Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

last updateLast Updated : 2025-05-04
By:  Kelaras ijo Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
75Chapters
140views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di balik ketenangan sebuah desa terpencil, tersembunyi rahasia kelam yang tak boleh diganggu. Bukit kecil, dua pohon beringin tua, sumur peninggalan Belanda, dan rawa yang tampak biasa ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain—kampung bangsa lelembut yang tak kasat mata. Reza, perantau yang pulang kampung, tak sengaja melanggar larangan tak tertulis: Jangan pernah ambil sesuatu dari tanah itu. Sejak saat itu, dunia sekitarnya berubah. Bayangan-bayangan muncul dari kabut, suara-suara dari sumur memanggil namanya, dan sosok yang menyerupai dirinya sendiri mulai menampakkan wujud... Tanah Larangan adalah novel horor berdasarkan kisah nyata dari sebuah desa wingit di Indonesia. Atmosfer mencekam, teror perlahan yang merayap, dan misteri gaib yang siap menarik pembaca ke dunia lain—ini bukan sekadar cerita, ini adalah peringatan. Apakah kamu cukup berani untuk masuk, dan keluar dengan selamat? ---

View More

Chapter 1

Bab 1: Pulang ke Kampung yang Tak Sama Lagi Oleh Kelaras Ijo (±1.600 kata – horor atmosferik, merayap, dan menyesakkan)

Malam itu, awan menggantung rendah di atas langit desa. Angin berdesir pelan, membawa bau tanah basah yang entah kenapa terasa... asing. Di kejauhan, kabut tipis mulai merambat pelan dari arah bukit kecil di sebelah timur desa—bukit yang dulunya sering aku datangi waktu kecil, tapi sekarang... hanya didiamkan.

Namaku Reza. Setelah sepuluh tahun merantau, aku kembali ke kampung halaman—Desa Warasari. Sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, rawa, dan kisah-kisah yang orang kota pasti anggap cuma tahayul. Tapi bagi kami yang tumbuh di sini, cerita itu bukan buat ditertawakan. Tapi dihindari. Dihormati.

Malam pertama pulang, ibu sudah berpesan, “Jangan ke arah bukit itu, Le. Sekarang beda. Banyak yang hilang, banyak yang... gak balik.”

Aku cuma mengangguk sambil senyum. Kupikir itu cuma kecemasan khas orang tua. Tapi malam itu, sesuatu membuatku tak bisa tidur. Seperti ada bisikan halus dari luar jendela kamar. Bukan suara orang. Bukan suara binatang. Tapi... suara seperti tanah yang mengerang.

Aku bangun. Kutatap jendela yang mengembun. Kabut sudah sampai halaman. Dan entah kenapa... aku merasa dipanggil.

---

Esok harinya, aku bertemu Pak Tarmo, tetua kampung yang sudah seperti kakek sendiri. Tubuhnya kurus, wajahnya keriput, tapi matanya tajam seperti dulu.

“Kamu masih inget daerah ‘Kana Endas’?” tanyanya tiba-tiba saat kami duduk di beranda. Kana Endas... ya, begitu warga menyebut tempat wingit itu. Secara harfiah artinya ‘kepala tertinggal’—entah kenapa dinamai begitu, tapi semua orang paham satu hal: itu tempat larangan.

“Masih, Pak. Bukit kecil dekat rawa, yang ada dua beringin besar?”

“Betul. Sekarang gak ada yang berani deketin. Banyak kejadian, Za. Anak muda nyari jangkrik—besoknya mati. Orang mancing, pulangnya ngigo terus. Bahkan, ada yang cuma duduk di situ sambil makan rujak—besok paginya lidahnya biru, gak bisa ngomong, terus... hilang.”

Aku menelan ludah. Angin siang itu tiba-tiba berbau amis.

“Kamu jangan penasaran, Za. Di situ ada... urip liyane. Kampung yang gak bisa kamu lihat, tapi mereka bisa lihat kamu. Kalau kamu ngambil sesuatu dari sana—bahkan daun—itu sama aja kayak nyolong dari meja makan mereka.”

Aku mengangguk, pura-pura tenang. Tapi hatiku mulai gelisah.

---

Dua hari kemudian, rasa penasaran mengalahkan akal sehatku.

Menjelang maghrib, aku berjalan ke arah bukit kecil itu. Jalannya sudah berubah, rumput liar tinggi menjulang, dan pohon-pohon seperti membentuk lorong gelap. Semakin dekat ke area beringin, udara terasa lebih dingin, dan... hening. Tak ada jangkrik, tak ada burung. Hanya sunyi yang pekat, seperti ditutup selimut kematian.

Aku berhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang tumbuh berdampingan. Di antara mereka, ada bekas fondasi bangunan—konon dulu itu bedeng peninggalan Belanda. Sekarang hanya reruntuhan samar, diselimuti lumut dan akar liar.

Dan di dekatnya... sumur tua.

Sumur itu hitam. Gelap. Bau besi dan tanah basah menyeruak dari mulutnya. Sekilas, aku merasa melihat sesuatu bergerak di dalamnya. Tapi saat kutatap lebih lama, hanya kegelapan.

Lalu, dari arah rawa, terdengar plung... plong... plong...

Suara ikan meloncat dari air.

Aku menoleh. Benar saja—permukaan rawa meluap sedikit, dan banyak ikan kecil naik ke darat, menari-nari di lumpur.

“Aneh... biasanya malam baru naik,” gumamku.

Aku menunduk. Salah satu ikan tergeletak di kakiku—warnanya perak kehijauan, besar, menggeliat lemah.

Tanpa sadar, aku memungutnya.

Baru satu.

Lalu dua.

Lalu lima.

Tapi begitu aku hendak mengambil yang keenam... suara keras bergema dari balik beringin.

“Cukup.”

Aku membeku. Tangan yang hendak mengambil ikan keenam terasa berat, seperti ditekan oleh tangan tak kasat mata.

Aku menoleh ke kanan—tak ada siapa-siapa.

Ke kiri—kosong.

Tapi dari balik sumur, keluar asap tipis kehitaman yang melingkar seperti kabut, merambat pelan ke arahku.

“Cukup,” suara itu datang lagi. Pelan. Tapi menggema, seperti berasal dari bawah tanah.

Aku menjatuhkan ikan di tangan, dan berlari.

Tapi lorong pohon yang tadi kulewati kini... tak sama lagi.

Jalan seperti berubah. Dahan beringin melengkung membentuk lengkungan tinggi, seperti gerbang... tapi bukan gerbang manusia.

Di belakangku, suara langkah kaki. Tapi bukan kaki manusia. Lebih seperti... seretan basah.

Dan bisikan. Banyak. Dari segala arah.

“Ngambek...

Ngambil...

Ngilang...

Bayar...

Bayar...”

Aku menjerit dan berlari sekencangnya. Napasku putus-putus, tapi suara itu mengikuti terus. Baru saat kutabrak pagar bambu kebun belakang rumah seseorang, aku sadar aku telah kembali ke perkampungan.

Aku menoleh.

Kabut itu masih di sana. Tapi tak melangkah keluar dari batas.

Dia hanya... menunggu.

---

Malam itu aku demam tinggi. Tubuhku panas dingin. Dan yang paling aneh—ikan-ikan yang tadi sempat kuambil muncul di depan pintu rumah, tersusun rapi.

Ibu menangis.

“Siapa suruh kamu ke sana...?! Kamu sudah narik perhatian mereka...”

---

Esok paginya, aku memutuskan untuk meninggalkan desa lagi. Tapi sebelum pergi, Pak Tarmo memberiku satu benda—seikat rambut putih panjang, katanya milik penjaga tanah. Harus dikubur di depan pintu rumah, sebagai tanda permintaan maaf.

“Kalau kamu masih bisa bermimpi malam ini, berarti mereka belum menjemput. Tapi kalau malam nanti kamu cuma lihat bayangan dan kabut... artinya kamu sudah ada di separuh dunia mereka.”

Aku menatap sumur tua dari kejauhan saat mobil meninggalkan desa.

Kabut belum hilang.

Dan di kaca belakang... aku lihat sosok berdiri di antara dua beringin, menatapku dengan wajah yang... sama seperti aku.

---

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
75 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status