Share

Chapter 6 : Kedudukan Yang Sama

Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.

Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.

Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin.

"Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.

Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu pedang dengan sengit.

Gadis itu terus mendesak, sedangkan Putri Mahkota masih menghindar dan menangkis serangan. Sepertinya Putri Mahkota kesulitan bergerak karena gaunnya. Bahkan ia hampir tersungkur akibat menginjak gaunnya sendiri.

"Kalau kau tidak bisa bertarung, lebih baik serahkan nyawamu sekarang. Tidak usah mengacaukan riasanku dengan bermain kucing-kucingan denganku seperti ini!" ucap gadis satunya.

"Oh, kau tidak perlu cemas, Putri. Karena aku akan segera mengakhiri pertandingan ini," sahut Putri Mahkota.

"Mengakhiri dengan kematianmu?" Gadis itu menyeringai. "Sayang sekali. Riasanmu terlalu cantik untuk melengkapi kematianmu."

"Oh terima kasih telah memuji riasanku. Aku akan berterima kasih pada bibi Athea yang telah membuatku secantik ini dengan mengalahkanmu!"

Tak lama, Putri Mahkota merobek gaunnya hingga selutut, aku yang melihatnya merasa sayang karena gaun itu benar-benar indah dan mewah sekali. Aku mengerutkan kening ketika benakku berhasil menyimpulkan bahwa pertandingan ini bertujuan untuk memilih pendamping Putra Mahkota. Bahkan serangan mereka sungguh-sungguh saling melukai.

"Apa...ini pertarungan sampai salah satu dari mereka ada yang mati?" gumamku dalam hati.

Benar saja, pertarungan semakin sengit bahkan gaun itu berlumuran darah pun seperti tak peduli. Para penonton bersorak bahkan ada yang menjadikannya sebagai ajang taruhan.

Gadis yang tadinya mendesak Putri Mahkota kini justru terdesak hingga akhirnya, Putri Mahkota berhasil mendapat celah dan melancarkan serangannya. Pertandingan selesai saat gadis itu dinyatakan mati, sementara Putri Mahkota sudah terluka parah walau masih sanggup berdiri.

"Apakah sesulit ini menikahi Putra Mahkota?" tanyaku lagi dalam hati.

"Bunuh gadis itu!"

Aku mendengar teriakan yang berasal dari kursi Raja. Bisa kulihat bahwa Raja sangat murka atas kematian gadis itu dan nampak tak suka dengan kemenangan Putri Mahkota. Kini aku semakin mengerti dengan situasinya, dengan kata lain sebenarnya—pernikahan mendiang Putra dan Putri Mahkota sangat ditentang oleh Yang Mulia Raja terdahulu.

Tak lama, anak panah melesat dan mengenai dada kanannya dan sekejap aku juga merasakan sakit seolah-olah panah itu juga menancap di dadaku. Aku mengerang kesakitan dan tubuhku ambruk di tanah.

Aku membuka mata dan terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dahiku sudah dibanjiri keringat dan mataku kembali menyesuaikan lingkunganku sekarang. Aku menghela napas lega saat menyadari bahwa aku berada di kamar dan bersyukur karena berhasil keluar dari mimpi buruk itu.

Sejenak aku terdiam, butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku—hanya berbalut selimut, tanpa pakaian sedikit pun. Aku syok bukan main, aku ingat bahwa sebelum ini aku minum anggur lalu tak sadarkan diri.

Tidak ada siapa pun di ranjang saat terbangun, tapi aku menatap kamar mandi yang sepertinya ada seseorang di dalam sana. Aku segera membalut tubuhku dengan selimut dan menjadikannya gaun ala kadarnya. Tanganku meraih pedang dan aku merapatkan diri ke dinding.

"Aku akan benar-benar membunuhnya jika dia telah melakukan sesuatu padaku," tekadku dalam hati.

Pintu kamar mandi terbuka beberapa saat dan menampakkan sosok jangkung dengan tubuh yang ditutupi oleh handuk sementara tangannya masih asyik mengelap rambutnya. Ia terdiam ketika ujung pedangku sudah menempel di bawah rahangnya.

"Bisakah kau menjelaskan sesuatu tentang kondisiku?" tanyaku dingin.

Dia terdiam sejenak dan menatapku. "Sudah kuduga. Begitu kau bangun, kau akan langsung salah paham. Tapi aku benar-benar tidak melakukan apa pun padamu."

Mataku menyipit tajam dengan perasaan ragu. "Sungguh?"

Dia menghela napas. "Yah, mau bagaimana lagi. Mana mungkin aku membiarkanmu tidur dengan pakaian basah." Azura menyingkirkan ujung pedang yang menghunus ke arahnya.

Aku masih terdiam sambil mengamatinya yang berjalan menuju meja untuk minum, kemudian mengambil sehelai kain lebar untuk menutupi tubuhnya.

Ya, aku tahu pakaiannya juga basah dan mungkin aku juga tak bisa menyalahkannya karena hal ini. Semoga saja ia tidak membohongiku.

Aku memasukkan lagi pedangku ke sarungnya dan meletakkannya di sudut ruangan, lalu aku kembali terduduk di tempat tidur dan melamun. Kasur bergerak amblas ketika Azura duduk di ranjang dari sisi yang lain dan kami saling membelakangi.

"Selena."

Panggilannya membuyarkan lamunanku dan membuatku menoleh ke arahnya yang ternyata—dia sudah menatapku dengan memutar kepalanya.

"Aku...memang belum ingin menikah, tapi kalau pun harus menikah, aku hanya ingin menikah denganmu."

"Kau tidak ingin mencoba mengenal Putri lain?" tanyaku sedikit risau. "Kau belum mengenalku dengan baik, aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari ketika kau jatuh cinta dengan yang lain. Sebelum kau memahami diriku lebih dalam, sebaiknya kau gunakan kesempatan ini untuk—"

"Aku tidak mau!" potongnya, kemudian menatap lurus ke depan hingga benar-benar membelakangiku. "Aku mungkin bisa saja berkeliling untuk mengenal banyak Putri, tapi aku hanya ingin bersama dengan Putri yang sudah terlanjur mengenal sisi lain diriku."

"Kau cukup menceritakan masalahmu pada mereka dan mereka akan mengerti." Aku menghela dan menatap lurus ke arah jendela. "Aku yakin jika kau tidak dijodohkan denganku, kau juga akan melakukan hal yang sama kepada yang lain bukan? Kau pasti juga akan menceritakan masalahmu pada calon istrimu yang lain."

Ya, setidaknya logikaku mengatakan hal itu.

"Yah, mungkin bisa saja seperti itu. Tapi berhubung kau yang pertama, jadi aku memilihmu. Aku bukan tipe orang yang suka menceritakan masalahku pada banyak orang dan untuk masalah ini, aku cukup membaginya padamu, tidak ke yang lain."

Aku tersenyum masam dan mendesah pelan. "Kau memilihku hanya demi mendapat dua keuntungan, jadi jangan terlalu banyak beralasan kenapa harus denganku."

Aku merasakan pergerakan dari tempat tidur dan kulihat ia sudah berdiri dan berjalan menghampiriku. Azura sudah memasang wajah dingin atas jawabanku yang mungkin terdengar keras kepala. Ia membopongku sejenak untuk mengubah posisiku agar terbaring, sementara ia sudah berada di atasku.

"Mau apa kau?" tanyaku nanar saat menyadari posisi yang berbahaya ini.

Aku berusaha memberontak sementara ia juga berusaha mengunci pergerakanku. Aku hendak menendangnya, tapi kakiku sudah terkunci olehnya dan kini aku masih berusaha untuk menghajarnya. Sayangnya ia tak menyerah begitu saja. Gerakannya terlalu cepat dan kuat hingga ia berhasil mengunci tanganku. Aku terus mengggeliat di bawahnya dan aku tahu itu hal yang sia-sia, aku justru kelelahan karena melawannya.

"Aku memiliki banyak alasan kenapa harus denganmu dibanding dengan yang lain," ujarnya menjawab kalimatku sebelumnya. "Haruskah aku melakukan hal itu agar kau mau denganku?"

"Tidak!" sergahku cepat, sementara ia tersenyum miring. "Aku akan benar-benar membunuhmu jika kau melakukannya."

"Kalau begitu, katakan pada ayahmu kalau kau jatuh cinta padaku dan kita saling mencintai."

Aku mengerutkan kening atas permintaan anehnya kali ini. "Kenapa aku harus mengatakannya? Lagipula, aku sudah menyetujui kesepakatan baru kita bukan?"

"Aku yakin, Raja Zealda bukan orang bodoh yang bisa menerima jawabanmu begitu saja. Meskipun kau sudah memberi persetujuan, tapi beliau tidak akan menerimanya kalau kau mengatakannya dengan terpaksa. Ditambah, setelah beliau tahu kau pergi denganku hari ini, aku yakin dia pasti berpikir kau menyetujuinya karena aku memaksamu."

"Memang kenyataanya begitu, kan?"

"Justru karena itu aku tidak ingin Raja Zealda memperbesar masalah ini karena kau mengambil keputusan dengan terpaksa. Apa kau tidak bosan mendengar suara adu senjata yang terjadi di perbatasan wilayahmu? Yah, meskipun tidak semua perbatasan. Dan lagi, apa kau tidak ingin memiliki kedudukan sebagai Putri Mahkota?"

Aku tersenyum miring atas pertanyaan terakhirnya. "Yang Mulia, sepertinya kau lupa satu hal. Aku bisa menjadi Putri Mahkota tanpa harus menikah denganmu atau dengan Putra Mahkota lainnya. Aku Putri pertama Axylon dan aku bisa menjadi Putri Mahkota di kerajaanku sendiri. Yah, meskipun sampai sekarang Ayahku belum memberikan kedudukan itu padaku, mungkin karena beliau masih ingin melihatku bebas tanpa beban. Jadi...jangan khawatirkan masalah kedudukanku."

Ia mengangkat sebelah alisnya seolah-olah baru menyadarinya. "Ah ya ya ya, kau benar. Secara tidak langsung kau memang Putri Mahkota Axylon. Yah, meskipun belum diangkat secara resmi. Pantas saja kau seperti tidak tertarik dengan kedudukan yang kutawarkan dan menurutku itu masuk akal kenapa Raja Zealda sangat mempertimbangkan keputusanmu dalam perjanjian ini." Azura tertawa sejenak dengan wajah seperti orang bodoh yang telah menyadari kebodohannya. "Pantas saja aku kesulitan menghadapimu, aku lupa kau memiliki kedudukan yang sama denganku. Kau...seorang Putri Mahkota."

"Bagus lah kalau kau sudah menyadarinya. Sekarang menyingkirlah!"

Ia memiringkan kepalanya dan menatapku dengan semangat baru. "Ini menarik. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara membuatmu tunduk padaku."

"Apa lagi yang kau mau sebenarnya? Aku sudah sedikit menundukkan kepalaku untuk memberi persetujuan sesuai permintaanmu."

"Seperti kataku tadi, katakan pada Ayahmu kalau kita saling mencintai sejak pertama bertemu."

"Bagaimana kalau aku tidak mau?"

Azura memegangi kepalaku agar tak bisa menoleh kemudian mendekatkan wajahnya perlahan dan berbisik, "Aku tidak yakin ciuman bisa membuatmu takluk, tapi mungkin aku perlu mencobanya lagi."

"Hei!"

Kalimatku terjeda saat ia mulai menciumku dengan paksa. Aku berusaha memiringkan kepalaku agar ciumannya terlepas, tapi tangannya sudah menahan rahangku. Aku berusaha menggeliat saat mulai kehabisan napas dan untung saja ia melepaskannya. Kuhirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paruku yang terasa sesak.

"Aku akan terus menciummu sampai kau mau mengatakannya."

"Kalau aku tetap tidak mau, apa kau mau menciumku sepanjang malam?" tanyaku tak percaya.

Ia menatapku serius kemudian menjawab, "Ya."

"Kau gila!"

"Tidak masalah menjadi gila sedikit untuk menaklukan seorang Putri Mahkota yang keras kepala."

"Sialan kau!"

Aku kembali dibungkam oleh kecupannya dan sekilas aku melihatnya tersenyum menang. Ciuman kali ini lebih lama, bahkan saat aku mulai kehabisan napas ia hanya memberiku waktu beberapa detik saja untuk menghirup udara, kemudian menciumku lagi.

Jantungku berdegup kencang, semakin lama udara di sekitarku seperti memanas dan membuatku berkeringat. Ada perasaan aneh yang mengalir perlahan dalam benakku dan tanpa sadar aku mulai menikmati ciumannya. Perasaan hangat itu perlahan menggenang dalam relung hatiku, membuat pikiranku buyar sejenak hanya untuk meresapi rasa yang menyenangkan.

Tentu saja, ini adalah hal yang berbahaya untukku. Dengan terpaksa aku memutuskan untuk menyerah agar tidak terbawa arus deras dengan kenyamanan yang dihadirkan olehnya. Ya, sisi lain diriku merasa kecewa atas ketidakmampuanku untuk melawannya hingga aku ingin memaki diri sendiri.

"Baiklah baiklah," ujarku seraya menghirup udara, sebelum ia meciumku lagi. "Aku akan mengatakannya pada Ayahku. Kau puas sekarang?"

Azura menghirup udara dengan napas sesak dan menahan dirinya sejenak. "Apa kau memiliki jaminan agar aku mempercayaimu?"

"Apa menikah saja belum cukup untukmu?"

"Belum, aku perlu kau meyakinkan Raja Zealda tanpa menaruh curiga bahwa ini adalah paksaan."

"Aku akan berusaha meyakinkannya. Seperti katamu, aku akan bilang padanya kalau kita saling mencintai."

"Bagaimana caramu untuk meyakinkanku kalau kau akan mengatakannya?"

Aku menatapnya tajam dengan kesal, tak kusangka ia benar-benar menguji kesabaranku dengan hal-hal tak masuk akal. "Kau ingin aku melakukan apa agar kau percaya padaku?"

Ia mengangkat bahunya sambil berkata, "Terserah pedamu."

"Kalau begitu lepaskan tanganku!"

Azura melepas tanganku dan aku menggerakannya karena pegal. Aku menarik napas lega sambil memijit lenganku yang sedikit nyeri. Meskipun Azura melepas tanganku, tapi ia tak beranjak dari posisinya sambil menunggu apa yang akan kulakukan.

Pikiranku berputar cepat untuk mencari cara untuk meyakinkannya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mendapat kepercayaannya, sementara aku ingin ia melepaskanku segera. Seharusnya ini kesempatan bagus untuk menghajarnya, tapi aku takut ia akan melakukan hal yang lebih gila.

Aku menghela napas agar tenang dan menatapnya sungguh-sungguh, berusaha mencari celah dari matanya atau membaca pikirannya untuk menebak apa yang ia mau. Namun mata itu hanya dipenuhi tuntutan terhadapku layaknya perisai yang takan membiarkan seseorang menerobos masuk.

Aku menarik kepalanya dan menciumnya. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan saat ini selain menjatuhkan harga diriku sendiri untuk saat ini. Azura membalas ciumanku dan menahan kepalaku saat aku ingin mengakhirinya. Jantungku kembali berdegup kencang dan perasaan yang tadi sempat kuhentikan kembali mengalir.

Aku masih memeluk lehernya, sementara tangannya mulai memeluk tubuhku. Kami saling berpagutan untuk pertama kalinya dan saling memeluk erat. Semakin lama, ciuman kami terasa panas dan membakar hasrat. Tanganku mencengkeram bahunya saat tangannya menekan pinggangku dan seketika itu juga ciuman kami semakin liar.

Kami langsung melepaskan diri masing-masing, sesaat kami menyadari bahwa situasi tadi sangat berbahaya dan parahanya kami hampir saja lepas kendali. Kini kami hanya saling menatap dengan tubuh gemetar satu sama lain.

"Maaf," ujar kami bersamaan dan kami sama-sama syok saat mengatakannya.

Azura melangkah ke tempat tidur dan terbaring di sisi lain ranjang, sementara aku hanya terdiam dan melihatnya yang sudah meringkuk dan memunggungiku. Aku terbangun untuk melepas selimut yang membalut tubuhku, kemudian terbaring memunggunginya sambil melebarkan selimut.

"Pakailah selimut agar tidak dingin," ujarku tanpa menoleh ke arahnya.

Azura tak menyahut, tapi aku merasakan pergerakannya di sebelah sana. Aku menoleh ke arahnya sejenak dan kulihat ia sudah masuk ke dalam selimut maskipun masih memungggungiku. Aku bersyukur selimutnya sangat lebar, bukan hanya bisa menutupi tubuhku, tapi juga bisa menyelimutinya.

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Selain karena takut bermimpi lagi, pikiranku saat ini juga dipenuhi adegan sialan itu. Namun sepertinya—Azura juga tidak bisa tidur nyenyak. Aku bisa merasakan tubuhnya terus bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untuk tidur, sementara aku hanya pura-pura tidur.

* * *

Kami terbangun saat pintu diketuk dan itu membuatku sedikit sebal, pasalnya kami baru saja terlelap saat Matahari menjelang terbit. Azura berdecak kesal dan bangkit dari pembaringan dengan kain yang masih membalut di tubuhnya. Aku memutar tubuh untuk menoleh ke arah pintu saat Azura membukanya.

"Maaf tuan, kami hanya mengantar pakaian anda yang sudah dibersihkan." Seorang wanita menyordorkan setumpuk pakaian pada Azura.

Aku bisa melihat wajahnya bersemu saat tak sengaja melihatku yang masih terbaring nyaman di tempat tidur. Ya, sudah pasti wanita itu akan berpikir yang aneh-aneh karena penampilanku di ranjang.

"Saya akan kembali untuk mengantar makanan anda sebelum melanjutkan perjalanan," ujarnya, kemudian pergi, sementara Azura hanya mengangguk dan menutup pintu.

Ia terduduk sejenak sambil meletakkan tumpukan pakaian di tempat tidur. "Padahal aku berniat mengantarmu pagi-pagi, tapi ternyata ini sudah hampir menjelang siang."

"Tidak masalah, tidurlah sebentar lagi kalau kau masih mengantuk."

"Tidak bisa. Ayahmu pasti menunggumu," sahutnya lalu mengambil beberapa pakaian dan pergi ke kamar mandi.

Ya, yang dikatakannya memang benar. Saat ini pasti Ayahku sedang menagih janji para pengawalku kalau aku akan kembali pagi hari dan mungkin saja beliau sudah menungguku. Aku terduduk dengan kepala sedikit pening karena kurang tidur.

Setelah beberapa lama, Azura keluar dari kamar mandi dan tampak terlihat segar dengan rambut basah yang acak-acakan dan sekarang giliranku. Aku meraih handuk dan juga pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi.

Air yang mengguyur tubuhku begitu segar dan membuatku tenang seketika. Bayangan semalam kembali muncul, membuatku tanpa sadar menyentuh bibirku. Aku segera menggelengkan kepala untuk menyingkirkanya dan memukul dinding dengan sebal terhadap diriku sendiri.

Aku segera mempercepat mandiku dan berganti pakaian. Kulihat Azura sudah duduk sambil menyeruput secangkir teh ketika aku keluar dari kamar mandi. Di atas meja sudah ada dua piring Sandwich dan daging. Aromanya begitu menggoda, membangkitkan rasa lapar yang tadinya diam. Kami menghabiskan makanan kami dalam diam sebelum bersiap-siap untuk pergi.

Kuda kami melaju meninggalkan desa yang indah itu dan mungkin aku takan melupakan tempat itu. Itu adalah pertama kalinya aku keluar Axylon tanpa tujuan resmi.

"Selena, bisakah kau yang memegang tali kekangnya?" ujar Azura di tengah perjalanan. "Sebenarnya...aku masih sedikit mengantuk."

Aku mengangguk dan kini aku mengambil alih tali kemudi. "Tidurlah, aku yang akan membawa kudanya."

Azura melingkarkan tangannya di pinggangku dan meletakkan kepalanya di bahuku. "Bangunkan aku kalau kau mulai lelah dan butuh istirahat."

Aku mengangguk dan kuda kami mulai melaju. Kubiarkan kuda kami hanya berjalan cepat, aku tak mungkin membuat kudanya berlari kencang agar Azura bisa tidur sedikit nyenyak. Meskipun akan memakan waktu lama, tapi setidaknya itu lebih baik dari pada ia jatuh dari kuda. Ditambah kami tidak membawa tali untuk mengikatnya agar tidak jatuh.

_______To be Continued_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status