Pepohonan yang tinggi dan rimbun menghalangi pemandangan langit. Gemerisik dedaunannya mengiringi bunyi detak jantung dan langkah mereka. Debu-debu kering yang diterbangkan angin, cukup mengganggu pandangan, tetapi Raesaka terus berjalan, menembus kabut tipis yang dingin. Tempat ini benar-benar asing. Sementara Ivan bersiaga, Raesaka mengamati orang yang duduk dalam keadaan terikat itu. Kepalanya ditutup kain kotor. Nama yang terjahit pada kemejanya yang lusuh memang Purangga. Mula-mula, dengan hati-hati ia menyentuh pergelangan tangan orang itu, dan mendapati masih ada denyutnya walaupun lemah. Ketika Raesaka mau membuka kain yang menutupi kepala orang itu, ia mendengar Ivan bertanya, “Apa kamu berpikir juga, kalau ini misi jebakan?” “Jangan ngomong yang enggak-enggak,” tepis Raesaka. Mungkin Ivan berkata begitu karena ini pertama kalinya ia terlibat dalam misi yang lebih berbahaya (yang biasanya hanya ia dapatkan melalui latihan atau simulasi), tetapi Raesaka tidak peduli. Ia men
Diikuti para personelnya, Akarsana melangkah cepat menelusuri jalan panjang yang semakin suram dan dingin. Di akhir jalan, ketika ia mau melewati sebuah lawang, anak buah Maruk muncul—satu, tiga, lima—berlompatan dari balik reruntuhan. Mereka memilih bungkam saat Akarsana bertanya tentang lokasi Maruk dan para warga yang disandera. Tanpa banyak bicara, para kriminal itu menyerang.Namun, ada satu hal yang membuat Raesaka terganggu. Matanya mengerjap lebih sering dari biasanya, berpikir terkena debu atau iritasi. Ia tercenung beberapa kali, mencoba memahami apa yang terjadi. Meskipun serangan para kriminal itu dapat dengan mudah ditangkis dan dilawan balik, Raesaka tidak dapat melihat jelas wajah mereka. Mata, telinga, dan mulut mereka ditutupi lapisan buram, seperti uap embun pada permukaan cermin. Setelah para kriminal itu dikalahkan, tangan dan kaki mereka diikat supaya tidak melarikan diri.Hal yang sama terjadi lagi begitu memasuki jalan berikutnya, dan Raesaka yakin, hanya dir
Satu tahun enam bulan penjara. Begitulah hakim mengetuk palu, menyudahi perkara suaminya Prisha. Mereka tetap menilai suaminya bersalah atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Suaminya menerima putusan hakim dengan lapang dada, tanpa mengajukan banding. Baik dirinya mau pun Prisha sudah tahu, langkah itu hanya akan menambah beban mereka saja.Prisha tidak pernah tahu, dan tidak pernah mencari tahu, seperti apa kehidupan di penjara, dan bagaimana ia akan menjalani kehidupan tanpa suaminya. Pikiran-pikiran itu, sedikit demi sedikit, melebur bersama perasaan lega dan lapar yang tidak tertahankan, sehingga yang tersisa hanya sedikit harapan.Awan-awan kelabu berarak menutupi matahari, dan suhu udara di dalam warung makan sederhana meningkat meskipun sudah tidak lagi ramai pengunjung. Sambil mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya, Nayyala menyedot sisa air jeruknya, lalu mengamati Prisha yang lahap menghabiskan makan siang. Beberapa jam yang lalu, pertemuan mereka begitu canggung.
Cahaya sore merayap pelan menerangi seluruh ruangan berudara sejuk. Sambil tersenyum manis, dan rambutnya berserakan menutupi sebagian wajahnya, ibunya menelungkup di lantai. Matanya memandang lembut kepada Raesaka kecil yang duduk sambil merengek, tidak suka melihat ibunya yang tadi terpejam, atau mungkin dia mengira ibunya sudah mati.“Tadi pelurunya kena Ibu, tapi kan Ibu enggak kenapa-kenapa,” kata ibunya, membujuk. “Ibu cuma pura-pura luka, Sayang.” Masih dengan posisi yang sama, ibunya meraih pistol mainan berwarna kuning dan biru yang tergeletak di lantai, lalu menyodorkannya kepada Raesaka. “Ayo, kita main lagi.” Memori yang tidak pernah diingatnya itu kembali tergambar dalam pikirannya. Di kala sadar itulah, Raesaka menyaksikan wajah ibunya melebur menjadi wajah Ivan, yang babak belur, mengkilat karena keringat, dan terengah-engah pelan. Pandangan Ivan yang menggelap berkaca-kaca, menggulirkan bulir-bulir air mata. Tangannya memaksa bergerak, meraih pistol glock miliknya
“Bukannya kamu... tewas, Vi?” bisik Raesaka, masih merasakan beban tubuh Arkavi yang menindihnya.“Dasar bego,” hardik Arkavi. “Itu jelas rekan kita dari regu yang lain. Masa’ kamu enggak bisa bedain?” Matanya yang gelap hampir tidak berkedip saat memandang Raesaka. Bibirnya tersenyum puas, tapi singkat.“Apa kamu... bekerja sama dengan Maruk?” Pertanyaan itu sangat pahit diucapkan.Arkavi menarik kerah baju Raesaka, dan memaksanya berdiri.“Misi ini sudah selesai,” katanya.“Ini belum selesai,” balas Raesaka, suaranya tegang.Bunyi geraman dan gemeretak pukulan memecah keheningan yang tadi menenggelamkan mereka. Raesaka tidak pernah mengira peristiwa ini akan terjadi, menghadapi dan melawan rekannya sendiri, tanpa ia mengerti. Terlintas sebuah pikiran: Arkavi tidak membunuh Akarsana, melainkan Akarsana yang mengorbankan diri; mungkin ini bagian dari rencana Arkavi, mempermainkan dan menjebak musuh. Tapi, itu hanya pikiran belaka. Ketika sepatunya tanpa sengaja menginjak kulit mati
Setengah berlari, Raesaka menelurusi lorong panjang dan terang, melewati pintu-pintu berwarna hitam, yang berjajar di sisi kiri dan kanannya, dan terkunci. Bunyi yang didengarnya saat itu hanya degup jantungnya, helaan nafasnya yang lelah, dan langkah kakinya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di sana, seakan dunia luar menjauh darinya. Sampailah ia pada satu pintu di ujung lorong, dan memutar tombolnya.Ada sesuatu yang jatuh begitu Raesaka masuk ke sana, diikuti cairan kental gelap yang menetes ke lantai yang dipenuhi bercak darah, pasir, jejak sol sepatu dan beberapa selongsong peluru. Benda yang semula dikira batu itu berguling ke dekat sepatunya, di mana sepasang mata yang mati memandang kosong padanya. Terkejut sekaligus ngeri, kakinya secara refleks melangkah mundur dan menabrak pintu di belakangnya sampai gaduh. Tangannya terangkat menutupi wajahnya yang meringis, tidak percaya apa yang sedang disaksikannya.Di dalam ruangan putih berbentuk segi delapan itu, tubuh Pu
Sesuatu yang basah dan hitam, menetes mengotori wajahnya. Begitu membuka mata, Raesaka sudah berada di dalam ruangan sempit berwarna krem bercahaya suram. Ada sesuatu yang menggantung, memenuhi langit-langit ruangan berbau debu dan besi itu.Tia ada di sana, menempel pada siling, memunggungi Raesaka yang masih berbaring. Lehernya memanjang dan melengkung ke bawah, sehingga kepala dan wajahnya yang terbalik berada tepat di hadapan Raesaka. Namun, ada sesuatu yang berbeda—tidak, aku tidak ingin melihatnya, tetapi aku harus melihatnya! Tidak ada kain yang menutupi kedua matanya, dan tampak dua rongga mata yang sangat gelap dan menyedihkan, meneteskan darah kental. Bahunya tetap buntung, tidak mengeluarkan tangan-tangannya yang aneh.Guuuuuuuunnnnnnnnnnnnnngggg. Bunyi gong berdengung panjang memenuhi ruangan. Tidak ada siapa pun di sana, begitu pula dengan gong-nya.Sensasi mengerikan bergelayut mengepung Raesaka, membuat tubuhnya membeku sama sekali, dan udara di sekelilingnya menjadi
“Sepertinya, wajah kamu enggak asing,” kata seseorang. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”Mulanya Raeasaka tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal pertama yang dilihatnya dari balik kabut yang menyelimuti matanya adalah bulir-bulir air dingin, bercampur keringat dan tetesan darahnya sendiri, berjatuhan di atas permukaan meja coklat muda. Kedua tangannya dalam keadaan kosong dan bebas, saling bertautan di hadapannya, dan bajunya basah. Perlahan, rasa sakit dan sensasi panas merambat di sekujur tubuhnya yang bergetar hebat; kepalanya (yang semula ia kira meledak) pusing bukan main, dan setiap udara yang dihirupnya hanya memicu rasa ngilu yang tajam di dadanya. Sambil bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa bertahan (haruskah ia bersyukur, atau mengutuk atas rasa sakit yang menyiksanya sekarang?), ia mengangkat wajahnya pelan-pelan.Di sisi kanan, tiga orang duduk di lantai, dalam keadaan dibelenggu dan mulutnya ditutupi lakban belapis-lapis, begitu pula dengan ti