita makan malam." Ia keluar dari kamar dan meningggalkanku yang masih termenung.

* * *

Aku berjalan dengan pikiran yang tak henti-hentinya memikirkan masalah tadi sore. Setelah kejadian tadi, sampai sekarang kami belum membuka suara untuk memulai pembicaraan yang berarti. Azura sendiri juga terlihat seperti merenung atas perbuatannya dan hanya bersuara untuk mengajakku pergi keluar.

Aku menoleh ke arahnya saat ia menggandeng tanganku tanpa menatapku sedikit pun.

"Sepertinya situasinya semakin ramai, sebaiknya jangan terlalu jauh dariku," ujarnya tanpa menoleh. "Aku tahu tempat makan yang enak."

Aku tak menyahut, tapi tetap menurut dengan langkah terseret saat ia menarik tanganku dan berjalan cepat. Tak lama kami sampai di sebuah tempat makan mewah dan para pelayan menyambut ramah saat kami memasukinya. Mataku menatap sekeliling, begitu ramai dengan cara masing-masing.

"Aku tak percaya kalau kau hanya membawa uang secukupnya," ujarku setelah kami duduk saling berhadapan sembari menunggu hidangan.

Ia tersenyum miring dan menunjukkan dua lembar amplop. "Di saat krisis uang, ada kalanya kita harus pandai mencari tiket makan gratis."

Aku tersenyum dengan kening berkerut. "Bagaimana kau mendapatkannya?"

Azura menunjuk sebuah permainan dalam bentuk sayembara. Aku tak tahu apa yang ia mainkan karena yang ia tunjuk tinggal sisa-sisa ornament bekas permainan yang masih terpajang.

Tak lama, pelayan datang dengan membawa beberapa hidangan yang menurutku—lumayan mewah, yang biasa dihidangkan di acara-acara resmi para bangsawan.

Aku tersenyum dalam hati, baru kali ini aku menemukan sosok Putra Mahkota yang tetap bisa makan enak dengan berburu tiket gratisan.

Aku mulai mengunyah makananku dan terdiam sejenak, memberi kesempatan pada lidahku untuk meresapinya. Kepalaku terangguk-angguk saat aku menyimpulkan bahwa makanan yang kumakan rasanya enak.

"Tidak buruk," komentarnya setelah memasukan sepotong daging kedalam mulutnya. "Bagaimana menurutmu?"

"Tidak mengecewakan," jawabku. "Menurutku—rasanya sangat sesuai dengan tampilannya dan enak."

Ia tersenyum sejenak, kemudian kami saling terdiam selama makan agar dapat menikmati hidangan masing-masing.

Seusai makan, kami kembali berkeliling desa hingga akhirnya kami sampai di sebuah tempat dengan api unggun besar. Di sana sudah banyak warga yang berkumpul dengan iringan musik yang ceria. Mereka semua menari bebas sesuai tempo nada yang mengalun. Ada juga adu minum sampai mabuk.

Aku dan Azura saling tatap sejenak, kemudian ia memberi kode dengan dagunya untuk ikut berpesta. Ya, awalnya aku sangat canggung, tapi Azura mengajakku menari. Aku menghela napas sejenak, kemudian bergerak mengikuti tariannya.

Semakin malam, rasa canggungku berangsur hilang, ditambah semakin banyak yang datang untuk menari. Tarian kali ini berbeda dari yang biasa kulakukan. Biasanya level bangsawan ke atas hanya berdansa dengan gerakan yang santun nan elegan, tapi tarian kali ini lebih aktif dan cukup membuatku berkeringat.

Suasana semakain ramai dan aku mulai hilang kendali begitu pun dengan Azura. Kami benar-benar tertawa lepas dan merasa bebas, hingga kami lupa siapa kami sebenarnya. Kali ini kami menari dengan gerakan dansa, diiringi dengan lompatan-lompatan yang menyenangkan. Azura menuntunku dengan baik agar genggaman kami tak terlepas atau pun membuatku terjatuh.

"Selamat datang di pesta Purnama, selamat bersenang-senang!" teriak seseorang yang sudah berdiri di atas meja dan tak lama setelahnya, semburan air melontar ke atas dan memberikan efek gerimis.

Semua orang bersorak gembira dengan gelak tawa yang benar-benar terdengar bebas tanpa aturan. Aku dan Azura tak peduli dengan pakaian kami yang mulai basah saking asiknya menari hingga akhirnya, aku sedikit merasa lelah.

Kami memutuskan untuk duduk sejenak di sudut pesta yang sedikit longgar. Tak lama, seseorang pembawa minuman datang membawa dua gelas anggur.

Aku terdiam sejenak, pasalnya aku tak pernah minum anggur, sementara Azura sudah mengambil dua gelas yang disodorkan, kemudian meletakannya di meja. Ia menyeringai melihat ekspresi raguku untuk minum angggur lalu meneguknya.

"Tantangan baru untukmu," ujarnya masih menyeringai.

Jika Ayah melihatku seperti ini, mungkin aku akan dihukum cambuk. Aku mengggeleng ngeri membayangkan hal itu. "Jika kau mau, kau saja yang habiskan."

"Nona, kau harus mencobanya." Seorang gadis entah datang dari mana menuangkan anggur lagi ke gelas Azura. "Anggur ini murni buatan desa kami. Kami mengolahnya dengan sangat baik. Jika ditawarkan kepada para bangsawan, pastinya akan dihargai dengan sangat mahal. Dalam pesta ini, kau bisa menikmatinya secara gratis."

"Terima kasih." Azura mengangkat gelasnya.

Gadis itu membalasnya dengan mengedipkan mata untuk menggoda Azura, sementara pemuda itu hanya mengerutkan kening meskipun senyum masih tersungging.

Aku hanya menyeringai melihatnya, kemudian tersenyum masam mendengar kalimat gadis itu. "Maaf tapi—aku tidak kuat minum."

"Satu teguk tidak akan membuatmu mabuk. Percayalah, Nona." Gadis itu menyodorkan gelasku, sementara Azura menunggu reaksiku.

Aku menerima gelas itu lalu meneguknya dengan paksa. Rasanya—aku ingin memuntahkannya, tapi karena takut menyinggung, aku terpaksa menelannya. Azura sudah tersenyum miring sambil meneguk lagi minumanya.

Gadis itu tersenyum dan berkata, "Terima kasih sudah datang ke desa kami. Silahkan melanjutkan pestanya." Kemudian pergi.

"Bagaimana?" tanya Azura.

Aku menelan ludah. "Tidak enak."

Aku terdiam sejenak setelah merasakan pening di kepala. Katanya satu tegukan takan membuat mabuk, tapi kini kepalaku terasa pusing. Semakin lama kepalaku terasa berat hingga aku perlahan meletakkan kepalaku di atas meja.

"Selena?" panggil Azura, tapi tak kuhiraukan.

Bukan hanya itu, pelupuk mataku juga tampak berat dan ingin merapat.

"Selena? Hei, Selena!" Azura menepuk pipiku lembut, berharap aku akan terbangun.

Aku tak menyahut. Selain kepalaku yang terasa pusing, tubuhku juga mulai menggigil kedinginan karena pakaianku basah. Aku bisa mendengar Azura mendesah kesal dan sedikit cemas, kemudian membopongku.

"Payah! Padahal itu tidak terlalu memabukkan, tapi kau baru satu tegukan sudah tak sadarkan diri," gerutunya sebal dan aku tak peduli.

_______To be Continued_______ 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status