Aku pikir, setelah keluar dari pekerjaanku, semua gangguan itu akan berhenti. Tapi aku salah besar. Sosok yang selama ini hanya mengintai dari sudut-sudut gelap kantor dan rumah majikanku, ternyata mengikutiku ke mana pun aku pergi. Setiap langkah, setiap hembusan napas, selalu ada sesuatu yang mengawasi. Suara langkah kaki di belakangku, bayangan di cermin yang bukan milikku, semua semakin nyata. Kini, aku terjebak dalam mimpi buruk tanpa akhir, dan aku tidak tahu apakah aku akan bisa lari dari teror ini.
View MoreLangit malam menyelimuti Jakarta dengan warna kelabu, seolah-olah ikut menahan napas atas kedatangan kami. Angin berdesir lembut, tetapi dingin yang merayap di tulang belakangku tak berasal dari udara. Rasanya, sesuatu di sini menyambut kami dengan cara yang salah.
Aku dan Eci, temanku, turun dari mobil sambil membawa tas besar. Ini adalah malam pertama kami tiba di rumah majikan di kawasan elite Jakarta. Jam menunjukkan pukul 12.15 tengah malam. Rumah yang akan menjadi tempat kami bekerja berdiri megah di hadapan, meskipun sedikit tampak terbengkalai dengan penerangan remang-remang di beberapa sudut. “Rumahnya besar banget, ya?” Eci berusaha terdengar ceria, tetapi aku menangkap getaran kecil dalam suaranya. Matanya menatap ke arah kolam kecil di tengah ruangan. Kolam itu terlihat kumuh, airnya hijau pekat dengan lumut seperti tak pernah dibersihkan. “Renovasi belum selesai, katanya,” jawabku singkat. Aku tidak ingin menghabiskan banyak waktu berbasa-basi. Ada sesuatu di rumah ini yang membuat hatiku tak nyaman sejak pertama kali melihatnya. “Kita masuk aja yuk, cepet,” lanjutku sambil menarik lengan Eci, berharap perasaan tak enak ini akan hilang begitu kita berada di kamar. Namun, perasaanku semakin buruk saat pintu depan terbuka dengan suara derit yang panjang, seolah tak ingin membiarkan kami masuk tanpa peringatan. Di dalam, Mbak Mia, pembantu rumah tangga yang lebih dulu bekerja di sana, menyambut kami. Wajahnya terlihat letih, tetapi senyumnya tetap ramah. “Kalian pasti capek, ya. Ayo, saya tunjukkan kamarnya. Sebentar lagi udah mau subuh, siap-siap ya, karena kalian langsung mulai kerja pagi-pagi.” Aku terkejut. Setelah perjalanan panjang dari Indramayu, aku kira kami akan diberi waktu untuk istirahat dulu. “Sudah biasa kalau di sini harus siap kapan saja,” kata Mbak Mia seakan tahu pikiranku. "Dan kalau bisa, jangan terlalu lama di luar. Terutama dekat kolam itu." Aku menoleh ke arah kolam yang tadi sudah membuat bulu kudukku berdiri. “Kenapa, Mbak?” tanyaku, meskipun aku tidak yakin ingin tahu jawabannya. Mbak Mia menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Cuma... nanti kalian juga akan tahu sendiri.” Selesai berkata begitu, Bu Mia menunjukkan kamar kami dan berlalu ke dapur, meninggalkan kami dalam kebingungan. Aku dan Eci bertukar pandang, tapi tak ada yang berani berkata apa-apa lagi. Hari-hari awal berjalan seperti biasa. Kami bergantian menjaga bayi majikan dan mengurus pekerjaan rumah. Sebenarnya, tidak banyak yang aneh di rumah ini, kecuali perasaan gelisah yang terus membayangiku. Namun, ketika aku mulai mengikuti jadwal untuk membantu di kantor produksi majikan, semuanya berubah. Kantor itu berada di sebuah ruko lima lantai di kawasan bisnis. Tugas utama kami adalah bersih-bersih dan mengurus segala keperluan di kantor, terutama di lantai 4 tempat para karyawan bekerja. Tentu saja, aku juga bertanggung jawab menjaga bayi majikan selama kami di sana. Suatu pagi, aku ditugaskan untuk membersihkan lantai 4 sampai 1 seperti biasa. Sebelumnya, lantai-lantai itu tampak biasa saja, meskipun suasananya selalu lebih sunyi daripada lantai 4. Tapi pagi itu, perasaan aneh mulai menyelimutiku sejak aku menuruni tangga. “Coba kamu yang ke lantai 2, yah. Aku takut,” Eci berkata dengan wajah sedikit pucat. Aku sempat ingin mengejeknya, tapi kemudian rasa dingin itu menyentuhku. Lantai 2 selalu gelap dan terasa lebih dingin daripada seharusnya. Dan entah kenapa, setiap aku menuruni tangga menuju lantai itu, perasaanku seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. “Nggak apa-apa, paling cuma perasaan kamu aja,” jawabku sambil mencoba tetap tenang. Tapi, saat aku mencapai lantai 2, napasku terhenti. Pintu kamar mandi yang selalu kutemui tertutup, kali ini sedikit terbuka, seperti mengundangku untuk mendekat. Suara derit kecil terdengar ketika angin seolah menyelinap masuk ke dalam ruangan. Aku mengabaikan suara itu, meskipun hatiku mulai berdebar kencang. Aku membersihkan koridor, namun setiap kali melewati kamar mandi itu, aku merasa ada yang mengawasi. Mataku berkali-kali tertuju pada pintu yang sedikit terbuka. Rasa penasaran mulai menggantikan ketakutan. “Braaak!” Aku mundur dengan cepat, jantungku berdegup keras di dada. Suara itu, seperti ada benda besar yang terjatuh di dalam kamar mandi. Aku menatap pintu yang kini terbuka lebih lebar, tapi tak ada apa-apa di dalam, hanya ruangan gelap yang basah dan berdebu. “Siapa di sana?” tanyaku, meskipun dalam hati aku tahu, tidak mungkin ada jawaban. Suara langkah kaki mendekat dari belakangku. Aku berbalik dengan cepat. “Eci?” tanyaku dengan napas tersengal. Tapi itu bukan Eci. Tidak ada siapa-siapa. Aku berdiri di tengah koridor, sendirian, ditemani oleh suara pintu yang perlahan tertutup kembali di belakangku.Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments