Dari telapak tangan Manggala, meluncur sinar kuning keemasan bergulung-gulung. Inilah ajian dahsyat yang didapatnya dari Raja Siluman Ular Putih, ajian 'Batara Shiwa'
Blar...!
Pohon besar itu hancur berkeping-keping tersambar sinar kuning keemasan. Tepat saat kakinya menginjak tanah, muncul seorang kakek tua berjubah merah. Kakek itu mencelat bersamaan dengan hancurnya pohon itu.
"Paman Nambi...!" seru Sakawuni.
Seorang tokoh tua sakti bernama Nambi muncul di tengah-tengah arena pertarungan. Dia dikenal dalam rimba persilatan dengan nama Setan Jubah Merah. Tokoh ini beraliran hitam dan dulunya merupakan suami Bayangan Hitam. Sampai sekarang pun mereka masih suami istri. Hanya kemunculan mereka saja yang tidak selalu bersamaan. Banyak tokoh menduga kalau mereka tengah bentrok. Hanya saja watak mereka yang terbiasa malang melintang di rimba persilatan, sehingga mereka tidak hiraukan status suami istri. Mereka sibuk mendirikan partai sendiri-sendiri.
RARA KEMUNING makin kaget ketika orang itu telah menubruk dan memeluknya. Dia meronta-ronta mencoba melepaskan diri. Tanpa menghiraukan jeritan, laki-laki itu menyeretnya masuk ke pondok. Rupanya perbuatan salah seorang anggota Bayangan Hitam menarik perhatian empat orang lainnya. Mereka kini tidak peduli dengan mayat gurunya. Segera mereka berlarian ke pondok.Di dalam pondok, Rara Kemuning terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Tangannya memukuli tubuh lelaki kasar yang telah menindihnya. Rara Kemuning jadi lupa kalau dia telah belajar dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Rasa panik dan ketakutan yang amat sangat membuat dia lupa segalanya."Auh! Lepaskan...!" jerit Rara Kemuning.Laki-laki itu makin liar merejam tubuh Rara Kemuning. Bahkan empat laki-laki anggota Bayangan Hitam lainnya telah mengelilingi serta menatap wajah dan tubuh yang indah itu.Bret!"Auuuh...!" Rara Kemuning memekik ketika tangan laki-laki yang menindihnya, merobek bajunya
"Kasihan, kalian hanya membuang nyawa sia-sia," gumam Aki Lungkur atau Pengemis Sakti Tongkat Merah. Pelan-pelan kakinya meninggalkan tempat pembantaian itu. Ironis sekali.Tempat yang indah dan menyejukkan itu, kini jadi mengerikan. Bau anyir darah telah mengundang anjing-anjing hutan untuk menyantap mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak luput, burung bangkai pun telah berkeliling di angkasa minta bagian. Aki Lungkur mengayunkan langkah menuju bukit Guntur. Langkah yang kelihatan pelan, tapi kenyataannya, sebentar saja kakek tua itu telah jauh melangkah. Kakinya seperti tidak menapak tanah.Itulah ilmu Sayiti Angin yang dikeluarkannya. Orang yang menguasai ilmu ini dapat meminjam hembusan angin untuk mendorong tubuhnya. Layaknya kapas yang dihembus angin."Mudah-mudahan Si Buta dari Sungai Ular bisa mengatasi keadaan," gumam Aki Lungkur pelan."He he he...!"Tiba-tiba terdengar suara terkekeh. Aki Lungkur menghentikan langkahnya. Suara itu jelas me
Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya. Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli. Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur. Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat..."Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang. Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol."Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!" desis Pradya Dagma."Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur tersendat."Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan s
PERTARUNGAN antara Manggala melawan Sakawuni dan Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur. Manggala masih tetap menggunakan jurus-jurus warisan Raja Siluman Ular Putih yang dahsyat dan aneh. Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan. Mereka bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya."Yeaaah...!"Tiba-tiba Manggala berteriak nyaring. Seketika itu pula, tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran."Awas, Wuni!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba."Hait!" Sakawuni melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua tombak. Kibasan Manggala berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan terjambret."Kurang ajar" geram Sakawuni. Mukanya merah menahan malu.Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih Giling
Apakah dia hancur bersama batu itu? Batin Rara Kemuning bertanya-tanya penuh kecemasan.Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Manggala masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur. Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa terhadap lawannya."Oh..." Rara Kemuning mendesah lega melihat pendekar muda itu masih hidup. Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling Wesi.Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia mengerti apa yang telah melanda putrinya ini. Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali.Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu dari balik pohon. Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali. Sementara itu Manggala sudah kembali melayani dua law
Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memainkan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai tak sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi mendengar alunan serulingnya. Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-nya si Bocah Ajaib.Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara serempak membuka usaha, sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun desa untuk berbelanja atau mencari hiburan.Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil. Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil bersenandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara melangkahnya tampak sant
"Kau...," desis Jiran geram."Ya, aku" sahut Walet gagah. "Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?"Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalukan seminggu lalu terulang lagi."Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin dan datar. Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib."Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi....""Apa? Hua ha ha... Kau mimpi, Bocah""Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet tanpa kenal rasa takut sedikit pun."Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku? Silakan.... Kau pikir aku akan tertipu lagi?" ledek Jiran, me
Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di sana. Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.Sekian lama mereka terdiam dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya.... "Yhiaaa Walet brengsek! Anak sialan!"Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar ganjil di telinga, "Apa-apaan ini? Apa Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana mengangk