Arman, 33 tahun, seorang manajer di perusahaan meubel harus lembur untuk mendapatkan uang lebih karena merencanakan liburan akhir bulan. Tapi belum waktunya pulang dari Kantor, Asha (7 tahun) menelepon nya dan mengatakan bahwa Siska (30 tahun) , ibunya menjadi setan. Arman pun tidak jadi lembur dan memilih untuk pulang ke rumah nya. Apa yang sebenarnya terjadi kemudian adalah terungkapnya sebuah rahasia dan kejahatan yang sudah dilakukan oleh Siska, sang istri.
View MoreCEPAT PULANG, PA! MAMA JADI SETAN!
"Pa, cepat pulang! Mama jadi setan!" Suara itu melengking di ujung telepon, membuat Arman terlonjak dari tidur. Jantungnya berdegup kencang, tangan menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menatap layar yang berkedip-kedip, menampilkan nama putrinya, Asha, yang baru berusia tujuh tahun. “Asha? Apa maksudmu?” tanyanya tergesa-gesa, suaranya serak karena baru terbangun. “Mama… Mama aneh, Pa. Matanya merah, suaranya kayak orang lain. Dia nyebut-nyebut nama yang aku nggak ngerti,” Asha terdengar terisak. “Pa, aku takut…” Detik itu juga Arman tahu, ini bukan sekadar mimpi buruk. Asha bukan tipe anak yang suka bercanda, apalagi di saat dia sibuk bekerja. Ada sesuatu yang salah. “Dengar, Nak, jangan mendekat ke Mama, ya? Kamu sembunyi di kamar dan kunci pintunya. Papa akan pulang sekarang juga,” ujar Arman, suaranya gemetar namun berusaha terdengar tenang. “Tapi… Mama ada di depan pintu kamar aku sekarang, Pa…” suara Asha nyaris berbisik, tetapi cukup untuk membuat napas Arman tersengal. Hening. Lalu terdengar ketukan pelan di latar belakang telepon. Tok… tok… tok. “Asha, jangan buka pintunya! Papa di jalan!” Arman langsung bangkit dari tempat tidur, menyambar kunci mobil dan dompet tanpa berpikir panjang. Hatinya berdegup tak karuan, pikirannya dipenuhi bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi di rumah. Ketika ia melangkah keluar menuju mobil, telepon itu masih tersambung. Napas Asha terdengar pendek-pendek, hampir seperti tercekik. “Asha? Kamu masih di sana?” Arman bertanya, mencoba memastikan putrinya tetap aman. “Pa…” suara Asha hampir tak terdengar. “Mama nggak ketuk pintunya lagi.” Arman terdiam, menghentikan langkahnya. “Apa maksudmu?” tanyanya perlahan. “Mama…” Asha tersendat-sendat. “Mama sekarang di kamar… Asha takut!" Mendadak suara petir terdengar menggelegar di luar kantor Arman, membuat lelaki itu nyaris terlompat dari kursinya. Dan ponselnya terlepas dari genggaman Arman, jatuh ke lantai dengan bunyi dentingan yang memecah waktu maghrib. "Kamu tenang, Sha! Papa pulang sekarang!" ujar Arman tergesa setelah memungut kembali ponselnya. Panggilan terputus. Arman kembali menelepon Asha. Tapi anaknya tak kunjung menerima panggilannya. Arman menatap ke arah jam bulat yang menempel di dinding ruangannya. Sudah jam enam petang. Arman memang rencananya ambil lemburan sampai jam delapan malam. Tapi tak disangka, ada kejadian seperti ini. Tanpa berpikir dua kali, Arman langsung melesat keluar ruangannya. Dia segera menuju ke tempat parkir, lalu melajukan mobilnya seperti orang kesetanan. Jalanan lengang di tengah malam membuatnya memacu kecepatan hingga tak lagi memedulikan lampu lalu lintas. Teleponnya kini tersambung dengan speaker mobil, namun hanya keheningan di seberang yang menyiksanya. “Asha? Kamu masih dengar Papa, kan?!” Arman mencoba memecahkan keheningan, namun tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara aneh—napas berat, disertai bisikan samar seperti berbahasa asing. Suara itu bukan milik Asha. “Asha! Jawab Papa!” Arman hampir berteriak, namun tetap tak ada respons. Jari-jarinya mencengkeram setir begitu kuat hingga terasa kesemutan. Seketika pikiran-pikiran buruk menyerbu benaknya. Apa yang terjadi di rumah? Apa yang telah merasuki istrinya? Saat mobilnya berbelok memasuki area perumahan, ia melihat rumah mereka berdiri sunyi dalam kegelapan. Lampu depan yang biasanya menyala kini m a ti, menciptakan bayangan menyeramkan dari pohon besar di halaman. Arman keluar dari mobil, langkahnya tergesa-gesa menuju teras rumahnya. Desau angin dingin menyambut kedatangannya membuat bulu kuduk Arman merinding. Namun, sesuatu membuatnya berhenti. Di jendela lantai dua, di kamar Asha, ia melihat seseorang berdiri di balik tirai. Sosok itu tidak bergerak. Hanya menatap lurus ke arah Arman, meskipun wajahnya tertutupi bayangan. Tapi ada sesuatu yang membuat tengkuknya meremang—mata itu… bersinar merah. “Ya Tuhan…” gumam Arman. Ia segera mencoba membuka pintu, namun terkunci. Tangan gemetar merogoh saku mencari kunci rumah, dan setelah menemukannya, ia buru-buru memutar kenop. Saat pintu terbuka, bau menyengat menyeruak ke hidungnya. Seperti bau busuk bercampur belerang. Rumah itu gelap gulita. Arman menyalakan lampu di ruang tamu, tapi lampu berkedip-kedip sebelum akhirnya mati kembali. Suara langkah kakinya bergema di lantai keramik saat ia melangkah masuk. “Asha? Asha, Papa sudah di rumah! Kamu di mana, Nak?” panggilnya, suaranya bergetar. Hening. Arman mendengar suara samar dari arah dapur—seperti suara sendok yang jatuh. Dengan hati-hati, ia melangkah ke arah sumber suara. Di sana, ia menemukannya. Istrinya, Siska, berdiri di depan wastafel dengan posisi tubuh yang kaku. Rambut panjangnya tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Ia tidak bergerak, hanya berdiri diam seperti patung. “Siska…” panggil Arman pelan. Wanita itu perlahan berbalik. Wajahnya pucat, matanya kosong seperti bola kaca. Tapi bibirnya melengkung menjadi senyum aneh yang terlalu lebar, hampir seperti robek hingga ke telinga. “Arman,” suaranya keluar, namun bukan suara Siska. Lebih berat, lebih serak, dan terdengar seperti berasal dari dua mulut sekaligus. “Apa yang kau lakukan pada anakku?!” Arman membentak, meskipun ia tahu sosok ini bukan istrinya lagi. Siska—atau entitas yang ada di tubuhnya—tertawa pelan. Suara itu semakin keras, menggema di seluruh ruangan. “Anakmu?” katanya sambil melangkah maju, tubuhnya bergerak dengan gerakan patah-patah yang tidak manusiawi. “Dia aman… untuk saat ini.” Arman mundur selangkah, jantungnya berpacu liar. Matanya melirik sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melindungi diri. “Di mana Asha?!” Ia berteriak, namun sosok itu tidak menjawab. Sebaliknya, Siska mendongak ke arah tangga, lalu tersenyum lebih lebar. “Dia… di kamar,” bisiknya. Arman tidak menunggu lebih lama. Ia berlari menaiki tangga, tidak peduli dengan suara tertawa di belakangnya yang kini terdengar seperti jeritan ribuan orang sekaligus. Ketika ia sampai di depan kamar Asha, tangannya gemetar saat menyentuh kenop pintu. Ia mendorongnya terbuka, dan pandangan pertama yang ia dapatkan membuat darahnya membeku. Asha berdiri di sudut kamar, wajahnya pucat dan penuh air mata. Tapi itu bukan yang paling mengerikan. Di langit-langit kamar, tepat di atas kepala Asha, sosok hitam dengan mata merah menyala menempel seperti laba-laba, menatap Arman dengan senyum yang sama menyeramkannya. Next?Di sisi lain, Arman—seorang duda beranak satu yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi—sering memperhatikan Dinda. Awalnya, ia hanya menghargai kecerdasannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman. Perasaan itu membuatnya gelisah. Ia pun memutuskan untuk berbicara dengan ibunya, Ayu."Ibu, aku ingin bicara sesuatu," kata Arman dengan nada serius saat mereka duduk di ruang tamu.Ayu menoleh, menatap putranya dengan penuh kasih sayang. "Ada apa, Nak? Kau terlihat serius."Arman menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Bagaimana menurut Ibu jika aku ingin melamar Dinda?"Ayu terdiam. Ia memang menyukai Dinda, gadis itu adalah sosok yang baik, pintar, dan berakhlak mulia. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu: perbedaan status mereka. Walaupun sama-sama lulusan S2, Dinda masih gadis, sementara Arman adalah seorang duda dengan seorang anak. Ia tidak ingin Dinda merasa terbebani."Nak, ini bukan perkara mudah. Kau duda
"Ayah, kardus Mbak Dinda ditaruh di mana?" tanya Ragil yang sedang menjunjung satu kardus bekas berisi buku-buku Dinda untuk kuliah. Di belakang Ragil tampak Edi yang sedang membawa dua tas kain berukuran besar."Eh, ada Mas Ahmad!" ujar Ragil sambil masuk ke dalam ruang tamu, meletakkan kardusnya ke lantai, dan menyalami Arman. Edi pun mengikuti Ragil dan menyalami Arman."Lanjutkan saja ngobrolnya. Saya mau beres-beres barang Mbak Dinda yang sebentar lagi wisuda, jadi sekalian pindahan ke pondok," ujar Ragil dengan senyum lebar. "Letakkan saja di kamar Dinda," jawab Ustadz Ahmad dengan tenang.Ragil mengangguk dan melangkah keluar ruang tamu, diikuti oleh Edi. Mereka berjalan menuju halaman untuk mengambil barang-barang lain dari mobil Xpander milik pondok pesantren.Dinda memang anak yang cerdas dan penuh semangat. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikannya dalam dunia pendidikan agama. Tidak heran jika sekarang ia ingin mengabdikan dirinya di pondok pesantren milik ayahnya
Seharusnya saya bertanya pada mbok Darmi atau pak Darto, tapi saya tahu hal itu tidak mungkin. Saya ingin sekali melihat makamnya untuk pertama dan terakhir kali dalam hidup saya. Apa ustadz Ahmad kira - kira bisa menunjukkan makam Aisyah dengan kekuatan dzikir atau firasat, atau apapun itu?" tanya Ahmad dengan ragu. Ustadz Ahmad menatap wajah lelaki di hadapan nya dengan prihatin. "Saya tidak bisa mencari makam seseorang dengan cara seperti itu, Pak Arman. Kalau pak Arman ingin mencari makam mbak Ais, lebih baik bertanya pada tetangga atau yang pernah mengenal orang tuanya," ujar Ustadz Ahmad seraya menghela napas panjang.Arman menunduk."Maaf, Ustadz. Apa tidak ada cara lain? Selama mengenal Ais, dia tidak pernah membawa saya ke rumah nya di kampung, dan tidak pernah memperkenalkan saya pada orang tuanya yang sedang bekerja di luar negeri. Bahkan saya hanya melihat foto nya sekali dua kali, jadi saya tidak bisa mengenal saat bertemu dengan pak Darto dan mbok Darmi yang juga sudah
"Alhamdulillah, kalian datang lagi," ujar Ustadz Ahmad dengan senyum lebar. Ayu dan Arman tersenyum. Arman bersalaman dengan ustadz Ahmad. Sedangkan Ayu hanya mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Mari bicara di dalam," ajak Ustadz Ahmad dengan ramah.Ayu dan Arman mengangguk, lalu berjalan mengikuti ustadz Ahmad masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di kursi nya yang terbuat dari anyaman rotan. "Bagaimana kabar nya Pak Arman? Apa ada gangguan atau teror lagi yang menyerang keluarga pak Arman?" tanya Ustadz Ahmad serius. Arman dan ibunya menggeleng. "Alhamdulillah tidak ada pak Ustadz. Kami ke sini karena ingin silaturahmi dengan pak Ustadz," sahut Arman tersenyum. Mata ustadz Ahmad berbinar. "Alhamdulillah, syukurlah kalau begitu, pak Arman, bu Ayu. Insyallah dengan berbuat baik pada sesama makhluk hidup dan selalu berusaha mendekat kan diri pada Allah, rutin salat dan mengaji, puasa sunnah, perbanyak dzikir, kita bisa terjauh dari niat jahat manusia dan jin," ujar U
Dukun tua itu terhuyung ke belakang, matanya terbelalak ketakutan. Dadanya naik turun cepat, napasnya tersengal-sengal. Tangan kasarnya yang penuh kerutan mencengkeram dada seakan hendak mencabut sesuatu yang tak kasat mata dari dalam tubuhnya. Rasa panas menjalar dari perutnya, naik ke dada, lalu menjalar ke tenggorokannya seperti api yang membakar dari dalam."Ukhh... Ukhh..." Batuknya terdengar berat, dan tiba-tiba, darah hitam kental menyembur dari mulutnya, mengotori jubah lusuh yang ia kenakan.Tubuhnya bergetar, menggigil hebat. Ia mencoba berjalan tapi tersandung dan jatuh ke lantai tanah, jari-jarinya mencakar tanah dengan liar, mencari pegangan yang tak ada. Matanya mencari-cari sesuatu, seseorang, tapi tak ada yang bisa menolongnya. Ia berusaha merangkak menuju pintu gubuk reotnya, tetapi tubuhnya terasa semakin berat. Seperti ada ribuan tangan tak terlihat yang menariknya kembali ke dalam kegelapan."Sialan!" gumamnya dengan suara parau. "Santet ini adalah santet paling be
Ia telah mengamati jadwal Ayu selama beberapa hari. Wanita itu selalu keluar dari kamar setiap beberapa jam, entah untuk mengambil makanan, mengurus administrasi, atau sekadar mencari udara segar. Sabar adalah kunci.Suatu sore, pintu kamar itu terbuka. Ayu keluar dengan langkah cepat, menggenggam kantong plastik kecil berwarna putih. Wajahnya tampak lelah, tetapi ia tetap berjalan menuju tempat pembuangan sampah di ujung lorong.Dukun itu menajamkan penglihatannya. Kantong plastik itu tampak ringan, tapi ia bisa menduga isinya—mungkin tisu bekas, mungkin sisa makanan, atau... sesuatu yang lebih berharga baginya.Saat Ayu melemparkan kantong itu ke dalam tempat sampah dan berbalik pergi, dukun itu menunggu beberapa detik sebelum berdiri dan berjalan santai ke arah yang sama. Sekilas ia melihat ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikannya. Lalu, dengan gerakan cepat, ia mengambil kantong plastik itu dan menyelipkannya ke dalam sakunya.Di dalamnya, sesuatu yang kecil d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments