Share

Bab 6

Nana

Apa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.

“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.

Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.

“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.

“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”

Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.

“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”

Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.

“Oh, dia sudah menikah. Terus hubungannya apa sama sekarang?” Rani menatapku serius.

Wajahku merengut lalu mengerucutkan bibir. “Dia ngerusak imajinasi tentang kesempurnaan dokter. Melihat dia marah, gue jadi tertampar sama imajinasi gue sendiri. Ternyata nggak ada orang yang benar-benar too good to be true. Setiap orang punya  kejelekan, termasuk dokter.”

“Gue nggak paham.”

Rasanya ingin menyentil dahinya. Padahal aku sudah menjelaskan panjang lebar. “Apa ada dokter yang nyaris sempurna seperti dokter Nando di cerpen gue? Sementara yang gue lihat dari dokter tadi, gak ada kata baik sama sekali.”

Rani menepuk bahuku. Menyalurkan kekuatan untukku kembali percaya diri. “Pasti ada kok, Na. Dokter tadi marah pasti ada alasannya, kan? Siapa tahu koas-nya memang salah.”

“Kalau pun salah, harusnya negur dengan cara halus. Nggak perlu sampai memaki di depan banyak orang. Itu akan menurunkan semangat kerja koas itu,” balasku yang tetap tidak terima atas tindakan dokter Galih, meskipun bukan aku yang dia marahi.

“Ya udahlah. Toh lo juga nggak kenal dia. Cuma sebatas kenal selewat doang.”

Aku melotot saat sadar. Refleks aku menepuk dahi karena merasa bodoh. “Iya, ya. Ngapain gue repot? Berharap jadi jodoh dia pun nggak,” kekehku. “Gue laper, Ran, ke kafetaria dulu ya.”

“Lah, temenin gue jenguk nyokapnya Beni, Na. Gue malu.”

Aku menyeringai lebar pada Rani. “Ran, lo tahu kan gue ke sini belum sempet makan. Gue laper banget ini. Lagian lo kan yang pacarnya Beni.”

Rani berdecak seraya melempar tatapan kesalnya padaku. “Ah, elu gimana sih? Kalau gini caranya mending gue pergi sendiri,” gerutunya.

Good luck, Raniku.” Sebelum pergi aku mencolek pipi Rani.

Kembali turun ke lantai satu karena saat aku bertanya pada salah satu perawat, dia bilang letak kafetaria berada di lantai satu. Rumah sakit ini luas, aku sempat bingung menentukan arah ke kafetaria. Di saat kebingungan terjadi, aku melihat pemandangan yang mengusik hatiku untuk berhenti melangkah. Di taman samping rumah sakit, aku melihat dokter Galih sedang jongkok di depan kakek-kakek yang duduk di kursi roda, ekspresinya santai dan lengkung senyum tulus dari bibirnya seolah melenyapkan kemarahannya tadi. Lalu ia berdiri, dan mendorong kursi roda kakek itu.

“Maaf, Sus, saya mau tanya.” Aku menghentikan perawat yang lewat di depanku.

“Iya, kenapa, Mbak?”

“Itu yang sama dokter Galih siapa?” tunjukku ke arah luar jendela.

Perawat itu tidak lantas menjawab, ia seperti menilai penampilanku. “Mbak ada hubungan apa sama dokter Galih? Maaf, maksud saya, kami tidak bisa memberitahukan informasi jika yang bersangkutan tidak mengizinkannya.”

Sombong amat si Om!

Aku berpikir lama untuk mencari alasan yang logis. Tidak mungkin aku bilang keluarganya, bisa menjadi korban makian dokter Galih berikutnya. Lalu harus kujawab apa?

Aku menggigit bibir bawahku, si perawat masih intens memperhatikan gesturku. Ayolah, Na. Berpikir dengan jernih. Butuh waktu sekitar satu menit untuk mendapatkan jawaban.

“Sa-saya mahasiswa. Saya ada tugas interview dan saya mengambil tema kesehatan. Berhubung saya ngefans sama dokter Galih, jadi saya ingin mewawancarai beliau.”

Tamat riwayatku habis ini.

 “Sebaiknya Mbak buat janji dulu sama beliau. Mari saya antar ke bagian administrasi.”

Aku pasrah. Mengikuti perawat itu ke meja administrasi. Ia berbicara pada staf administrasi. Perawat itu kemudian pamit setelah mengatakan dokter Galih akan di telepon oleh staf administrasi.

“Boleh saya lihat KTP dan KTM-nya, Mbak?”

Aku melotot disertai kernyitan di dahi.

“Untuk memastikan saja,” katanya seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

Aku membuka dompet dan menyerahkan KTM dan KTP-ku. Staf administrasi itu kemudian menelepon dokter Galih.

Semoga tidak di acc. Bisa mati berdiri kalau sampai mewawancarai dokter yang super galak itu. Dari cara dia membentak koas tadi, aku berspekulasi kalau dia memiliki sifat yang galak dan otoriter.

“Oh, baik, Dok. Akan saya sampaikan.”

“Gimana, Sus?” tanyaku harap-harap cemas.

Interview bisa dilakukan sekarang, Mbak. Dokter Galih kebetulan sedang tidak sibuk.”

Sekarang juga? Kenapa harus sesial ini coba? Lo bego sih, Na. Harusnya lo nggak usah kepo tadi, pasti nggak bakal ada acara tipu muslihat gini. Apa yang harus gue wawancara? Gue mahasiswa sastra mana tahu soal dunia kedokteran.

“Nggak bisa besok ya, Sus?”

“Maaf, Mbak. Schedule Dokter Galih besok ada operasi jam dua siang.”

“Kalau nggak besok berarti lusa. Gimana, Sus?” Aku berusaha negosiasi.

“Maaf. Kalau Mbak ingin mewawancarai dokter Galih, sebaiknya sekarang saja.”

“Oh begitu. Okelah, Sus. By the way KTM sama KTP saya.”

“Oh, ini. Ruangannya ada di lantai empat.”

“Terima kasih, Sus.”

Gila gila gila! Aku harus bagaimana sekarang? Kalau kabur, Suster tadi sudah mengetahui almamaterku. Takut ada laporan ke pihak kampus juga.

Tidak langsung ke lantai empat, aku lebih memilih menekan tombol lantai tiga. Meminta solusi Rani terlebih dahulu. Di dalam lift aku mencoba menghubungi sahabatku itu, memintanya menungguku di luar kamar ibunya Beni.

“Ran, gawat!” Napasku terengah saat sampai di depan kamar inap ibu Beni. Efek lari dan nervous, membuat napasku tak beraturan.

“Ada apa? Lo kenapa kayak orang dikejar banci gila gitu sih?”

Aku membisikkan apa yang baru saja terjadi pada Rani agar tidak ada yang mendengarnya.

What? Kok bisa, Na?”

Menghempaskan tubuh di kursi tunggu. “Ceritanya panjang, Ran. Duh, gue harus gimana ini? Gue bingung, gue lapar. Nggak bisa mikir.”

Rani membuka tasnya, sebungkus roti ia keluarkan lalu mengangsurkan padaku.

“Makan roti dulu. Tenangin diri lo.”

“Mana bisa gue tenang, Ran. Yang mau gue wawancara itu dokter Galih. Dokter yang galak tadi,” ceracauku resah.

“Ya udah sih tinggal abaikan aja. Anggap lo nggak pernah minta buat interview dia,” jawab Rani enteng.

“KTM gue jadi jaminannya, Ran. Suster yang gue tanya itu tahu almamater gue dan dia bilangin ke dokter Galih. Bisa bahaya kalau gue kabur gitu aja, gue gak mau sampai kena kasus gara-gara ini.”

Ekspresi Rani berubah tegang. “Intinya sekarang lo harus maju. Nggak ada jalan buat mundur, kan?”

Aku mengangguk sedih.

Rani mengulum bibir, dahinya berkerut seakan berpikir sesuatu. “Oke, lo pura-pura aja lagi ada tugas dari dosen buat bikin cerpen. Nah, lo lagi riset soal kedokteran gitu. Bisa, kan?”

“Astaga! Kok gue nggak kepikiran ya? Oke, berarti gue pura-pura lagi nyari riset buat cerpen!”

“Yups.”

Aku memeluk Rani erat. “Ah, Rani. Thanks. Mungkin kalau nggak ada lo gue udah pingsan.”

“Dasar selebor! Makanya lain kali pikir-pikir dulu lah, asal bunyi aja sih lu.”

Aku nyengir.

“Ya udah. Gue meluncur nih ke ruangan dokter galak itu. Lo harus tungguin gue, gue nggak bakal lama.”

Rani mengangguk. “Nanti chat aja.”

Aku bangkit lantas mengacungkan jempol padanya. Kembali melanjutkan aksiku, yakni interview mendadak dengan dokter Galih. Jantungku berdebar abnormal saat tiba di depan ruangannya. Tanganku menggantung di depan pintu.

Nana pantang mundur sebelum tempur.

Aku membaca mantraku. Lalu mengetuk pintu ruangan dokter Galih. Setelah mendapat izin dari dalam, pintu kubuka.

“Selamat sore, Dok.”

“Selamat sore.”

Berjalan pelan mendekati mejanya. Dokter Galih yang sedang fokus ke layar laptop kemudian mengangkat pandangannya. Aku merasakan ada reaksi terkejut saat menyadari kehadiranku.

“Lho, kamu bukannya yang di taman itu?” tanya dia, ah rupanya dia mengingat wajah imutku.

“Iya, Dok. Saya Nana, dan saya yang mau interview Dokter.”

“Oh, silakan duduk.”

Aku mengangguk lalu duduk di seberangnya.

“Saya Nana, mahasiswa sastra semester 6.”

Dokter Galih mengernyit. “Apa hubungannya sastra sama kedokteran?”

Buset. Kena jebakan!

“Anu. Saya dikasih tugas mengarang cerpen. Saya lagi butuh riset soal kedokteran, karena dalam cerpen itu tokoh laki-laki berprofesi sebagai dokter.”

Alhamdulillah, mulut gue lancar.

“Oh, baik. Apa yang ingin kamu tanyakan?”

Aku semakin bingung dengan sikapnya. Kali ini ia tampak lebih ramah. Berbeda saat pertemuan kami di taman dan saat tadi dia marah.

Menggigit bibir bawahku, berpikir sejenak mencari pertanyaan yang sama sekali belum aku siapkan. Saat ide itu muncul, aku mengambil note book dari dalam tasku beserta pulpen. “Sebelumnya kalau Dokter berkenan, Dokter isi dulu biodata.”

Lagi-lagi ia mengernyitkan alisnya. “Kenapa saya harus isi biodata? Kan yang ingin kamu riset itu soal kedokteran bukan soal kehidupan pribadi saya.”

“Untuk bukti ke dosen saya, Dok,” dustaku namun berhasil membuatnya percaya.

“Oh, apa saja yang harus saya tulis?”

“Nama, tanggal lahir, alamat, riwayat pendidikan, dan alasan Dokter kenapa memilih pekerjaan sebagai dokter.”

Ia tidak menanggapi penjelasanku, tangannya mulai bergerak untuk menulis di note book. Sementara aku menunggunya selesai menulis sambil melirik-lirik sedikit ke arah tulisannya yang dikategorikan standar dan masih bisa dibaca.

“Segini cukup?” Ia menunjukan tulisannya padaku.

“Cukup, Dok.” Aku membaca biodata yang ditulis dokter Galih. “Kenapa dokter mengambil spesialis bedah digestif?”

Dokter Galih diam sejenak, berdeham, kemudian menjelaskan. “Waktu saya SMA, kakek saya pernah sakit tumor rektum, tumor ini dikategorikan kanker karena tumor ganas. Beliau cuek sama kesehatannya, tidak ingin berobat. Sampai akhirnya tumor itu terus tumbuh dan kakek saya tidak bisa diselamatkan karena saat berusaha berobat tumornya sudah mencapai stadium akhir. Dari situ saya memutuskan mengambil jurusan kedokteran, karena tidak ingin lagi ada orang yang nasibnya sama seperti kakek saya. Tapi, langkah saya menjadi sarjana kedokteran tidak semulus itu. Saya nakal, saya malas kuliah, kehidupan saya kental dengan dunia malam, clubing, rokok. Pokoknya miris sekali. Kadang saya tidak percaya bahwa dunia saya pernah sekelam itu. Saya mengecewakan orang tua saya, membuat ibu saya menangis. Tapi akhirnya rezeki sebagai dokter masih saya terima.”

Jadi, dia pernah berada di titik jenuh dalam hidupnya. Sampai dunia malam ia cicipi.

“Terus apa yang membuat Dokter berubah?” tanyaku semakin penasaran.

“Jatuh cinta,” jawab dokter Galih, sejenak membuatku speechless. “Saya tahu alasan saya berubah itu salah. Harusnya saya berubah karena diri saya sendiri bukan karena orang lain, tapi satu yang menjadi alasan saya berubah adalah saya jatuh cinta pada wanita yang tidak pernah saya sangka akan hadir di hidup saya.”

Aku bersandar di kepala kursi. “Terkadang, ada satu hal yang membuat kita termotivasi, termasuk cinta, Dok.”

Dokter Galih mengangguk setuju.

“Kalau boleh tahu, pekerjaan bedah digestif itu apa?”

“Bedah digestif itu bedah yang dikhususkan untuk penanggulangan gangguan kesehatan yang terjadi pada bagian pencernaan tubuh manusia. Tumor ini biasanya menyerang lansia, yaitu di atas lima puluh tahun. Gejalanya macam-macam. Bisa nyeri di area perut,  sembelit, atau adanya darah dalam tinja. Penyebabnya juga banyak, antara lain diabetes, kurang olahraga, kurang asupan serat dan buah-buahan, mengonsumsi minuman beralkohol, obesitas, dan merokok.”

Aku hanya bisa mengangguk-anggukan kepala karena tidak paham sama semua penjelasannya. Tapi aku berusaha tersenyum seramah mungkin. “Oh baik, Dok. Saya mulai paham sekarang.”

“Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya santai.

“Sepertinya cukup. Oh, kalau boleh tahu, kakek-kakek yang di Taman tadi siapanya, Dokter?” tanyaku hati-hati.

“Oh, itu pasien saya.”

Aku beroh ria. Terlepas dari kemarahannya tadi, ternyata sisi kemanusiaan dokter Galih tetap ada. Aku berdiri dengan kikuk, ingin menjabat tangannya sebagai ucapan terima kasih, namun gengsi. “Terima kasih banyak atas waktunya dan penjelasannya yang sangat rinci. Oh iya, titip salam buat anak Dokter. Anaknya lucu banget, Dok.”

Aku tidak bohong. Anaknya memang tampan tapi tidak mirip sama sekali dengan Dokter Galih.

Bola mata dokter Galih membidikku dengan tepat. Kedua alisnya bertaut. “Dari mana kamu menyimpulkan kalau saya sudah menikah?”

“Eh?” Aku terkesiap atas pertanyaannya.

“Umur saya memang sudah tiga puluh tahun sebentar lagi tiga puluh satu tahun, tapi saya belum menikah. Naka itu keponakan saya.” Tanpa diminta dia menjelaskan seolah-olah itu hal penting yang harus ia bagi padaku.

Omong-omong dia udah tua, tapi belum nikah? Masa tidak ada yang mau?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status