Setelah dijual oleh ayahnya sendiri kepada seorang desainer legendaris bernama William Neil, gadis 18 tahun bernama Lira Suhita hidup dalam dunia penuh cahaya dan kamera, tetapi tanpa kebebasan. William menjadikannya seorang bintang model, membentuk Lira sesuai visi dan ambisinya. Namun, di balik kilau busana dan tepuk tangan, Lira justru terjebak dalam pesona pria berusia 36 tahun yang berbahaya—ambisius, manipulatif, dan obsesif. Saat cinta dan ketakutannya bercampur, Lira harus memilih: tunduk pada William yang telah menjadikannya bintang model … atau membuang semua kemewahan ini demi kebebasan yang dahulu dia impikan.
View More“Lepaskan aku!”
Teriakan Lira teredam oleh derasnya hujan. Tubuhnya yang kurus berusaha meronta, namun cengkeraman kasar di lengannya tak goyah sedikit pun.
“Diam! Dasar gadis tidak tahu diuntung, beraninya kau berusaha kabur dariku!” geram sang ayah dengan wajah penuh amarah. Dia menyeret Lira yang terus meronta hingga sampai ke rumah, tidak peduli betapa banyak luka yang terbentuk akibat Lira yang sempat terjatuh beberapa kali di aspal.
Saat sampai di rumah, sang ayah mendorong pintu hingga terbuka keras.
“Tuan William! Aku sudah menangkapnya!” seru ayah Lira dengan bersemangat, terdengar sangat sungkan dan sopan, jauh berbeda dari biasanya.
Di saat itu, Lira memicingkan mata untuk melihat sosok asing yang terduduk di sofa ruang tamunya. Dan saat matanya menangkap wujud sosok asing itu, dia mematung.
Rambut hitam yang tertata rapi, rahang tegas memesona, garis wajah tampan, dan sorot mata tajam yang langsung membuat udara di ruangan seolah membeku. Patut Lira akui, pria itu adalah salah satu pria paling tampan yang pernah dia lihat dalam hidupnya.
Dilengkapi dengan jas dan celana bahan mewah yang menonjolkan betapa jenjang kaki pria tersebut—menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa.
Selagi Lira terbengong, pria itu melirik tajam ke arahnya dan sang ayah. “Dia putrimu?”
Belum sempat Lira memahami siapa pria itu, tubuhnya didorong keras oleh sang ayah hingga terjerembap ke lantai, tepat di depan kaki pria asing itu. Rasa sakit menjalar ke lutut, namun yang lebih perih adalah rasa terhina.
“Ya, Tuan, ambil saja dia. Dia pasti berguna untukmu!” ucap ayah Lira dengan mata berbinar. “Bagaimana? Dia sesuai dengan yang Anda cari, bukan? Usianya masih 18 tahun.”
Lira terpaku. Apakah sang ayah sedang menjualnya kepada pria ini?
“Aku tidak mau!” seru Lira dengan lantang, menarik perhatian dua pria dalam ruangan.
“Jangan melawan, dasar jalang kecil!” Sang ayah menjambak rambut Lira dari belakang, kemudian memaksanya untuk berlutut. “Bersikap yang sopan di depan Tuan William! Ke depannya, kau akan melayaninya!”
“Kubilang aku tidak mau!” Lira memberontak, setengah merengek setengah kesakitan, sambil memegangi tangan ayahnya di kepalanya. “Hidupku adalah milikku, kau tidak berhak menjualku seperti ini! Kalau kau mau, kenapa tidak jual saja dirimu kepada pria ini!?”
Plak!
Suara tamparan terdengar, tapi Lira yang menutup mata tak merasakan sakit. Perlahan ia membuka mata, terkejut melihat tangan sang ayah terhenti di udara. Ternyata, pria asing itu menahan tangannya!
“Jangan menyentuhnya.” Suara pria itu tenang, namun setiap kata seperti membawa ancaman. Pandangannya bergeser sekilas pada Lira, lalu kembali pada sang ayah. “Kau menyerahkannya padaku, bukan? Kalau begitu, dia harus tetap utuh. Bagaimana bisa aku menerima sesuatu yang sudah rusak?”
Ayah Lira langsung menarik tangannya, wajahnya pucat pasi. Tanpa pikir panjang, dia merunduk, hampir bersujud. “Maafkan saya, Tuan William….”
Lira kaget. Sang ayah, yang selama ini selalu berlaku kasar dan arogan, kini tampak ciut seperti seekor tikus di hadapan pria bernama William itu. Rasa heran bercampur takut menyergap hatinya.
Siapa sebenarnya pria itu?
William berdiri, langkahnya pelan namun mantap menghampiri Lira yang masih meringkuk di lantai. Jemarinya yang panjang terulur, menangkap dagu Lira dan memaksanya mendongak.
Untuk pertama kalinya, Lira melihat jelas matanya. Mata kelabu, dingin, seolah menyimpan pusaran badai di balik sana. Tanpa dijelaskan, dalam hati Lira paham, pria ini sangat berbahaya. Seperti badai yang tenang sebelum meledakkan petirnya, siap menghancurkan siapa pun yang menentang.
“Kau sangat muda. Pernah bekerja sebelumnya?” tanya pria itu.
Sebelum Lira sempat menjawab, ayahnya sudah lebih dulu buka suara. “Dia bekerja sepanjang waktu,” ujarnya cepat, seolah siap menyebutkan seratus pekerjaan yang bisa dilakukan Lira. “Dia gesit, cekatan, dan suka kebersihan. Dia juga bisa membetulkan ledeng, atap rumah bocor, dan tidak takut dengan banyak hal. Sebenarnya saya agak sayang kalau harus melepasnya, tapi saya tahu Anda lebih menginginkannya daripada saya.”
“Tidak takut dengan banyak hal?” William mengulang, suaranya datar namun mengandung tekanan. Tatapannya menyapu wajah Lira perlahan, menelusuri matanya, hidungnya, pipinya, hingga bibirnya. “Apa artinya… dia berani untuk melawanku?”
“Maaf, Tuan William!” sang ayah segera membungkuk dalam-dalam, panik. “Dia… dia memang agak … liar, tetapi dengan sedikit didikan dan kekerasan, dia akan tunduk.”
“Kau kira aku anjing?” Lira berdesis, tatapannya membara penuh amarah.
William terdiam sejenak, lalu mendengkus tawa pendek yang dingin. “Kalau begitu, aku akan menerimanya.” Jemarinya terlepas dari dagu Lira, tubuhnya tegak berdiri menjulang. “Aku suka mendidik hewan liar agar tunduk,” imbuhnya, senyum tipis menggores wajahnya yang tampan sekaligus berbahaya.
Darah Lira mendidih. Hinaan itu menusuk lebih dalam dari tamparan mana pun. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dengan sisa tenaga, melayangkan tinjunya lurus ke wajah William.
Lira ingin lihat bagaimana pria itu akan menjinakkannya!
Grab!
Tidak Lira duga, tangannya terhenti di udara, tergenggam kuat oleh tangan William. Pria itu menaikkan alis. “Kau…” sudut bibirnya terangkat ke atas—terhibur, “…begitu tak sabar untuk dilatih olehku?”
Dengan mudah, William menghempaskan tangan Lira, membuat tubuh gadis itu kembali menghantam lantai. Namun, alih-alih takut atau tunduk, Lira hanya meringis kesakitan sebentar, sebelum mendelik ke arah pria itu.
Menatap Lira dari atas, sorot kelabu William tampak puas. “Keras kepala,” gumamnya, seakan sedang menilai seekor binatang buruan. “Menarik.”
Tersadar dari kegilaan yang putrinya coba untuk lakukan, Ayah Lira buru-buru maju, wajahnya pucat. “M-maafkan dia, Tuan William! Saya jamin dia tidak akan berani macam-macam lagi. Saya akan pastikan dia—”
“Cukup.” William mengangkat tangannya, menghentikan ocehan itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Lira yang tergeletak. “Mulai saat ini, dia bukan milikmu lagi. Dan kau…” Suaranya berat, setiap kata terasa seperti perintah mutlak. “…tidak berhak lagi menyentuhnya, apalagi memutuskan apa yang harus dia lakukan.”
Ayah Lira terdiam, rahangnya mengeras menahan ketakutan. Sementara itu, dada Lira bergemuruh. Ketakutan, kemarahan, sekaligus rasa asing yang tak bisa ia jelaskan bergumul menjadi satu.
Pria itu berbalik sejenak, memberikan perintah singkat pada seorang bawahan yang entah sejak kapan sudah menunggu di pojok ruangan.
“Siapkan mobil. Kita berangkat malam ini.”
Jantung Lira mencelos. Malam ini juga? Ke mana ia akan dibawa?
Namun sebelum sempat ia bertanya, William kembali menunduk, menatapnya dalam-dalam.
“Bangkitlah, anjing kecil. Mulai saat ini, kau milikku.”
Beberapa jam lalu….“Demam Anda sudah turun,” ujar Annalise sambil memperlihatkan termometer yang menunjukkan suhu 37 derajat kepada William. Merasa lega, William mengucapkan terima kasih kepada Annalise, kemudian kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Selagi sang kepala pelayan membereskan peralatan dan menyiapkan sarapan bubur di atas nakas, William berusaha mengingat-ingat sesuatu yang terlupakan sejak semalam. Entah apakah ini mimpi, halusinasi, atau memang benar-benar terjadi, William merasa telah menarik dan memeluk seseorang ke ranjang tidurnya. Entah siapa. Namun, setiap kali William memejamkan mata, kilasan kenangan itu selalu muncul, membuatnya gelisah. Dia mengingat kehangatan pipi yang dikecup oleh bibirnya, lembut kulit leher di bawah sentuhan jemarinya, dan asin air mata yang tercecap di lidahnya. Semua itu membekas seperti noda yang tidak mau hilang. Namun, William tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas—kepalanya sakit tiap berusaha mengingat. Meski begi
Seakan ciuman itu belum cukup, tangan William menjalar ke piyama Lira, berkutat dengan kancing-kancing di bagian dadanya. “Tu-tuan… tolong sadarlah….” Gadis itu gemetar tidak terkendali. Teriakannya tidak keluar, teredam oleh syok luar biasa akibat terjebak di situasi sama dua kali. Dalam hatinya, Lira merutuki kebodohannya yang dengan lancang masuk ke kamar Tuan Besar. Andaikan saja dia bisa memutar waktu … andaikan saja dia tidak nekat … semua ini tidak akan terjadi. Sekarang, dia yakin akan menerima nasib buruk; William pasti akan merobek-robek pakaiannya seperti yang pernah dia lakukan di studio waktu itu, kali ini bukan untuk menyuruhnya mengenakan gaun, melainkan untuk mencicipi tubuhnya, menikmatinya seperti sepiring hidangan di atas meja makan.Hal terakhir yang bisa dilakukannya adalah memohon keajaiban pada Tuhan. Jadi, Lira memejamkan mata, bersamaan dengan setetes air mata yang mengalir ke pipinya. Dia berharap, kali ini saja, pertolongan datang dan—BRUK! Tubuh Willi
Pukul 18.34, Lira terbangun di kamarnya sendiri, dengan suasana hati buruk. Dia ingat jelas apa yang terjadi pagi tadi. Setelah Annalise membawanya keluar dari rumah kaca, Lira tidak berhenti menangis sampai satu jam lamanya. Perasaan jijik, terhina, dan amarah, bergelora lebih kuat daripada yang pernah dirasakannya saat pertama kali datang kemari. Lira pikir pria dewasa seperti William tidak akan memiliki nafsu kepada bocah sepertinya, tetapi itu semua keliru. Sekarang hanya ciuman bibir, bagaimana dengan di masa mendatang kelak? Apakah William akan memperkosanya? Suara ketukan dari pintu memecah ratapan Lira. Gadis itu bangun dengan lesu dari kasur tepat ketika Annalise masuk, kali ini memberitahu bahwa makan malam telah siap. “Aku tidak mau makan,” kata Lira tanpa repot-repot memandang mata Annalise. “Nona, ini perintah. Anda punya target untuk menaikkan berat—”“AKU TIDAK PEDULI, KAU DENGAR TIDAK!” bentak Lira. Annalise nyaris melompat terkejut mendengar teriakan itu, sementa
Walaupun William telah mencecap hampir semua bentuk kesuksesan dalam kariernya, pria itu tidak pernah benar-benar bahagia. Setiap kali mencoba menikmati hidup, selalu saja ada kejadian yang mengingatkan William dengan masa lalunya yang kelam. Membuatnya takut hingga berakibat gemetar sekujur tubuh, dan ujung-ujungnya kehilangan kendali; terkadang dia bertindak terlalu agresif, tidak stabil, seperti bajingan emosional yang butuh bantal pelampiasan. Dan, traumanya lagi-lagi muncul ketika William mendengar kata-kata Lira di studio pagi itu;“Mau tahu apa lagi yang bisa dilakukan anjing liar selain membantah perintah tuannya? Dia bisa berbalik menyerang dan menghabisi tuannya sampai hancur!”William kehilangan kendali hanya beberapa detik setelah mendengar semburan kalimat Lira. Kepalanya sakit. Dia tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Hanya merasa terancam dan ketakutan. Begitu sadar, tangannya sudah menampar pipi Lira begitu keras. Gadis malang itu menatapnya dengan syok, lalu k
Lira mematut wajah lesunya di kaca kamar mandi sambil membuang napas berat. Disentuhnya luka goresan di pipi kirinya yang diakibatkan dari tamparan William beberapa menit lalu, selagi bertanya-tanya apa yang telah merasuki pria itu. Sikapnya berbeda. Bila di hari biasa dia selalu kasar dan bermulut tajam, tadi pagi dia malah seperti hilang akal.Apakah jangan-jangan pria satu ini memang psikopat? Ah, sudahlah. Apa pun yang terjadi pada William, itu bukan urusan Lira. Diilhami keyakinan itu, Lira memutuskan untuk kembali tegar menghadapi nasib. Dia memutar keran untuk mencuci tangan, kemudian keluar dari kamar mandi studio. Langkahnya mendadak terhenti karena Ringga berdiri memblokir jalannya. “Hei,” kata Ringga, terdengar lebih lembut, tidak seperti biasanya. “Coba sini lihat wajahmu.”Ringga mencondong sebentar pada Lira untuk memeriksa luka gores di pipinya. “Selain badan, wajah juga merupakan aset utama bagi seorang model. Kau tidak boleh terluka, bahkan goresan sekecil ini saj
Tidak terasa, lima hari sudah terlewati semenjak Lira mendapat PR khusus untuk memperbaiki postur dan cara berjalannya di runway. Setiap harinya, jadwal Lira sangat padat. Pagi pukul lima dia sudah terbangun karena Ringga menggebrak-gebrak pintu kamarnya dengan heboh demi mengajaknya olahraga di gym atau berenang di kolam mansion. Katanya olahraga ini wajib dilakukan agar Lira belajar tertib waktu sekaligus menaikkan massa ototnya. “Walaupun kau kurus seperti papan, kau harus tetap olahraga. Berenang dan angkat beban cocok untuk membentuk lekuk tubuhmu!”‘Nyenyenyenye, mulutnya mengoceh saja seperti monyet!’ Lira membatin kesal. Belakangan dia sudah belajar untuk tidak sedikit-sedikit protes terang-terangan karena Ringga sekarang punya cara licik untuk membuat Lira kapok; yaitu memberinya hukuman angkat beban berlebih di gymnasium. Kalau tidak mau berakhir ngos-ngosan dan nyaris pingsan, Lira harus menuruti semua perintah Ringga. Pagi pukul delapan, setelah sarapan penuh protein,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments