Beberapa hari setelah tahun baru, tepatnya tahun 2018, suasana rumah sedikit lengang. Majikanku, Bu Inggi dan keluarganya, memutuskan untuk mudik ke Bandung selama beberapa hari. Mereka menitipkan rumah padaku dan Eci, seperti biasa, sambil berjanji bahwa sepulang mereka, akan ada pengganti yang datang untukku.
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikiran. Ini bisa jadi kesempatan bagiku untuk benar-benar keluar dari situasi ini. Tanpa Bu Inggi di sini, aku merasa ada ruang untuk berpikir lebih jernih, tanpa terus dihantui rasa bersalah yang dia tanamkan dengan permohonan dan janji-janjinya. Beberapa hari sebelumnya, keluargaku semakin khawatir melihat kondisiku yang tak kunjung membaik, dan mereka akhirnya memutuskan untuk turun tangan. Hari itu, keluargaku datang menjemputku tanpa memberi kabar. Mereka datang dengan wajah cemas, terutama ibuku. Ketika melihat tubuhku yang semakin kurus dan lemah, air mata ibuku jatuh tanpa bisa ditahan. "Nur, ayo pulang. Kamu nggak bisa terus begini," kata ibu dengan suara bergetar. "Kesehatan kamu lebih penting." Aku melihat ke arah Eci yang berdiri di sampingku, tampak bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Aku bisa merasakan beban yang ditanggungnya, apalagi dengan segala keanehan yang terus kami alami di rumah ini. "Aku nggak tahu, Ci... Maaf," kataku akhirnya, suaraku serak karena batuk yang tak juga sembuh. Eci tersenyum kecil, meski aku tahu dia kecewa. "Nggak apa-apa, Nur. Aku ngerti. Kamu harus jaga kesehatan kamu dulu." Tanpa menunggu lebih lama, aku akhirnya mengepak barang-barangku. Dalam hati, aku merasa lega, meski masih ada rasa bersalah karena meninggalkan Eci sendirian. Tapi aku tahu, ini keputusan yang harus kuambil. "Maafkan aku, Ci... jaga dirimu baik-baik," kataku sambil memeluknya untuk terakhir kali. Ketika kami akhirnya melangkah keluar rumah, rasanya seperti beban berat yang selama ini menghimpit dada perlahan terangkat. Tapi, entah mengapa, saat aku memandang rumah itu untuk terakhir kalinya, ada perasaan aneh yang membayangi, seolah-olah rumah itu tak ingin aku pergi. Aku menggeleng, menepis perasaan itu. Sudah saatnya aku keluar dari sini. Setelah berpamitan dengan Eci dan meninggalkan rumah sekitar pukul dua atau tiga sore, perasaan lega yang sempat muncul perlahan-lahan berubah menjadi rasa khawatir yang tak terucap. Kejanggalan kembali menghantui kami saat mobil yang kami tumpangi seolah terjebak dalam lingkaran yang tak berujung. Aku duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Pemandangan di sekitar kami terasa sama, seakan-akan mobil hanya memutari lingkungan yang sama berulang kali. Jalanan yang seharusnya membawa kami pulang ke rumah malah membuat kami merasa seperti terjebak di tempat yang asing dan mengkhawatirkan. Ayahku yang menyetir mulai terlihat cemas. "Ini kok jalannya lagi-lagi ke sini, ya?" gumamnya pelan, mencoba merasionalisasi situasi aneh ini. Ibuku, yang duduk di sampingnya, menatap arlojinya dengan gelisah. "Udah mau dua jam kita muter-muter, tapi belum sampai mana-mana," katanya. Aku bisa melihat kerut di dahinya yang semakin dalam. "Kayaknya tadi kita udah lewat jalan ini, Pak. Ada yang salah nih," kataku, mencoba tetap tenang meski jantungku berdebar keras. Rasa takut yang tadinya kupikir sudah kutinggalkan di rumah itu kini perlahan kembali menyergap. Sesuatu terasa salah, sangat salah. Mobil kami seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, seakan tak ingin melepaskan kami dari lingkungan itu. Ayahku beberapa kali membuka kaca mobil dan bertanya pada orang-orang di pinggir jalan, "Maaf, Pak, jalan tol ke arah mana ya?" Namun, setiap kali kami diberi petunjuk, anehnya, jalan yang kami tempuh selalu kembali ke titik yang sama. Ibuku mulai gelisah, tangannya meremas jilbabnya erat-erat. "Kok bisa begini, sih? Jangan-jangan bapak lupa apa yang di bilang orang tadi?" "Aku gak ngerti, Bu. Ini udah benar kok," jawab ayahku, nada suaranya terdengar tegang. "Ini udah yang kelima kali kita muter di tempat yang sama." Setelah beberapa kali memutari jalan yang sama, rasa putus asa mulai merasuki kami. Ayah menghentikan mobil di pinggir jalan, wajahnya tampak lelah, sementara Ibu memandang keluar jendela dengan pandangan kosong. "Ayo, kita semua berdoa," ucap Ayah akhirnya, suaranya terdengar mantap, mencoba untuk menenangkan. Kami semua setuju tanpa ragu. Suara lirih dari bacaan doa saling bersahutan, sementara di luar, malam mulai menyelimuti Jakarta dengan kegelapan yang pekat. Hanya suara seruan adzan magrib yang kemudian terdengar di kejauhan, melengkapi doa-doa kami. "Ya Allah, tunjukkan kami jalan keluar dari sini," gumamku dalam hati. Seolah mendengar permintaan kami, tak lama setelah adzan selesai, kami menemukan tanda yang mengarah ke pintu tol. Jalan yang sebelumnya terasa seperti labirin tak berujung kini berubah menjadi lebih jelas. Ayah menghela napas panjang, "Alhamdulillah," ucapnya dengan lega. Kami semua ikut bersyukur, merasakan kelegaan yang luar biasa. Mobil perlahan memasuki jalan tol, meninggalkan kejanggalan yang entah bagaimana telah membelit kami selama berjam-jam. Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami tiba di rumah pukul 10 malam. Rasa lelah menyelimuti tubuh, namun begitu melangkah masuk, ada perasaan aneh yang langsung menyergapku. Rumah yang seharusnya terasa hangat dan familiar, kini terasa asing, seolah-olah ada yang berubah. "Assalamu'alaikum," ucapku saat memasuki rumah. Aku berjalan menuju kamarku, berharap menemukan sedikit ketenangan setelah semua kejanggalan yang kualami di tempat kerja. Namun, saat membuka pintu kamar, sesuatu terasa berbeda. Ruangan yang dulu tampak biasa saja kini terasa lebih luas, atapnya menjulang tinggi, seakan menjauh dari pandanganku. Aku berdiri di ambang pintu, merasakan keanehan yang tidak bisa dijelaskan. Tak ada yang berubah secara fisik di kamar ini—furnitur masih sama, cat dinding pun tak ada yang berubah. Tapi ada sesuatu yang membuat udara terasa lebih dingin, seolah-olah ada jarak antara aku dan kamarku sendiri. "Mungkin hanya perasaan," gumamku, mencoba menenangkan diri. Begitu tubuhku menyentuh kasur, kelelahan membuatku segera memejamkan mata. Aku hanya ingin tidur, melupakan keanehan yang kurasakan sejak tiba di rumah. Namun, hanya beberapa menit setelah mataku terpejam, aku merasakan sesuatu yang janggal. Rasanya seperti tubuhku terangkat, tidak lagi berpijak di atas kasur. Aku terombang-ambing di udara, seakan ada kekuatan yang tak terlihat mengangkatku. Detik berikutnya, tubuhku dihempaskan dengan keras ke bawah. "Tidak!" teriakku, spontan membuka mata. Napas memburu, aku langsung terperanjat dari kasur, tidak bisa lagi mengabaikan apa yang baru saja kualami. Jantungku berdebar kencang, dan tanpa pikir panjang, aku berlari keluar dari kamar. Tubuhku gemetar, bayangan kejadian tadi masih jelas terpatri di benakku. Ayah dan ibu yang mendengar teriakanku segera menyusul ke luar kamar. Wajah mereka terlihat khawatir, tapi mungkin tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi. "Kamu kenapa, Nur?" tanya ibu, suaranya penuh cemas. Aku tak bisa langsung menjawab. Tubuhku masih gemetar, dan aku hanya bisa memeluk diriku sendiri. Kami duduk di teras, mencoba menenangkan diri. Udara malam terasa dingin, tapi anehnya, tidak menyejukkan. Malam itu, aku merasakan ada sesuatu yang lebih gelap dan tak terjelaskan dari sekadar mimpi buruk. Sesuatu yang mengintai, tak hanya di tempat kerja, tapi juga di rumahku sendiri. "Sepertinya... ada yang salah, Bu," bisikku pelan, suara yang nyaris tenggelam di antara desiran angin malam. Malam itu, tidur bukan lagi pilihan.Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny