Share

Chapter 4 : Kesepakatan

Aku termangu ketika tiba di sebuah tebing dengan deburan ombak di bawahnya. Udara menyapu wajahku dengan sejuk dengan purnama menggantung di langit sendirian. Tak lama, Azura melepas ikatanku dan aku bisa bernapas lega.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku tak mengerti.

"Melemparmu ke dasar laut," jawabnya sambil menuruni kuda.

Aku tahu jawaban itu hanya candaan dingin darinya. Aku ikut turun dari kuda lalu menatap lepas hamparan gelap yang memantulkan sinar bulan layaknya cermin. Azura sudah duduk di atas rumput tanpa alas. Ditatapnya langit cerah di atas sana seolah-olah tak mempedulikan keberadaanku di sisinya.

"Apa...tidak masalah jika kita meningggalkan pesta?" tanyaku, masih memikirkan situasi di istana.

"Kalau ingin pulang, pulang saja sendiri," sahutnya dingin tanpa menoleh sama sekali.

Aku terdiam sambil menahan diri untuk tak melempar batu ke kepalanya. Namun, sedetik kemudian aku tersenyum miring sambil berkata, "Baiklah, aku akan pulang. Jika kau ingin pulang juga, kau bisa cari kudamu sendiri."

Tak kusangka kalimatku berhasil membuatnya menoleh dengan wajah heran. "Kau bisa berkuda?"

"Menurutmu?" Aku tersenyum menang sambil menunggangi kuda.

Ia masih bungkam sejenak, kemudian mendengus dengan seringai di bibirnya. "Melihatmu yang seperti itu aku jadi penasaran, disiplin macam apa yang diterapkan di Axylon untuk Tuan Putri sepertimu?"

"Sepertinya kau tak perlu tahu tentang hal itu, Yang Mulia."

"Untuk apa kau memiliki pengawal kalau kau sendiri bisa berkuda?"

"Ah, pertanyaanmu hampir mirip dengan adikmu. Menyebalkan!" gerutuku, masih dalam level sabar. "Tentu saja agar aku bisa pergi bebas kemana pun yang kumau, tanpa repot-repot membawa pengawal. Lagipula, memakai kereta kuda dengan pengawal terlihat sangat mencolok di mata orang lain. Yah, kecuali untuk formalitas dan acara resmi."

"Apa itu berarti kau sering keluar istana tanpa pengawasan?"

"Menurutmu?"

Dia mendengus tersenyum, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa aku Putri yang aneh.

"Jika tak ada hal lain yang ingin kau bicarakan, aku akan segera pulang," ujarku sambil memutar arah kuda.

"Tunggu!" panggilnya dingin.

"Apa kau membutuhkan tumpangan, Yang Mulia?" tanyaku dengan alis terangkat sebelah dan sedikit seringai.

"Kau tak pantas menawarkan tumpangan padaku karena itu kudaku," sahutnya tak suka.

"Kudamu sudah ada dalam kendaliku," jawabku tersenyum puas. "Bukankah kau yang menyuruhku untuk pulang sendiri jika aku ingin pulang?"

Azura memalingkan pandangannya ke arah laut dan berkata, "Temani aku."

Aku terdiam sejenak untuk meralat pendengaranku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

"Cepat turun!" titahnya tak sabar.

Aku menghela napas lalu turun dari kuda lagi dan maju beberapa langkah. Kutatap hamparan temaram di hadapanku bagai tak bertepi. Pantulan cahaya bulan membuat gelombang di bawah sana tampak berkilau. Azura menarik ujung gaunku agar aku terduduk di sisinya.

"Selena," gumamnya setelah hening beberapa saat.

Aku tak menyahut, tapi mataku melirik ke arahnya.

"Aku yakin, kau bukan gadis yang mudah diatur. Meskipun kau seorang Putri, tapi kau masih bisa pergi dengan leluasa tanpa pengawasan dan pengawal," ujarnya dengan tatapan kosong layaknya sebuah kebosanan. "Bagaimana di Axylon bisa seperti itu?"

"Meskipun aku seorang Putri, tapi Ayahku tak pernah mempermasalahkan apa yang menjadi keinginanku selama itu hal yang wajar dan tak di luar batas. Aku suka bepergian dengan bebas, tapi aku juga masih memiliki batasan sebagai putri Raja."

"Apa kau suka mengunjungi banyak tempat?"

"Ya, meskipun masih dalam batas wilayah Axylon. Mungkin karena aku seorang wanita, jadi tidak boleh pergi keluar wilayah meskipun sebenarnya..aku bisa saja pergi. Vainea adalah tempat pertama yang kukunjungi di luar kerajaan Axylon."

"Di saat kau pergi biasanya apa yang kau lakukan?" tanyanya lagi.

Aku terdiam sejenak dengan tatapan menyelidik. "Kenapa kau sepertinya tertarik?"

Ia balas menatapku, entah berapa detik kami saling menatap dengan mencoba menebak masing-masing pikiran lawan. Aku mencoba mencari sesuatu dari tatapannya, begitupun dengannya yang seperti sedang mencoba menerobos masuk pikiranku.

"Sebenarnya apa yang membuatmu datang kemari?" tanyanya, berganti topik setelah beberapa saat terdiam. "Apa kau penasaran denganku?"

Aku terdiam sejenak sambil memilih jawaban yang tepat. Aku tak bisa mengatakan padanya bahwa aku hanya ingin menjadi mata-mata, tapi aku juga tak bermaksud datang untuk bertemu dengannya.

"Aku datang memenuhi undangan Ayahmu sebelum memberi keputusan," jawabku akhirnya.

Ia menggeleng lunglai. "Aku tidak mengerti dengan Ayahmu. Raja macam apa yang membiarkan putrinya mencampuri urusan politiknya? Seharusnya ia akan tetap menikahkanmu tanpa memandang apa pun demi kepentingan pemerintahannya."

"Ayahku memang seorang Raja, tapi beliau takan membiarkan putrinya menikah hanya demi politik," jawabku, meniru jawaban tegas Ayah waktu itu.

"Bagaimana bisa seperti itu?"

"Karena selain menjadi Raja yang baik untuk rakyatnya, beliau juga berusaha menjadi Ayah yang baik untuk putrinya."

Azura tersenyum masam dengan mata yang sedikit sendu. "Seandainya saja semua Raja bisa seperti itu," gumamnya. "Lalu...apa keputusanmu nanti?"

Aku kembali teringat pembicaraan terakhirku dengan Erina bahwa Azura juga menolak pernikahannya, tapi sayangnya waktu itu Erina tak memberiku jawaban, bahkan malah memintaku untuk bertanya langsung pada Azura.

"Sebelum aku menjawabnya, bisakah kau memberiku alasan kenapa kau menolak pernikahan ini?"

"Apa itu penting untukmu?"

"Ya, sama pentingnya keputusanku untukmu."

Ia terdiam cukup lama, tapi tatapannya meredup saat embusan angin menggerakkan ujung-ujung rambutnya.

"Aku...ingin bebas," jawabnya sebelum ia melanjutkan. "Aku tak pernah menginginkan kedudukan ini. Menjadi Putra Mahkota hanya akan membuatku terkurung di istana. Aku ingin sekali berpetualang menjelajahi dunia, membayangkan bisa mengunjungi banyak tempat sepertinya sangat menyenangkan. Bisa mendapat pengetahuan dan pengalaman baru sekaligus...teman baru di luar sana. Menikah denganmu, hanya akan membuatku semakin terikat erat dengan kehidupan yang membosankan ini."

"Apa kau sudah membicarakan hal itu pada Ayahmu?"

"Ayahku tahu keinginan terbesarku, tapi sayangnya ia tidak seperti Ayahmu yang bisa mendengarkan suara anaknya. Jadi—" Azura menatapku lagi. "Bagaimana denganmu?"

Aku menarik napas dalam sebelum menjawab, "Sebenarnya aku juga menolak pernikahan ini. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintaiku, bukan karena politik atau pun tahta. Bukan Putra Mahkota atau Pangeran sekali pun juga tidak apa-apa."

"Baiklah, kalau begitu kita sepakat menolaknya," ujarnya tanpa ragu. "Bagaimana?"

Aku mengangguk setuju. "Kalau begitu berarti aku takan tinggal lama di sini. Aku akan kembali ke Axylon besok pagi dan memberitahu Ayahku bahwa perjanjian damai ini belum bisa disetujui, kecuali pihak Vainea mengubah persyaratan ke dua."

Azura tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak, Putri. Jika nanti kerajaan kita bisa berdamai, kau akan menjadi sahabat pertamaku dari Axylon."

Aku hanya tersenyum lega mendengarnya. "Sahabat."

* * *

Aku masuk ke dalam kereta kuda setelah berpamitan dengan Raja Raddith dan Ratu Erisca, mereka benar-benar menyambutku dan melepasku dengan baik hingga niat buruk yang sempat bersarang dalam benakku lenyap.

Ya, meskipun awalnya mereka penasaran kenapa aku memutuskan untuk segera kembali ke Axylon secara mendadak dan secepat ini, tapi sepertinya—mereka tak mempersulitku dengan banyak tanya.

Pertemuanku dengan Erina juga tidak terlalu buruk dan juga pembicaraanku dengan Azura akhirnya membuahkan hasil atas apa yang harus kuputuskan. Lucunya, kami sama-sama bersepakat untuk menolak pernikahan ini. Kuharap ini jalan yang terbaik untuk kita bersama.

Seperti biasa, aku melewati perjalanan dengan bosan meskipun udara sejuk mencoba menghibur. Ada kalanya kantuk kembali menyerang, tapi aku memaksakan diri agar tetap terjaga.

Tak terasa, hari sudah menjelang siang dan kami beristirahat sejenak di bawah pohon rimbun. Aku mengijinkan para pengawalku untuk makan dan minum sejenak. Perjalanan masih lumayan panjang untuk sampai di perbatasan.

Aku meneguk minumanku dan mengunyah roti gandum dengan nikmat. Untuk pertama kalinya aku merasakan perjalanan yang melelahkan karena saking jauhnya. Awal keberangkatanku ke Vainea hanya tidur sepanjang jalan dan aku menyesal karena sekarang memaksakan diri tetap terjaga.

Kubuka tirai jendela saat mendengar ringkikan kuda dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya kuda itu sedang mendekat kemari. Aku segera meraih pedang dan menyelipkannya di pakaianku, sementara para pengawal sudah dalam posisi siaga dan membentengiku. Kami terus menatap ujung jalan, menantikan sosok yang datang dari arah suara.

"Selena!"

Aku terpaku ketika seorang pemuda muncul dari kejauhan dengan menunggang kuda dan yang membuatku bergeming adalah karena dia memangggil namaku.

"Selena!"

Sosok itu semakin jelas dan mataku melebar ketika melihatnya. "Azura?"

"Tidak salah lagi, itu Azura! Kenapa dia mengejarku?" Pikirku tak menyangka. "Apa...aku melakukan kesalahan? Atau ada barangku yang tertinggal?"

"Selena, syukurlah aku masih sempat bertemu denganmu di sini," semburnya begitu sampai.

"Kalian boleh lanjut beristirahat," ujarku pada pengawal dan mereka menurut.

"Kenapa kau menyusulku?" tanyaku saat ia turun dari kudanya. "Apa ada sesuatu?"

"Selena, kuharap kau mengubah keputusanmu."

Mataku menyipit bingung. "Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran? Apa terjadi sesuatu?"

"Aku tak perlu menjelaskannya padamu karena kali ini aku tidak ingin bernegosiasi denganmu. Ubah keputusannya dan setujui pernikahan ini."

"Tidak," jawabku lugas, pasalnya aku tak mengerti kenapa dia berubah pikiran. "Aku akan tetap pada kesepakatan awal kita."

"Selena—"

"Bukankah ini hal yang tidak menguntungkan untukmu?" sergahku cepat. "Seperti katamu, menikah denganku hanya akan membuatmu semain terikat dengan kebosanan. Lantas, kenapa kau berubah pikiran?"

Azura terdiam sejenak dan menatap pengawalku. "Kalau kau ingin tahu, minta pengawalmu untuk kembali lebih dulu. Kau ikutlah denganku!"

"Kau pikir aku akan semudah itu menuruti kata-katamu?" tanyaku, semakin tak mengerti.

"Jika kau ingin tahu alasanku, seharusnya kau tak perlu banyak membantah, kan?" sahutnya mulai dingin.

"Jika mereka pulang tanpaku, mereka akan dihukum!"

"Kalau begitu, ubah keputusanmu dan jangan banyak bertanya."

Aku menatapnya lekat, berharap menemukan sesuatu. "Beri aku alasan kenapa aku harus mengubah keputusanku," sahutku masih keras kepala.

Azura tak menjawab dan menarik tanganku. Pengawalku yang melihat perlakuannya padaku langsung mengeluarkan senjata dan hendak menyerangnya, tapi Azura sudah menghindar dan menempelkan pedangnya di leher salah satu pengawalku.

"Jangan ikut campur! Ini perintah!"

Melihat hal itu, aku pun turut menarik pedangku dan menempalkannya di leher Azura. "Memangnya siapa kau, berani memberi perintah pada pengawalku? Kau tidak berhak atas mereka!"

Azura menatapku tak percaya terutama menatap pedangku yang menjurus ke arahnya. "Menarik," gumamnya menyeringai. "Bukan hanya bisa berkuda, kau bahkan juga bisa bermain pedang?"

Aku tak menjawab, tapi Azura mulai menurunkan senjatanya dari pengawalku.

"Aku jadi ragu, apa benar kau seorang Putri? Atau jangan-jangan Raja Zealda mempermainkan Vainea dengan mengirim Putri palsu?" ujarnya meragukan statusku.

"Berani sekali kau meragukan Tuan Putri kami!"

"Hentikan!" seruku pada pengawal agar tak menyerang Azura dan kini tatapanku kembali padanya. "Sebenarnya apa maumu?"

"Aku hanya ingin kau mengubah keputusanmu. Jika kau membutuhkan alasan, ikutlah denganku! Apa itu masih kurang jelas?!"

Aku terdiam sejenak dan menurunkan senjataku. "Baiklah aku ikut denganmu, tapi aku juga harus membawa pengawalku."

"Akan terlihat mencolok jika kau membawa pengawalmu."

Aku berpikir sejenak, menatap Azura dan pengawalku secara bergantian. Aku tidak tahu kemana Azura akan membawaku, tapi dilihat dari ajakannya, sepertinya ia hendak membawaku ke tempat asing di mana orang lain tak boleh mengetahui identitasku.

Aku melepas lencana yang kupakai dan menyerahkannya pada pengawalku. "Berikan ini pada Yang Mulia Raja dan sampaikan padanya kalau aku ingin bermain keluar sebentar. Katakan padanya, aku akan segera kembali dan mohon jangan mengkhawatirkanku. Jika kalian dihukum, aku yang akan membela kalian atas namaku."

"Tapi, Yang Mulia—"

"Ini perintah!" pontongku agar mereka tak membantah.

"Aku berjanji akan mengantarnya kembali ke Axylon besok pagi," ujar Azura, kemudian memberikan lencananya yang sangat berharga. "Ini sebagai jaminannya."

Mereka saling pandang sejenak, kemudian mengangguk satu sama lain. "Baik, Yang Mulia. Tapi saya mohon segeralah kembali."

Aku menganggguk dan mereka melanjutkan perjalanannya, sementara aku ikut menungggang kuda bersama Azura.

"Sebenarnya, kau mau membawaku kemana?" tanyaku penasaran.

"Nanti kau akan tahu," sahutnya dingin.

Aku kembali terdiam sambil menggenggam erat pedangku.

"Rapier yang cantik," gumamnya di telingaku.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status