Saat Li Zhen dan Mei Xiang melangkah menjauhi tepi danau, mereka merasakan perubahan yang mendalam dalam atmosfer sekitar. Udara yang tadinya dingin dan mencekam mulai berubah menjadi lebih hangat, seperti angin musim semi yang lembut menyapu wajah mereka. Namun, meskipun suasana terasa lebih damai, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan—sebuah perasaan bahwa perjalanan mereka belum benar-benar selesai. "Kita telah menemukan Silsilah Naga Emas," kata Mei Xiang dengan nada pelan, matanya menatap gulungan tua yang ia pegang erat-erat. "Namun, ini bukan akhir dari segalanya." Li Zhen mengangguk, meskipun ia merasa tubuhnya masih gemetar karena kelelahan. Ia tahu bahwa perjalanan ini telah membawa mereka melalui banyak ujian—dari Ruang Refleksi hingga pertempuran melawan pasukan bayangan—namun sesuatu di dalam dirinya memberitahunya bahwa ini bukan akhir. Ada sesuatu yang lebih besar menanti di depan, sesuatu yang mungkin akan menguji batas kemampuan mereka sepenuhnya. Mereka mulai mela
Li Zhen menatap sisa-sisa bara yang masih berpendar lemah di depan rumah kayu tempatnya berteduh semalam. Pagi itu masih berkabut. Udara pegunungan yang biasa terasa sejuk, kini malah membekukan tulang. Kejadian di desanya beberapa hari lalu—serangan mendadak oleh Kelompok Pencuri Bayangan—masih terus terbayang. Sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, namun tidak sedikit yang terluka. Meski hatinya masih dirundung duka, Li Zhen tahu ia tak bisa berdiam diri. Gulungan tua yang ditemukannya di kuil kuno telah menjadi alasan mengapa desanya diserang. Dan kini, ia menyadari bahwa ia tak bisa lagi kembali pada kehidupan sederhana seperti dulu. “Sudah siap?” Suara lembut Mei Xiang membuyarkan lamunan Li Zhen. Gadis itu berdiri di ambang pintu dengan pakaian serba hijau pucat yang membuatnya nyaris menyatu dengan kabut. Wajahnya tampak tegar, tapi ada jejak kelelahan di matanya. Selama beberapa hari terakhir, mereka terus berpindah tempat untuk menghindari kejaran musuh. “Aku
Angin pagi berembus pelan melalui celah jendela kamar di lantai atas Rumah Teh Wu. Udara terasa lembap setelah hujan yang sempat mengguyur kota Xiping semalam. Cahaya matahari yang masih pucat menembus tirai tipis, membangunkan Li Zhen dari tidur yang gelisah. Ia membuka mata perlahan, merasakan sisa-sisa mimpi buruk tentang naga emas dan api yang berkobar. “Sudah pagi…” gumamnya, setengah sadar. Di dipan seberang, Mei Xiang masih terlelap. Namun, kerutan di kening gadis itu menandakan tidurnya pun tidak sepenuhnya tenang. Li Zhen menyingkap selimut, bangkit, lalu menghampiri jendela. Dari celah tirai, ia bisa melihat atap-atap bangunan di kota Xiping, masih basah oleh embun dan sisa gerimis malam. Di kejauhan, kabut tipis bergelayut di atas jalanan, menciptakan pemandangan suram sekaligus menawan. “Kota yang besar,” pikir Li Zhen, mengingat kesan pertamanya semalam. “Tapi entah kenapa, aku merasa ada bahaya yang mengintai di setiap sudutnya.” Ingatan tentang dua sosok berjuba
Malam di Kota Xiping semakin larut. Setelah hari yang penuh intrik dan pengejaran di lelang rahasia, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian pun kembali berkumpul di sebuah kamar sewaan kecil di distrik barat. Di sana, mereka berusaha menenangkan diri dan menyusun rencana selanjutnya. Meskipun kelelahan jelas menguasai, ketiganya tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang terus menghantui—terutama mengenai gulungan yang selama ini menjadi pusat misteri. Di dalam kamar yang sederhana, dinding bata lusuh dan lantai kayu berderit setiap kali langkah terdengar, Li Zhen duduk merenung di sudut sambil memandangi gulungan tua yang selama ini ia pelihara dengan susah payah. Gulungan itu, yang ia temukan di kuil kuno di desanya, telah membawa bencana ke kampung halamannya. Kini, ia berharap benda itu menjadi kunci untuk mengungkap rahasia Silsilah Naga Emas. Namun, di balik tekad itu, ada bayang-bayang kegelisahan. Mei Xiang duduk di sampingnya, dengan perban yang baru saja diganti di lengannya. Waj
Pagi pun menyingsing di Kota Xiping dengan langit mendung dan udara lembap yang masih menyisakan sisa hujan semalam. Di penginapan sederhana di pinggiran kota, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali setelah malam kelam pencurian gulungan. Suasana di ruang peristirahatan yang terbuat dari batu dan kayu tampak sunyi, namun hati mereka dipenuhi oleh kegelisahan dan tekad. Di sudut ruangan, Li Zhen duduk termenung sambil memandangi peti besi kecil yang kini kosong. Ia masih merasakan perihnya kehilangan gulungan yang selama ini dianggap sebagai kunci rahasia Silsilah Naga Emas dan harapan untuk menyelamatkan desanya. Tangannya gemetar saat ia berkata lirih, “Gulungan itu adalah warisan yang telah ditakdirkan untuk membuka rahasia kekuatan agung, yang akan menuntun desaku keluar dari penderitaan. Tanpa itu, semua pengorbanan kami akan sia-sia.” Di sampingnya, Mei Xiang menggenggam tangan Li Zhen dengan lembut. Wajahnya tampak letih, namun penuh keberanian. “Kita tidak
Di kala fajar masih samar menyinari ufuk, Li Zhen terbangun dalam keheningan ruang peristirahatan di markas kecil. Suara lembut angin pagi dan gemerisik dedaunan menggema di sekeliling, namun di dalam hatinya bergemuruh derita dan tekad. Semalam, di balik bayang-bayang malam yang pekat, gulungan suci yang telah lama menjadi penuntun dan harapan bagi desanya telah dirampas oleh pasukan bayaran yang bekerja di bawah naungan seorang bangsawan yang rakus. Li Zhen menyandarkan tubuhnya ke dinding batu yang kasar, matanya tertuju pada peti besi kecil yang kini kosong. Dengan lirih ia berkata kepada dirinya sendiri, "Gulungan yang kutemukan di kuil tua, yang telah kupandang sebagai titian menuju kekuatan Silsilah Naga Emas, kini telah lenyap. Aku tidak bisa membiarkan duka ini menundukkan semangatku, meski hati ini terasa hancur." Di sudut ruangan, Mei Xiang duduk dengan raut wajah sedih namun penuh keanggunan. Ia menggenggam t
Fajar menyingsing di ufuk timur, menyinari Kota Xiping dengan lembut. Di sebuah sudut penginapan sederhana, Li Zhen terjaga dari tidur yang gelisah. Bau kayu tua dan sisa asap lentera masih tercium, menandakan malam yang baru saja berlalu tak sepenuhnya membawa ketenangan. Setelah peristiwa getir yang menimpa gulungan suci di desanya, ia merasa setiap pagi adalah awal dari perjalanan yang kian tak terduga. Di sisi lain ruangan, Mei Xiang tampak duduk bersila, menenangkan diri dengan menarik napas perlahan. Rambutnya yang panjang terurai di balik pakaian sederhana, kontras dengan keanggunannya sebagai putri bangsawan di masa silam. Meski begitu, sorot matanya masih menampakkan duka dan tekad yang menyala. Mei Xiang: “Li Zhen, kau tampak gelisah. Apakah mimpi buruk itu kembali?” Li Zhen mengangguk pelan, menatap lantai kayu yang berderit di bawah kakinya. Li Zhen: “Bayangan desa terbakar masih menghantuiku. Dan gulungan itu… seolah memanggilku dari kejauhan.” Mei Xiang mer
Malam itu, angin dingin berembus lembut di tepian hutan dekat Sungai Xiping. Setelah berhasil mengambil sebagian gulungan di “Gudang Bayangan,” Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian beristirahat di sebuah tempat tersembunyi. Cahaya bulan menembus celah dedaunan, menyorot wajah-wajah lelah namun penuh tekad. Di depan api unggun kecil yang menghangatkan, Li Zhen menggenggam erat gulungan yang berhasil mereka bawa. Meski belum lengkap, tulisan kuno di dalamnya menimbulkan tanya mendalam. Ia tahu, di balik setiap huruf, tersimpan petunjuk untuk membebaskan desanya dari bayang-bayang penindasan. Api unggun berkobar pelan, menari-nari di antara kayu bakar yang menghitam. Li Zhen, yang duduk di atas tanah beralas daun kering, mengembangkan gulungan itu untuk kesekian kalinya. Tangannya bergetar ringan, rasa penasaran bercampur cemas. Di sampingnya, Mei Xiang menyiapkan ramuan hangat, sementara Wang Jian berjaga mengawasi sekitar. Mei Xiang: “Minumlah ini, Li Zhen. Ramuan dari Yao Lin. Setida
Di balik kabut pagi yang tipis di Desa Songlin, suasana terasa sendu dan penuh beban. Setelah peristiwa pencurian gulungan pertama yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah pondok kecil yang telah lama menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di dalam ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas—meskipun kini salah satunya tak lagi utuh, dan bayang-bayang pengkhianatan masih menyelimuti hati mereka. Li Zhen duduk termenung di meja kayu tua. Tangannya masih bergetar ketika ia membuka buku catatan kecil yang telah ia tulis selama perjalanan. Suaranya serak namun penuh tekad saat ia membaca dengan lirih: “Setiap tetes keringat, setiap luka, adalah bukti bahwa kita telah menempuh jalan penuh pengorbanan. Artefak itu seharusnya menjadi kunci bagi harapan desaku, namun kini telah dicuri oleh tangan-tangan kotor yang bekerja untuk Tuan Muda Hua. Kehilangan ini buka
Di tengah kekosongan yang menyisakan duka dan amarah akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin berubah drastis. Setelah peristiwa pengkhianatan yang mengguncang, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah ruang pertemuan rahasia yang sederhana. Dinding-dinding kayu tua dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menciptakan bayang-bayang yang seakan menyimpan rahasia masa lalu. Tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan kini tersusun rapi di atas meja, namun kekosongan di bagian akhir naskah yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci” masih menghantui pikiran mereka. Li Zhen membuka buku catatan kecil dengan tangan gemetar. Suaranya pelan: “Setiap tetes keringat, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir kita untuk mengembalikan harapan bagi desaku. Namun, pencurian gulungan itu telah memaksa kita untuk memulai pencarian baru. Kita harus tahu siapa yang berani mencur
Di pagi yang kelabu, setelah kekacauan yang mengguncang pasca pencurian artefak pertama, Li Zhen duduk termenung di teras sebuah pondok kecil di pinggiran Desa Songlin. Udara pagi yang dingin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, seolah alam pun turut merasakan duka yang menyelimuti jiwa para pejuang. Di tangan Li Zhen, tersisa potongan-perpotongan gulungan yang kini menjadi saksi dari perjuangan dan pengorbanan; meskipun artefak itu telah hilang, kenangan tentang keberadaannya membakar tekadnya untuk melangkah ke babak baru. Li Zhen membuka buku catatan kecilnya yang lusuh dan membaca dengan suara serak, “Setiap tetes keringat yang kita keluarkan, setiap luka yang kita derita, adalah bagian dari takdir yang harus kita jalani. Artefak itu adalah kunci, bukan hanya bagi desaku, tapi bagi harapan seluruh rakyat. Jika dibiarkan jatuh ke tangan musuh, penderitaan akan berlanjut tanpa henti.” Ia menunduk, matanya berkaca karena amarah dan keputusasaan, lalu melanjutkan, “Kit
Di pagi yang kelabu dan sepi, setelah segala kekacauan dan kegetiran yang menyertai peristiwa pencurian gulungan pertama, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali di sebuah rumah tua di pinggiran Desa Songlin. Rumah itu—tempat yang selama beberapa minggu terakhir menjadi pusat pertemuan rahasia dan strategi—menjadi saksi bisu dari tekad mereka yang semakin menguat. Di ruang sederhana yang dindingnya dipenuhi coretan peta, dokumen usang, dan catatan hasil penyelidikan, mereka duduk bersama dengan wajah serius. Di atas meja kayu besar, tersusun rapih tiga potongan Silsilah Naga Emas, meskipun salah satunya kini menjadi kenangan pahit karena pencurian yang mengguncang. Li Zhen memandangi gulungan yang tersisa, tangannya masih gemetar oleh amarah dan duka. Suara detak jam tua di sudut ruangan dan desiran angin yang menyelinap melalui celah jendela seolah menghitung setiap detik penderitaan yang telah mereka lalui. Dengan suara serak, ia membuka buku catatan kecil yang telah ia
Di tengah kekacauan yang menyisakan luka mendalam akibat pencurian gulungan pertama, suasana di Desa Songlin terasa berbeda. Setelah serangan itu, langit yang dulu cerah kini tampak mendung, seolah-olah alam pun turut merasakan duka dan amarah yang melanda. Li Zhen, yang masih terbayang wajah-wajah yang terluka dan desaku yang hancur, duduk termenung di sebuah pondok kecil di pinggiran desa. Di ruang yang sempit itu, dinding-dindingnya dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan, sementara lampu minyak yang redup menari di atas meja kayu tua, menciptakan bayang-bayang yang seakan menceritakan kisah penderitaan dan harapan. Li Zhen membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis dengan susah payah. Tangan gemetar karena emosi, ia membaca dengan suara serak: "Gulungan pertama adalah kunci awal yang membuka jalan ke Silsilah Naga Emas. Jika artefak itu jatuh ke tangan yang salah, maka penderitaan dan kezaliman akan merajalela. Kita harus mencari
Di pagi yang kelabu tanpa embun menyambut, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian bersiap meninggalkan persembunyian rahasia mereka di pinggiran Desa Songlin. Setelah kejadian pengkhianatan yang mengguncang—di mana artefak gulungan pertama dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup—tiga pejuang itu kini harus memulai pencarian baru untuk mengungkap jejak yang tersisa. Di ruang persembunyian kecil yang terbuat dari kayu tua dan bata, dinding-dindingnya masih dipenuhi coretan peta dan catatan hasil penyelidikan. Di atas meja besar yang lapuk, tersusun rapi tiga potongan Silsilah Naga Emas yang telah mereka kumpulkan, meski salah satunya kini hilang dalam peristiwa pengkhianatan. Kode rahasia pada gulungan yang tersisa—dengan kalimat yang terputus di bagian akhir yang menyebut “pengorbanan jiwa” dan “darah suci”—masih menjadi misteri yang menggantung, seolah mengancam nasib perjuangan mereka. Dalam keheningan yang mencekam, Li Zhen membuka sebuah buku
Di bawah langit malam yang kelam, di tengah heningnya jalan setapak yang berliku di pinggiran Desa Songlin, Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian berkumpul kembali dalam suasana penuh duka dan tekad. Kejadian yang mengguncang baru saja terjadi: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini dipercaya menyimpan rahasia Silsilah Naga Emas, dicuri secara tiba-tiba oleh sekelompok pembunuh bayaran. Pencurian itu bukan hanya mencederai rasa aman, tetapi juga menggugah emosi serta mengungkap pengkhianatan yang menyayat hati. Kini, tatapan tegas dan bibir yang terkatup rapat menjadi saksi bahwa mereka harus segera memulai pencarian baru—pencarian yang akan membawa mereka menelusuri jejak-jejak yang hilang, membuka rahasia di balik bayang-bayang kekuasaan, dan menuntaskan tugas mulia untuk mengembalikan harapan bagi desanya. Di sebuah pondok kecil di pinggiran desa, yang menjadi tempat persembunyian sementara mereka, Li Zhen duduk termenung di sudut ruangan. Di tangannya, ia masih menggenggam er
di sebuah sudut pedesaan di pinggiran Kota Xiping, perjalanan Li Zhen, Mei Xiang, dan Wang Jian memasuki fase baru yang penuh dengan kepedihan dan tekad. Setelah pengkhianatan yang mengguncang di Bab 41, di mana artefak pertama yang mereka percayai sebagai kunci Silsilah Naga Emas dicuri oleh sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk seorang bangsawan korup, kini mereka harus menapaki jejak yang lebih sulit. Tak hanya untuk merebut kembali artefak yang hilang, tetapi juga untuk mengungkap rahasia yang terkubur di balik kode-kode kuno dan peringatan yang pernah mereka terima. Di ruang persembunyian rahasia yang terletak di sebuah bangunan tua di pinggiran Kota Xiping, lampu minyak yang redup menerangi dinding-dinding kayu usang. Meja kayu besar yang penuh dengan peta, dokumen, dan catatan terjemahan dari Li Fu masih terhampar, seolah menjadi saksi bisu perjuangan mereka. Tiga potongan Silsilah Naga Emas kini tersusun rapi di atas meja, namun masih ada kekosongan d
Di tengah-tengah perjalanan awal yang penuh gejolak, ketika langit senja mulai memudar menjadi kelam dan bayang-bayang malam mulai menguasai jalan setapak di pedesaan, Li Zhen bersama Mei Xiang dan Wang Jian terhenti sejenak di sebuah jalan setapak di luar sebuah desa kecil. Mereka baru saja mengalami peristiwa yang mengguncang jiwa: gulungan pertama, artefak kuno yang selama ini menjadi kunci bagi rahasia “Silsilah Naga Emas,” telah dicuri secara tiba-tiba. Kecurigaan pun segera melanda, dan kebenaran pahit mulai tersingkap—pencuri itu bukanlah orang biasa, melainkan sekelompok pembunuh bayaran yang bekerja untuk salah satu bangsawan korup yang berusaha memanfaatkan artefak tersebut demi kekuasaan pribadinya.Dalam keheningan malam yang semakin pekat, Li Zhen menatap ke arah gulungan yang kini hilang, wajahnya menggambarkan campuran kemarahan dan keputusasaan. “Kita harus mencari tahu siapa yang berani mencuri artefak itu dan mengapa,” ujarnya dengan suara serak, seolah menahan amara