Aku terkejut menemukan istriku yang sedang hamil, meregang nyawa sendirian di rumah ketika aku sedang bercumbu dengan perempuan lain. Kini, apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku menyesal?
View More"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un!" ucapku gemetar, saat mendengar kabar kalau Luna istriku baru saja menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit, hingga tanpa sadar, ponsel yang ada di genggaman jatuh ke lantai.
"Siapa yang meninggal, Mas?" tanya Reta sambil mengenakan pakaian. "Lu–Luna," jawabku tergagap. "Baguslah kalau begitu. Jadi sekarang tidak ada lagi penghalang cinta kita." Dia terlihat begitu bahagia mendengar kabar kematian istriku. "Kamu mau ke mana?" Dia mencekal lenganku saat beranjak dari tempat tidur. "Mau pulang." "Sudah biarkan saja, Mas. Dia kan sudah mati. Bukannya kamu sendiri yang selalu bilang, kalau kamu menginginkan kepergiannya, karena kamu sangat membenci dia!" Aku menghela napas berat. Memang aku menginginkan dia pergi, tapi bukan untuk selamanya. Apalagi keadaan dia sedang mengandung. Bagaimana kabar anakku jika ibunya telah pergi meninggalkan dunia ini. Ya Tuhan... Dengan langkah gontai menuruni tangga, keluar dari rumah Reta–istri keduaku dan lekas naik ke dalam mobil. Deru mesin kendaraan membawaku menjauh dari pekarangan rumah istri mudaku. Aku lihat wajah Reta sangat kecewa karena kami mengakhiri permainan panas sebelum mencapai puncaknya, dan harus kutinggalkan karena kabar duka cita yang datang dari rumah Ibu mertua. "Kamu yang sabar ya, Fatur. Luna sudah tidak ada." Budhe Darsi menyambut sambil mengusap punggungku. Aku berjalan melewati beberapa orang pelayat. Semua menatapku sendu, merasa kasihan kepadaku. Aku dan Luna memang belum genap setahun menikah, dan sekarang dia sedang mengandung entah usia kandungannya sudah berapa bulan aku tidak tahu. Duduk di samping tubuh Luna yang sudah terbaring kaku. Membuka penutup wajahnya menatap lamat-lamat dan kulihat ada kedamaian di sana. Sebuah lengkungan tergambar indah di bibirnya, seolah dia sedang melihat sesuatu yang indah di alam keabadian. Ya Tuhan. Kenapa wajah Luna begitu cantik. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang. "Aku sudah pergi, Mas. Sesuai permintaan kamu, dan aku tidak akan pernah kembali. Semoga kamu bahagia setelah aku tiada" Mungkin jika bisa berkata, itu yang akan dia ungkapkan saat ini. Sebab beberapa hari yang lalu, ketika dia memintaku untuk mengantarnya ke bidan untuk memeriksakan kandungan, aku pernah mengatakan hal seperti itu kepadanya. "Kenapa kamu nggak mati saja sih, Lun. Nyusahin aku terus tahu nggak. Kamu yang hamil, kenapa mesti aku yang repot!" sungutku sambil membanting bokong dengan kasar. Luna hanya diam menunduk. Tapi aku tahu dia menangis, dan selalu menyembunyikan air matanya dariku. Dia itu cengeng, gampang sekali menangis. Mungkin dia pikir dengan menangis aku akan perduli. Tidak akan. "Kamu pergi ke bidan saja sendiri. Ini uangnya. Aku ada kerjaan di luar. Nggak ada waktu buat nganterin kamu pergi!" Meletakkan dua lembar uang merah di atas meja, beranjak pergi meninggalkan Luna yang sedang terisak seperti biasa. "Mas," panggilnya pelan, sambil mengejarku sampai ke pintu. "ada apa lagi, sih?" Mendengus kesal. "Aku mohon, sekali saja kamu temani aku ke bidan. Setelah ini aku nggak akan meminta apa-apa lagi!" Dia terus saja memelas. Lagi. Aku mendengkus kesal. "Aku tahu dia anakku. Tapi aku tidak pernah menginginkan bayi itu. Kamu yang mau hamilkan? Bukan aku!" Aku semakin meradang. Luna hanya beristighfar sambil mengelus dada. Dengan perasaan dongkol menuruni undakan teras, masuk ke dalam mobil meninggalkan Luna yang sedang berdiri memaku di ambang pintu. Biarlah. Biar dia merasa tersiksa hidup denganku, hingga akhirnya menyerah dan pergi meninggalkanku. Mobil aku tepikan di depan sebuah rumah mewah yang aku hadiahkan untuk Reta, wanita yang baru aku nikahi seminggu yang lalu. Tentu saja menikah secara siri, tidak diketahui keluarga serta Luna, karena mereka pasti tidak setuju. Mereka selalu berpikir kalau Reta itu bukan perempuan baik-baik. Hanya mencintai uangku saja. padahal, cintanya kepadaku begitu tulus dan suci. Buktinya, dia rela menunggu walaupun tahu kalau aku sudah berkeluarga. Aku dan Luna menikah karena dijodohkan. Demi menunaikan amanah almarhum Ayah, juga kedua orang tuan Luna yang sudah saling mengucap janji akan menikhahkan aku dengan Luna jika sudah dewasa. Dan ternyata semuanya benar-benar terjadi. Disaat cintaku kepada Reta sedang tumbuh merekah, mereka memaksaku untuk segera menikahi Luna . Dan aku tidak bisa berkutik sebab mendapat ancaman jika menolak, maka akan dihapus dari daftar penerima warisan oleh Bunda. Aku belum siapa menjadi laki-laki kere jika harus melepas segala yang aku punya sekarang. Meskipun terpaksa harus menikah dengan wanita yang tidak aku cinta, tetapi tidak mengapa. Toh aku masih bisa berhubungan dengan Reta kekasihku di belakang Luna. Aku akui Luna wanita yang cantik. Lemah lembut, bahkan mampu menjaga kehormatannya, karena ketika kami menyatu aku adalah orang yang pertama untuk dia. Berbeda dengan Reta yang sudah tidak lagi virgin ketika aku menyentuhnya. Namun, bagiku Retalah wanita paling sempurna juga paling aku cintai. "Kenapa mukanya dilipet begitu, Mas?" tanya Reta sambil mengalungkan tangan di leher. Begitulah sambutannya jika aku datang mengunjungi. "Biasalah, Sayang. Luna selalu saja bikin aku kesal!" jawabku masih belum bisa menetralkan emosi. Reta tersenyum menggoda. Dia memeluk erat pinggangku, membimbing diri ini naik ke atas kasur dan kami melakukannya hingga beberapa kali, membuat segala emosi yang aku rasa hilang seketika. Reta memang luar biasa. Selalu mampu membuat aku bahagia, melupakan segala masalah yang sedang mendera. *** "Mas, hari ini tolong jangan pergi ya. Ini kan weekend. Aku pengen sekali-sekali weekendan sama kamu. Anggap saja ini permintaan terakhir aku, Mas. Perut aku juga sudah besar begini, tinggal sebulanan lagi anak kita lahir. Aku mau kamu menemaniku ketika aku melahirkan nanti." Dia berujar panjang lebar, tetapi aku pura-pura tidak mendengar. "Mas. Kamu sebenarnya denger nggak sih?" Wanita berkulit bersih itu melingkarkan tangan di lenganku, menyandarkan kepalanya di bahu. "Ya," jawabku singkat. "Kita jalan-jalan yuk, Mas. Bosen di rumah terus. Kita beli perlengkapan bayi buat calon anak kita." Dia menggengam tanganku, hendak menempelkannya di perut tetapi segera aku menariknya. Tidak sudi menyentuh anak itu, walaupun dia darah dagingku sendiri. "Aku capek. Kamu jalan sendiri saja. Kalau nggak minta ditemani adik kamu." Tetap bergeming, dalam mode duduk tanpa menoleh menatap wajah Luna. "Mas, kenapa sih kamu itu selalu dingin sama aku?" Menyentak napas kasar. Ingin menjawab kalau aku tidak cinta juga merasa terganggu dengan kehadirannya. Namun, aku tidak berani melontarkan kata itu karena takut dia akan mengadu kepada Bunda. "Mas!" Dia mengguncang bahuku sekali lagi. "Apa sih?!" sentakku meninggikan nada bicara beberapa oktaf, membuat dia berjingkat kaget dan segera menundukkan kepala. "Kenapa kamu nggak pergi saja yang jauh dari kehidupan aku. Pergi selamanya dan tidak usah kembali lagi. Malas aku melihat wajah kamu yang menyebalkan itu!" hardikku kesal. Luna menunduk semakin dalam. "Maaf, Mas. Aku akan meninggalkan kamu setelah bayi ini lahir. Aku berjanji." Pelan dia berujar, di sela isak tangis yang terus terdengar. Aku mengangkat satu ujung bibir. Menyambar kunci mobil segera pergi ke rumah Reta. *** "Kamu yang sabar ya, Tur." Bunda duduk di sebelahku, mengusap lembut bahu ini sambil sesekali mengusap air mata. Aku terus saja menatap wajah Luna yang terlihat sangat damai. Tidak ada lagi air mata yang menyembul, hanya senyuman yang menghiasi wajah pucatnya. Mungkin kini dia telah menemukan kebahagiaan abadi, meninggalkan aku yang selalu memberinya luka. "Lun, bangun." Mengusap wajah Luna untuk pertama kalinya. Dingin seperti es. "Katanya kamu mau jalan-jalan sama Mas. Ayo kita jalan-jalan. Kamu mau beli apa?" Kucium puncak kepalanya, mengusap rambut hitamnya berharap dia mendengar. Hening. Hanya suara isak tangis Bunda juga Mama yang terdengar. Luna terus saja membisu, terbujur kaku di atas pembaringan. "Maaf, Mas Fatur. Jenazah Mbak Luna mau dimandikan dulu." Uztadzah meminta izin untuk memandikan jenazah istriku. Aku mengangguk lemah. Mundur beberapa langkah, ikut menggotong tubuh Luna ke tempat pemandian. Tanpa terasa dua bulir air bening meluncur membuat jejak lurus di pipi. Bekas jahitan sectio caesarea di perut Luna masih tertutup perban, dengan perlahan dan hati-hati si pemandi jenazah melepasnya, membuat air mataku semakin mengucur deras. "Sabar, Tur. Sabar!" Bunda terus saja menghibur. Pemandi jenazah mulai menyiramkan air ke seluruh tubuh Luna sambil membaca doa memandikan jenazah. Lalu menyuruh Mama–Ibu kandung Luna menyiram jenazah sang putri, mulai dari anggota tubuh bagian kepala hingga ujung kaki sebelah kanan, lalu pindah ke sebelah kiri. Mereka juga memintaku untuk ikut memandikan tetapi aku tidak berani. Masih memiliki hadas besar dan belum sempat membersihkan diri. "Aku mandi dulu, Bun." Izin sebentar untuk membasuh badan, menghilangkan hadatsil yang menempel supaya bisa ikut mengantar Luna ke tempat peristirahatan terakhirnya. Ketika aku keluar dari kamar, tubuh Luna sudah dibungkus kain kafan, tinggal kepala dan wajahnya saja yang belum tertutup karena mereka semua menungguku. Sekali lagi menatap lamat-lamat wajah cantiknya. Terlihat berseri seperti bidadari. Aku sangat yakin kalau dia akan menjadi bidadari surga dan mungkin aku tidak akan bisa bertemu dia nanti di alam keabadian. Dia akan mendapatkan jodoh terbaik di sana. Ya Tuhan. Kenapa baru sekarang merasa kehilangan. Mengapa dari dulu selalu merasa kalau Luna tidak pernah berarti. "Maafkan Mas, Luna." Berbisik sekali lagi, berharap dia mendengar dan memaafkan segala kesalahanku. Air mata tidak henti-hentinya mengalir membasahi pipi ketika seluruh tubuh Luna benar-benar terbungkus kain kafan, lalu dipindahkan ke dalam keranda dan digotong ke mushalla untuk di shalatkan kemudian diantar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Melompat ke dalam liang lahat bersama Papa, mengulurkan tangan menerima jenazah wanita yang selalu aku sakiti itu dan membaringkannya di kubur lahdu dengan posisi menghadap kiblat. Kubuka tali pengikatnya, mengganjal tubuh Luna dengan gelu lalu mengadzaninya. Sekuat tenaga aku membendung air mata supaya tidak jatuh saat mengumandangkan adzan di telinga istriku. Lalu kembali naik ke atas, menatap pilu jenazah Istriku, hingga akhirnya tubuh perempuan yang selalu aku lukai itu benar-benar tertimbun tanah. Mama menabur bunga kemudian meletakkan beberapa tangkai mawar putih kesukaan Luna di atas pusara. Selamat jalan, Sayang. Maafkan aku yang belum bisa mencintaimu sampai ajal menjemput. Ampuni segala kesalahan yang telah aku perbuat selama ini. Aku berjanji, akan merawat serta menjaga anak kita dengan baik. Beristirahatlah dengan tenang, Laluna. *** Malam kian beranjak sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menambah nelangsa rasanya hati ini. Kupandangi potret Luna yang menggantung di bilik tembok. Merasakan rasa rindu yang tiba-tiba menelusup ke dalam kalbu. Apakah ini cinta? Kalaupun iya sepertinya sudah terlambat. Luna sudah tiada. Dia sudah pergi membawa luka serta kecewa. Kejam. Aku memang lelaki paling kejam di muka bumi. Membuka laci pribadi Luna, mengambil kotak kecil terbungkus rapi yang ada di dalam laci tersebut. Penasaran, aku membuka benda kotak nan mungil itu dan membukanya. Sebuah cincin juga sebuah note terlipat di dalamnya, membuat kian nyeri rasanya ulu hati, saat membaca isi dalam kertas tersebut. 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga kamu selalu bahagia bersama istri pilihan kamu. Terima kasih atas pengkhianatan yang telah kamu lakukan. Aku berusaha ikhlas walaupun sakit, karena bahagia kamu adalah bahagia aku juga. Maaf kalau selama ini aku belum bisa menjadi istri yang baik sehingga kamu berpaling. Maaf karena kamu harus menikahiku demi wasiat orang tua. Tapi sungguh aku bahagia bisa bersanding dengan laki-laki yang aku cintai, walaupun selalu luka yang aku dapatkan' Dariku, yang sedang menatap potretmu di keheningan malam. Deg! Jadi, selama ini Luna tahu kalau aku sudah menikah lagi?Masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman dan segera menyalakan mesin kendaraan roda empatku. Bunda terlihat kurang yakin ketika perlahan mobil yang sedang aku kemudikan keluar meninggalkan parkiran pekuburan, merasa khawatir kalau anaknya tidak konsentrasi mengemudi dan menabrak kendaraan lainnya.Padahal, tidak mungkin aku akan menabrak. Sudah hapal cara nenyetir, sebab sejak sekolah menengah atas Ayah sudah mengajarkannya kepadaku.Dengan kecepatan sedang kulajukan mobil yang pernah kuhadiahkan kepada Reta ini. Jalanan begitu lengang karena belum ada aktivitas di kota. Hari masih terlalu gelap. Jarum pendek jam masih menunjuk ke angka setengah dua dini hari.Setelah sampai di rumah. Gegas diri ini masuk ke dalam kamar, merebahkan bobot tanpa menggati pakaian dan segera memejamkan mata menjemput lelap serta berharap bertemu istri di dalam mimpi.***Alarm di atas meja terus saja menjerit-jerit. Entah mengapa
Atmojo terkikik melihat respon Suci. "Saya tidak sebejat itu, Suci. Saya hanya bercanda. Saya tidak mungkin melecehkan kamu. Saya sudah tua dan juga memiliki seorang putri. Saya tidak mau kelakuan bejatku berimbas kepada Lani."Suasana berubah menjadi hening. Ekor mata Suci melirik Atmojo sekilas, merasa kesal karena sudah berhasil dikerjai.***#FaturBerjalan melewati dua satpam yang berjaga, ingin masuk ke ruang NICU tempat dimana putri kecilku sedang di rawat. Aku ingin melihatnya malam ini, sebagai penghapus rindu kepada mendiang Luna ibunya."Maaf, Pak. Jam besuk sudah habis. Lebih baik Bapak datang lagi saja besok jam delapan pagi." Cegat salah satu seorang securty, ketika aku hendak masuk ke dalam."Tapi saya mau lihat anak saya, Pak. Masa harus nunggu sampai besok!" protesku tidak terima."Saya hanya mengikuti perintah dan peraturan rumah sakit, Pak."Hmmm...Ya sudahlah. H
Fatur duduk di teras rumah menatap indahnya sinar bulan yang berpendar di langit. Cahaya yang temaram, membuat dia kian merindukan mendiang istrinya. Ah, andai saja dulu tidak disia-siakan. Jika saja dulu menjadi suami yang setia kepada satu wanita, mungkin perasaannya sekarang tidak akan seperti ini. Mencintai dikala dia sudah tidak ada itu lebih sakit dari pada merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan.Sebab, sebesar apapun rindu yang dia rasa, tidak akan mungkin bisa bersua.Pelan-pelan Fatur memejamkan mata, membayangkan jika rembulan itu adalah Luna dan teruntai turun menghampiri dia, menyentuh pipinya dan mengatakan cinta seperti biasanya ketika dia masih ada di dunia.Lelaki dengan garis wajah tegas itu menghela napas dalam-dalam, mencoba merasakan kehadiran sang istri, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Bahkan wangi vanilla yang biasa menguar di udara tidak lagi tertangkap di indera penciumannya.
Sementara Lani. Dia sudah mulai aktif kembali ke kampus. Berusaha tersenyum walaupun getir yang dia rasakan dalam hati, mencoba menutupi luka yang mengaga di dada. Mungkin jika luka hatinya seperti luka bekas sayatan pisau, darah segar akan terus mengalir deras karena luka itu teramat dalam. Terlebih lagi, dia harus menghadapi hari penuh dengan cibiran serta bisik-bisik sumbang dari tetangga dan teman-teman kuliahnya, juga harus sering bersitatap dengan Sultan di kampus tempat dia menimba ilmu. Rasanya sudah seperti kulit sedang disilet-silet lalu disiram menggunakan air garam. Perih, sakit tak terperi. "Lan," Sultan menghampiri ketika Lani sedang duduk sendiri di taman, menikmati novel karya Emak Ida Saidah di sebuah grup literasi. Sebab karya-karya dialah salah satu hiburan dikala hatinya sedang dilanda gelisah. Lani mendongak sekilas, melihat siapa yang datang menghampiri kemudian kembali fokus kelayar laptop.
"Ma--Mama, kok ada di sini?" gagapnya sambil mengusap lembut pipi sang istri.Wajah Atmojo terlihat pias. Apalagi Faizah terus saja menatapnya. Pindaiannya begitu aneh seakan sedang menyelidiki apa yang sedang terjadi."Mama sengaja nyusul Papa. Soalnya Papa pergi dalam keadaan emosi. Mama itu paham betul sifat Papa seperti apa. Mama takut Papa berbuat macam-macam kepada Fatur. Makanya Mama kejar!" beber Faizah panjang lebar."Tadi Mbak Suci bilang apa sama Papa? Kenapa Papa terlihat marah sama dia?" Lagi, Faizah menanyakan masalah itu."Dia minta Fatur dibebaskan!""Kalau Fatur tidak bersalah ya kenapa harus ditahan, Pa?" "Dia sudah membuat kita malu!" "Makanya kita tanyakan dulu kepada dia. Apa motifnya melakukan tindakan seperti itu kepada Lani. Apa dia memang sengaja ingin menggagalkan pernikahan Lani, karena setahu Mama, Fatur itu selalu menganggap Lani sebagai Luna. Bisa saja dia terobsesi kepada Lani dan sengaja melakukan hal itu, Pa." Atmojo berpikir sejenak. Memang benar s
Setelah tamunya pergi, dengan kasar Atmojo membanting badan di atas sofa. Memijat kepala yang terasa berdenyut nyeri, sambil mencoba meredam emosi yang kian meninggi.'Fatur. Semua penyebabnya adalah Fatur. Kalau dia tidak melecehkan Lani, mungkin semua tidak akan seperti ini. Sialan. Kurang ajar memang itu anak!" Atmojo kembali meninju meja, tidak memperdulikan punggung tangannya yang terasa nyeri serta memar.Dengan amarah yang kian membuncah dia keluar dari rumah. Meminta supir pribadinya untuk mengantar dia ke kantor polisi, ingin memberi pelajaran kepada menantunya yang perlahan mulai dia benci.Sepanjang jalan umpatan-umpatan terhadap Fatur terus saja meluncur dari mulut Atmojo. Rasanya hanya dengan mengumpat saja dia belum merasa puas. Ingin memberikan pelajaran lebih kepada suami mendiang anak sulungnya, supaya tidak lagi berulah serta membuat hidupnya menjadi susah.Mobil sedan berwarna putih menepi di parkiran sebuah kantor polisi. Atmoj
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments