Tubuh Tina terasa lemas saat polisi yang bertugas mengatakan jika Arum memang di tangkap karena menjadi wanita penghibur. Kasusnya adalah perselingkuhan dan perzinahan. Tidak hanya Arum yang di tangkap. Tapi, juga beberapa wanita lain yang berprofesi sebagai penghibur. Siska yang merupakan bos Arum berhasil melarikan diri agar tidak di mintai uang oleh Sinta, istri Andi yang memergoki Arum dengan suaminya.Karena Tina sudah mengirim pesan pada pengirim kontrakan akan mengubah jam pertemuan menjadi nanti malam, dia bisa pergi ke rumah tahanan tempat Arum kini di tahan. Tina tahu jika anak bungsunya memang bersalah. Tapi, sebagai seorang Ibu wanita itu tidak mau Arum masuk penjara seperti yang di alami oleh Ragil dan Bu Jumi.Untung saja sopir taksi mau menemaninya terus dan masih menunggu saat Tina masuk ke dalam rumah tahanan. Wanita itu mengisi daftar pengunjung lalu masuk ke dalam ruang tunggu. Disanalah ia akhirnya bisa bertemu dengan Arum setelah sekian bulan Ibu dan anak itu tida
Lima tahun kemudian waktu sudah berlalu begitu cepat. Budi tidak pernah lagi bertemu dengan Tina. Karena desakan Pak Harto Budi sudah menceraikan Tina satu tahun setelah kepergian mantan istrinya itu. Budi juga sudah menikah dua kali. Sayangnya selalu gagal karena istri kedua dan ketiga Budi sama-sama tidak tahan dengan sifat Budi yang tempramen. Di tambah dengan sikap Arga dan Pak Harto yang sangat mengesalkan.Tina mengajak Arum dan Sofia pindah keluar pulau setelah Arum bebas dari penjara. Karena Sinta kukuh ingin menghukum Arum dan Andi, maka Arum di jatuhi hukuman selama dua tahun. Di luar pulau itulah Tina memulai usaha warung tegal bersama dengan Arum dan Sofia. Membuat hubungan Tina dengan Arum dan Sofia menjadi semakin dekat. Begitu juga dengan hubungan Arum dan Sofia yang sudah sangat erat.Ragil dan Bu Jumi sudah bebas dari penjara. Tabungan emas yang sempat di buat Ragil di tambah dengan menjual mobil cukup untuk melunasi kredit rumahnya. Kini hanya ada motor second yang m
“Ibu. Aku lapar.” Suara tangis Mawar terus bergema di dalam rumah ini. Aku menggendong anakku yang baru berumur dua tahun agar bisa tenang. Tidak hanya Mawar yang menangis karena kelaparan. Aku juga menangis meratapi nasibku. Di umur Mawar yang sudah menginjak usia dua tahun, bobotnya hanya tujuh kilogram saja. Banyak para tetangga yang mengatakan jika Mawar terlalu kurus untuk anak seusianya. “Sabar ya sayang. Sebentar lagi Ayah pulang. Mudah-mudahan Ayah belikan makanan matang untuk kita.” Kataku dengan suara serak. Mencoba menghibur Mawar yang masih terus menangis. Maklum saja. Sudah lebih dari dua belas jam berlalu sejak makan siang yang menunya hanya nasi campur garam. Bahan makanan yang di sediakan Mas Ragil, suamiku, sudah habis untuk sarapan tadi pagi.Beras di ember juga sudah habis. Jadilan aku dan Mawar belum bisa makan malam. Jika keadaannya seperti ini, maka aku harus menunggu Mas Ragil pulang. Dia sudah janji akan membawa beras dan bahan makanan untuk makan kami tiga h
Aku memilih untuk duduk di teras depan. Tidak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Apalagi perkataan Mawar yang terus bicara apapun yang sedang di lihatnya. Meskipun tubuhnya kurang gizi, namun Mawar sudah bisa bicara dengan lancar. Pikiranku berkelana dengan telpon demi telpon yang di lakukan Mas Ragil dan Arum. Bagi orang asing, mereka akan terlihat seperti sepasang kekasih. Bukan Om dan keponakan. Pernah dulu aku menegur sikap Mas Ragil yang terlalu menempel pada Arum. Hasilnya aku yang di marahi habis-habisan. Mereka berdua tidak malu untuk tampil mesra di depanku. Tapi, sikap mereka akan biasa saja saat ada mertua serta kakak Mas Ragil. Bisa di bilang di antara lima keponakan Mas Ragil, dia paling memanjakan Arum. Bahkan jika keponakannya yang baru berumur lima tahun mencubit Arum, lalu di balas Arum dengan cubitan yang lebih keras hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Maka, Mas Ragil justru akan memarahi keponakannya yang saat itu baru berumur lima tahun. “Ibu.” Tangan
"Hp yang mana mas?" Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku membawa Mawar masuk ke dalam kamar. Anehnya Mas Ragil berjalan mengikutiku di belakang. Tanpa mempedulikan keberadaan suamiku itu aku menidurkan Mawar di atas tempat tidur. "Jangan pura-pura tidak tahu seperti itu. Kamu kan yang sudah membuka hpku." Aku seketika menoleh pada Mas Ragil. Apa tidak bisa dia mengajakku bicara di luar agar Mawar tidak mendengar. Kalau ada maunya saja semua harus di turuti. Termasuk dalam hal berdebat. Membuat capek saja. "Aku tanya hp yang mana? Kalau hp biasa selalu kamu bawa. Kalau hp yang buat ngirim uang ke Bapak dan Ibu, aku saja tidak tahu dimana letaknya. Lantas kenapa kamu justru menuduhku." Tangan Mas Ragil sudah meraup daguku dengan kasar, Ia bahkan mendorong tubuhku hingga menabrak dinding. Meskipun hatiku sudah bergetar ketakutan, tapi mataku balik memandang Mas Ragil dengan tajam, "Jangan main-main sama aku Bunga. Tidak mungkin uang di rekeningku habis kalau bukan kamu yang mengirim."
Setelah Mas Ragil berangkat kerja, aku melihat kembali pesan mesra dan foto-foto tidak senonoh yang di kirim Arum di hp Mas Ragil. Rasanya aku ingin mengunggah foto-foto ini sekarang juga di sosial media dengan menggunakan akun palsu. Toh, tidak akan ada yang tahu karena semua keluarga Mas Ragil tidak ada yang paham tentang IT. Namun, otakku masih bekerja dengan waras. Perkataan Ibu setelah aku mantap menerima pinangan Mas Ragil kembali ternginag. Seberat apapun masalah kita, jangan sampai umbar aib suami. Kecuali jika tidak ada lagi orang yang bisa di mintai pertolongan. Dalam hal ini, aku masih punya Ibu dan adik laki-lakiku yang bernama Satrio. Hanya saja aku tidak mau membebani Ibu dengan masalah rumah tanggaku di usia senja. "Ibu. Telpon." Perkataan Mawar yang tengah bermain balok bekas milk keponakan Mas Ragil berhasil menarik perhatianku. Nama Satrio tertera di layar ponsel. Kuseka tangis yang mengalir tanpa kusadari agar Satrio tidak curiga. Jariku lalu menekan tombol hijau
"Ya sebagai sesamai pria kamu juga pasti paham Yo kalau anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya. Sudah jadi kewajiban Ragil untuk memberikan nafkah padaku dan memberikan sedikit uang jajan untuk semua keponakannya. Memang dasar Mawar saja yang cacingan. Di kasih makan sebanyak apapun tetap saja kurus. Jadi, jangan salahkan Ragil lagi. Dia sudah melakukan kewajibannya sebagai Bapak untuk Mawar." Jawab Ibu mertua tidak mau kalah. 'Astaghfirullah.' Aku hanya bisa berucap dalam hati. Sejak dulu memang Ibu Mas Ragil selalu mengutamakan cucu laki-laki daripada cucu perempuannya. Begitu juga dengan urusan anak. Karena itulah Mbak Yuni dan Mbak Sindi selalu mencari perhatian pada Ibu dengan ikut-ikutan membenciku. "Mawar jadi cacingan juga karena gizinya kurang. Kalau soal pernyataan anak laki-laki itu selamanya akan jadi milik Ibunya itu sudah salah kaprah. Menurut kyai saya, pria yang sudah menikah tetap harus berbakti pada orang tua terutama Ibunya. Tapi, kalau sudah tentang
“Bukan begitu Bu. Tapi, tolong hargai Bunga sebagai istriku. Apalagi disini juga ada Satrio.” Aku tercenung sejenak mendapat pembelaan dari Mas Ragil. Ada apa gerangan hingga suamiku yang biasa cuek ini membelaku di depan Ibunya? Tanpa mempedulikan pertengkaran di antara Ibu dan anak itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Begitu juga dengan Satrio. Ku raih hp yang tergeletak di atas tempat tidur. Sejak tadi siang, aku sudah mengunduh aplkasi Tik Tik. Tapi, bukan itu tujuanku sekarang. Melainkan mengirim pesan pada Satrio. [Kenapa Mas Ragil bisa takut sama kamu Yo?] Sepuluh menit menunggu tidak ada pesan balasan dari Satrio. Anak itu pasti belum tidur. Kenapa pesanku tidak kunjung di balas? Aku jadi teringat pada makanan yang aku bawa masuk ke dalam kamar. Tidak ada lagi suara Ibu dan Mas Ragil di depan kamar. Aku membuka pintu lalu mengetuk pintu kamar Satrio dengan cepat. Tok.. tok.. tokkk Ketukku berulang kali. Tidak lama kemudian Satrio sudah membuka pintu kamar. Satrio membuka