Usia kandungan memasuki enam bulan membuat berat badanku terus naik dengan pesat. Akibatnya; pinggung besar, dada yang lebih berisi, dan pipiku yang semakin chubby menjadi mainan Mas Galih. Dia sering menarik-narik pipiku dengan alasan gemas. Dan Rani sering kali mengejekku PBB--Pendek Buntet Bulat. Belum lagi perubahan hormon kehamilan yang berubah-ubah. Kadang disinggung sedikit, aku langsung marah atau nangis.
Kuliahku sudah mencapai final. Wisuda di depan mata kalau skripsiku beres semester 8 ini. Hanya saja karena kondisi yang sedang hamil sedikit menyulitkanku untuk menyusun skripsi. Banyak sekali kendala yang aku alami. Dari mulai mual-mual, mudah ngantuk, pusing, mudah pegal.
Untungnya punya suami yang pengertian, kadang Mas Galih yang mengetik skripsiku saat aku sudah uring-uringan dan menangis. Meskipun aku tahu dia sendiri capek karena pekerjaannya.
Aktivitasku setiap hari jarang ada peningkatan. Pagi-pagi menyiapkan sarapan, lanjut
Jam setengah dua belas siang, gue baru selesai operasi tumor rektum. Penyakit itu pernah dialami ayah mertua gue sebelum gue nikah sama Nana. Gue sering tanya kabar dia, tanya soal kesehatan dan penyakitnya. Ayah mertua gue sekarang sudah lebih bisa menjaga kesehatannya.Gue balik ke ruang kerja. Merebahkan badan di kursi dan mengecek ponsel yang gue tinggalkan di atas meja kerja. Alis gue bertaut melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Nana. Gue segera menghubungi dia, takutnya ada sesuatu yang terjadi.“Hallo, Sayang. Maaf aku baru selesai operasi. Kamu ada apa telepon sampai sepuluh kali?”“Aku keluar flek darah, Mas.”Oh, astaga! Gue langsung bangkit berdiri, menyambar kunci mobil. “Aku pulang sekarang!”“Nggak usah, Mas. Aku diantar Gilang sama Mama aja.”Gerakan tangan gue yang hendak memutar handel pintu ruangan seketika berhenti. “Mereka ada di situ?&rdqu
Menjadi bagian dari hidup dia mungkin tidak ada dalam dongeng kehidupan yang kurancang. Dia masuk sebagai orang asing yang tidak tahu malu, perlahan menyusup ke dalam ruang hati yang sudah terlalu lama menyepi sendiri. Terlalu gampang untukku jatuh cinta padanya. Terlalu gampang untukku percaya padanya. Pada kenyataannya, dia yang mengambil hatiku masih terbelenggu masa lalu. Lantas apa peranku yang sebenarnya bagi dia? Pelampiasan? Pelarian dari masa lalu? Semurahan itukah aku? Dan sekarang, aku duduk di sini. Di tengah-tengah para tamu undangan yang hadir. Dengan balutan kebaya hitam modern lengkap dengan paes, kembang goyang, dan untaian melati yang menjuntai dari kepala sampai dada sebelah kanan. Jangan lupakan sanggul besar yang menempel di kepala dengan hiasan tujuh cunduk. Ini berat sekali. Sementara di sebelahku, duduk seorang lelaki berpakaian beskap hitam lengkap dengan blangkon yang menutupi kepalany
Nana Jadi mahasiswa itu terkadang menyenangkan, namun juga terkadang tidak. Menyenangkan saat dosen tidak masuk tanpa memberikan tugas apa pun. Itu rasanya seperti pecah bisul di pinggul. Lega banget! Dan tidak menyenangkan saat bertemu dosen yang sukanya kasih tugas numpuk seperti cucian kotor di kosan. Kalau cucian kotor, dan malas untuk mencuci tinggal kasih laundry. Masalah beres. Nah, kalau tugas numpuk mau dikasih ke siapa? Orang lain pun tidak akan cuma-cuma memberikan kerja otaknya untuk mengerjakan tugas punya orang. Pasti harus ada uang pesangon. Di awal bulan, menghamburkan uang jajan itu enak sekali. Tanpa memikirkan risiko melarat di akhir bulan. Kalau sudah akhir bulan, ujung-ujungnya puasa senin dan kamis. Jika ada teman yang ngajak jajan di tanggal tua, jangan sekali-kali kamu jawab; sorry gue puasa, soalnya dompet gue lagi seret. Jangan begitu. Itu harga diri anak kos!
NanaMahasiswa itu harus serba bisa. Bisa makan di sela-sela mengerjakan tugas, bisa bergosip saat dosen menerangkan materi kuliah, bisa membuka catatan kecil saat UAS atau UTS, bisa presentasi tanpa membuka materi, dan pastinya bisa mendekati dosen agar nilai UAS tak jelek-jelek amat.Sastra Indonesia, bagiku mempelajarinya butuh ketelitan sebab sifatnya dinamis dan ambigu. Dia berjalan seiring perkembangan zaman. Sastra itu pasti identik dengan puisi dan prosa. Puisi dibagi dua, puisi lama dan puisi baru atau modern. Pun dengan prosa. Ada prosa lama dan prosa modern. Satu lagi yang terlewat adalah drama.Di semester 6 kali ini, ada mata kuliah sanggar sastra. Dosen memerintahkan untuk mementaskan sebuah drama sebagai tugas kelompok. Dalam satu kelas dibagi ke dalam lima kelompok. Tema cerita bebas asal tidak diadaptasi dari cerita dongeng atau novel yang sudah ada. Tenggat waktu yang diberikan unt
Galih Lo tahu efek negatif dari patah hati yang berkepanjangan? Malas mencari pasangan lagi. Itu salah satu yang gue alami setelah tiga tahun yang lalu gue mengalami patah hati super dahsyat di saat gue ingin serius sama wanita yang gue cintai. Tapi lagi-lagi kenyataan itu buat gue sadar, kalau cinta memang bulshit! Gue tidak akan percaya lagi dengan satu kata yang diagung-agungkan manusia itu. Tiga tahun ternyata tidak mampu menyembuhkan sakit hati dalam diri gue. Bahkan tidak mampu mengeluarkan dia dari dalam hati gue. Apalagi kehidupan gue masih direcoki wanita yang membuat hati gue hancur sehancur-hancurnya. Gue pernah hampir menikah. Tanggal dan waktu sudah ditetapkan. Pernikahan itu gagal karena calon istri gue hamil anak mantan pacarnya sendiri. Mantan yang membuatnya gagal move on. Sampai cara licik pun mereka tempuh. Gue juga pernah berekspektasi tinggi, sampai memikirkannya pun merinding. G
NanaSaat mentari berada tepat di atas kepala, aku baru pulang dari rumah Aron dengan menggunakan jasa ojek online.Di hari libur, kosan sepi. Penghuninya seperti keluar dari penjara. Mereka refreshing dari padatnya aktivitas kuliah. Sementara aku kebalikannya, stay di kosan dan memilih jalan-jalan sehabis kuliah jika tidak ada tugas.Saat hendak membuka pintu, ponselku berdering. Aku mengecek ponsel terlebih dahulu, siapa tahu itu penting. Ah, rupanya dari Ibu.“Assalamualaikum, Na.”“Waalaikumsalam, Bu.” Aku mengapit ponsel di antara telinga dan pundak, kemudian membuka pintu kosan. Melanjutkan sambungan telepon sambil rebahan di atas kasur.“Kamu sehat kan, Nduk?” Sebagai anak tunggal dari pasangan Kamal Pahlevi dan Mulyani, acap kali Ibu meneleponku untuk sekadar bertanya apa yang sedang aku lakukan. Dulu waktu aku memutuska
NanaSebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk mel
NanaApa yang menjadi definisiku tentang dokter selama ini? Iya, seorang yang mengabdi untuk kesehatan manusia, seseorang yang ramah dan sabar menghadapi berbagai karakter pasien. Yang tidak mudah terpancing emosi, dan menurutku setiap dokter itu karismatik.“Lo kenapa diem aja dari tadi?” Rani menyenggol lenganku.Lamunanku buyar sejak melihat kejadian dokter yang memarahi koasnya tadi.“Ran, lo inget dokter yang lo bilang horor tadi?” tanyaku.“Inget. Lumayan cakep, Na. Eh, bukan lumayan sih, tapi beneran cakep. Kenapa emang?”Aku akui, dokter Galih itu tampan. Sayang, ia memberikan kesan buruk di awal pertemuan kami.“Gue pernah ketemu sama dia di taman. Dia sama anaknya waktu itu.”Aku dan Rani duduk di kursi tunggu ruang inap ibunya Beni. Rani bahkan menahan diri untuk langsung masuk ke dalam, demi mendengar ceritaku.“Oh, dia sudah menikah. Teru