"Ah, aku saja yang sepupuan dengan mereka tidak nyaman apalagi kamu yah."Lea mengangguk pelan, memahami ucapan dan kondisi sahabatnya ini. Sejujurnya meskipun anak ini suka melawak dan terlihat mudah berbaur, tetapi Lea tahu jika Ziea tidak nyaman. "Ziea, aku juga sepertimu. Aku mau-mau saja berbaur dengan sepupumu. Tapi … hah, sakit sekali setiap Kak Haiden cuek padaku tetapi dia ramah pada sepupumu yang lain. Terutama sepupumu yang bernama Melodi itu. Mereka dekat banget yah," di akhir kalimat Lea tersenyum lirih. Ziea hanya diam, meresapi rasa sakit di dadanya. Kebetulan macam apa ini?! Dia dan Lea merasakan hal yang sama. "Aku ikut kesini berharap bisa cari perhatian ke Abang kamu. Tapi … malah tak diacuhkan. Aku cape, Ziea. Aku …- mau nyerah saja yah untuk jadi kakak ipar kamu. Sepertinya Melodi jauh lebih layak bersanding dengan Abang kamu. Lagian kelihatanya keluarga kalian sepertinya sulit menerima pendatang seperti aku."Ziea menghela napas. "Kan aku sudah bilang sejak aw
"Besok kita ke sana lagi yah," tambah Ziea bersemangat dan ceria pada Aayara dan Lea, berbanding terbalik ketika dia berbicara pada Aesya. Setelah itu dia beranjak dari sana, sama sekali tak menunjukkan air muka apapun atau menoleh sedikit saja pada Reigha. "Ziea, aku ikut," ucap Lea, buru-buru menyusul Ziea. Dia tak nyaman jika tak ada Ziea di sana. Dan lagi, nada bicara Ziea pada Aesya itu terkesan marah serta bad mood. Lea semakin tak enak. "A--aku punya salah?" Aesya bergumam pelan, menatap Ziea dengan air muka bertanya-tanya dan murung. "Yara, Ziea kenapa?" tanya Aesya lemah dan sedih ke arah Aayara. Aesya yakin jika Ziea marah padanya karena mengabaikan Lea. Tapi Aesya ingin memastikan, dia ingin tahu agar lebih jelas. Aayara menggelengkan kepala. "Ziea tidak kenapa-napa, Kak Eca. Tadi kami habis seru-seruan di luar. Anaknya banyak ketawa, normal dan seperti biasanya." "Jangan dipikirkan, Eca. Sudah kukatakan mood Ziea seperti musim pancaroba. Nanti dia juga akan berbicara
"Kau marah padaku?" "Aku ingin istirahat. Paham kan?!" ketus Ziea pelan, berdecak halus lalu kembali memejamkan mata. Dia benar-benar kesal untuk saat ini, dan dia sama sekali tak ingin berbicara pada Reigha. Bayang-bayang ketika pria ini menyematkan cincin di jemari manis Serena masih mengiyang di kepalanya. Reigha menggeram tertahan, mengepalkan tangan sembari menatap tajam ke arah Ziea yang masih berbaring tengkurap– serta enggan menanggapinya. Namun, Reigha memilih mengalah. Mungkin saja jika Ziea memang tengah kelelahan, istrinya tadi habis dikejar lebah. Reigha pada akhirnya memilih beranjak dari sana, memilih duduk di sofa kamar sembari membaca sebuah buka– berusaha fokus meskipun isi kepalanya dipenuhi oleh Ziea. Shit! Jelas dia tahu jika istrinya sedang marah padanya. Tetapi karena apa? Karena tadi Reigha meninggalkannya? Tidak mungkin hanya karena itu. "Marah," gumam Reigha pelan, mengerutkan kening dengan menatap serius pada lembaran buku yang dia baca. Matanya ke arah
"ZieMour," sapa seseorang yang Ziea sebut banteng tersebut– berbisik pelan sembari duduk di sebelah Ziea yang sudah menegang dan pucat pias. "Kalian ini sedang bertengkar apa bagaimana?" tanya Prince, memperhatikan Reigha dan Ziea secara bersamaan dan bergantian– dia memicingkan mata, sedikit curiga jika Reigha dan Ziea memang tengah bertengkar. Prince yang paling tua di sini, oleh sebab itu dia merasa bertanggung jawab pada semua kejadian di sini. Termasuk pertengkaran sekecil apapun. "Tidak," jawab Reigha santai, tersenyum tipis ke arah Ziea kemudian mengusap pucuk kepala Ziea secara acak dan gemas– membuktikan kepada semua orang jika dia dan istrinya baik-baik saja. 'Apaan sih nih kambing? Caper banget!' batin Ziea, menatap malas ke arah Reigha dan memilih kembali melanjutkan aktivitasnya yang tengah makan. Srett'Tiba-tiba saja dengan santai, Reigha menarik piring Ziea kehadapannya– membuat Ziea yang tengah menyuapkan nasi dalam mulut, sontak menatap melogo ke arah suaminya.
Ziea duduk menyendiri di bawah sebuah pohon, merenung di sana dan diam-diam menangis. Kakinya menekuk, memeluk lututnya sendiri sembari menatap tanah– menulis-nulis tanah dengan sebuah ranting kayu. 'Karena kamu sudah melepas cincin pernikahan kita dari jariku, maka kuanggap kita selesai.' Ucapan yang Ziea lontarkan pada Reigha entah kenapa mengiyang dalam kepalanya, membuat dadanya semakin sesak dan air matanya kembali jatuh. 'Meskipun aku marah, harusnya aku tidak melontarkan kalimat itu pada Mas Rei.' batin Ziea, mengusap air matanya dengan tangan. Setelah itu, kembali menulis tanah dengan kayu dan terus hanyut dalam pikirannya. 'Enak banget yah jadi Kak Serena. Bukan cuma dicintai oleh suaminya, tetapi dicintai oleh suami orang juga. Hehehe … sedangkan aku? Tai kucing di sambal mata, bangsat lah.' batin Ziea. "Lagi bertengkar dengan Pak Reigha yah?" Sebuah suara pelan dan halus terdengar mengalun. Ziea menoleh cepat, menatap makhluk tersebut dengan raut muka kaget. "Aaa-- kunt
Setelah mendengar penuturan Serena, Ziea langsung mencari Reigha. Entah ini salahnya, salah Reigha atau ini hanya salah paham, tetapi Ziea ingin menyelesaikannya serta menyudahinya. Kata Nanda, Reigha ke pantai untuk mengantar Fauzan dan Camille pulang. Dan Ziea menyusul ke sana, sendirian! Ziea berlari sekencang mungkin menuju pantai. Jika memang dia yang harus meminta maaf, maka Ziea akan meminta maaf pada Reigha. Tak'Langkah kaki Ziea yang melaju cepat seketika berhenti, kakinya me-rem mendadak– hampir terjatuh akibat kehilangan ke seimbangan. Untungnya dia masih bisa menahan diri. Ziea terdiam, menatap ke arah Reigha yang terlihat berjalan ke arahnya sembari menggendong Camille secara bridal style. Wajah Reigha terlihat flat dan dingin, tak mengatakan apa-apa dan hanya melewati Ziea begitu saja. Sejenak Camille menoleh ke arah Ziea, tersenyum sinis dengan sengaja mengalungkan tangan di leher Reigha. Tangan Ziea terkepal kuat, terdiam di tempat dengan tubuh membeku dan mema
"Tolongggg …." Terdengar suara meminta tolong, teriakannya begitu halus dan sangat pelan– seperti halusinasi otak. Namun, Reigha merasa jika dia memang mendengarnya. Itu suara Ziea! Pendengaran Reigha sangat tajam dan-- dia tidak mungkin salah. Reigha buru-buru keluar dari air, berlari cepat mengikuti asal suara tersebut– arah angin bertiup. "Reigha, kau mau kemana?" teriak Haiden, spontan keluar dari air untuk menyusul Reigha yang berlari kencang. Sedangkan Rafael dan Serena, mereka hanya mengikuti dari belakang. Tak mungkin mereka berlari karena Serena tengah hamil. Jadi, mereka hanya menyusul dengan langkah biasa. Reigha berhenti melangkah, dia sudah jauh dari tempat semula dan sialnya dia tidak mendengar suara itu lagi. Rahang Reigha mengatup kuat, tatapan matanya menajam dan penuh kekesalan. Damn it! Tak ada siapapun di sini dan-- suara itu menghilang. 'Aku tidak berhalusinasi.' batinnya, mengepalkan tangan. Wajahnya kaku, berbalut perasaan kesal yang bercampur kekecewaan a
"Masih belum mau melepasnya?" ucap Reigha dingin dan rendah, setelah mereka dalam kamar. Ziea menggigit semakin kuat leher Reigha. "Asss." Reigha meringis pelan, menatap ke arah istrinya yang masih mengigit lehernya. Namun, kali ini gigitannya lebih kuat dari sebelumnya. Setelah itu Ziea melepas gigitannya, mengusap bibirnya kasar sembari menatap tajam ke arah Reigha yang juga tengah menatap Ziea datar. Kemudian merasa punya kesempatan melompat dari gendongan Reigha. Reigha mengusap pelan lehernya, terus menatap Ziea intens– tak melepas sedikitpun tatapannya dari istrinya tersebut. Reigha menghela napas dengan pelan, merogok saku celana lalu meraih tangan Ziea– menyematkan cincin pernikahan mereka di jari manis Ziea. "Maaf …," ucap Reigha pelan dan rendah, setelah memasang cincin tersebut kembali ke jari manis istrinya. "Hanya itu yang mau kamu bicarakan?" Ziea berkata remeh, berdecis sinis sembari melepas cincin tersebut dari jari manisnya. "Nah." Ziea meraih tangan Reigha ke