Nana
Kurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.
Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.
Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.
Kembali ke topik awal dan lupakan soal dosen muda, jodoh impianku bukan dosen tapi dokter.
Naskah drama untuk tugas sanggar sastra sudah tergarap. Aron yang membuatnya, dan anggota kelompok lain yang merevisi. Masing-masing anggota sudah menerima mandat memerankan lakon dalam drama nanti.
Sebagaimana konsep awal, naskah drama (Bukan) Preman Pensiun ini mengambil background zaman dulu dengan sentuhan budaya Sunda. Karena Aron ada keturunan Arab-Depok. Menurut Aron, bahasa Sunda itu menarik, punya daya tarik tersendiri. Lalu bagaimana denganku yang terkadang bicara bahasa gaul khas orang Jakarta pun masih medok. Kalau aku bicara bahasa Sunda, apa yang terjadi? Bisa-bisa penonton yang hadir bukan hanyut ke dalam alur cerita, tetapi fokus untuk mendengarkan suaraku ketika berdialog. Apalah daya, kacung sepertiku harap maklum. Hanya bisa mentaati perintah ketua kelompok.
Ini pertama kali kelompokku berlatih setelah Aron memberikan waktu satu hari untuk proses kami reading naskah. Tujuannya, agar setiap anggota mendalami karakter masing-masing. Bertempat di rumah Aron. Semua anggota kelompok hadir, ada Aron, Bowo, Wawan, Maria, Anjani, Agnes, Anto, dan aku. Kami mulai mempraktikkan drama yang berjudul (Bukan) Preman Pensiun.
“Aisyah dirundung kesedihan setelah mengetahui cintanya pada Sabrang tidak berbalas. Aisyah termenung di atas batu besar yang berada di antara arus sungai yang cukup tenang. Tak sangka, Sabrang memilih wanita lain untuk menjadi kekasihnya. Padahal sejak dulu ia mencintai Sabrang, tapi tak pernah berbalas.”
Begitu gambaran latar yang dibacakan oleh Anto.
“Na, fokus ya!” Aron mengingatkan.
Aku mengangguk saja. Kemudian duduk di sofa, seolah-olah itu adalah sebuah batu besar.
“A Sabrang, kenapa atuh Aa mengkhianati Isah? Isah teh nyaah ka Aa. Isah teh bokoh ka Aa.”[1]
“Bogoh, Na. Bukan bokoh,” koreksi Aron selayaknya sutradara.
“Iya bokoh.”
Please, aku sulit mengucapkan huruf G jika itu di tengah atau di akhir kata.
“Bogoh!”
Dasar Unta Arab main ngegas terus dari tadi.
Sabar, Na. Orang sabar jodohnya gampang.
“Oke, sorry.” Akhirnya aku yang mengalah.
“Ya udah mulai lagi dari dialog tadi,” perintah Aron seraya kembali duduk.
Aku mengangguk. Menarik napas sejenak sebelum berakting lagi.
“A Sabrang, kenapa atuh Aa mengkhianati Isah? Isah teh nyaah ka Aa. Isah teh bogoh ka Aa.”
Peranku di sini menjadi gadis lemah lembut.
“Euleuh-euleuh naha Neng Geulis teh ngalamun wae jiga kitu? Banyak pikirannya, Neng?”[2]
Bowo datang menghampiriku. Dalam cerita, Bowo ini anak juragan kambing yang mencintai Aisyah, namun tidak ia hiraukan.
“Neng, mau cerita sama Akang? Akang teh siap dengerin.”
“Cut!”
Astaga kenapa lagi sih ini Onta?
“Masa kalian dialog pake bahasa Sunda berlogat Jawa?” Aron berkacak pinggang.
“Kan gue bilang, gue kalo ngomong kadang suka medok.” Aku tidak ingin mengalah dalam argumentasi sekarang.
“Makanya tiap hari coba belajar diilangin, Na.” Kali ini Anjani yang angkat suara.
Gue rebus juga muka lo bareng sayur lodeh!
“Namanya dialek itu nggak bisa dihilangin, Jan. Apalagi orang Jawa. Butuh waktu beradaptasi. Gue baru mau tiga tahun di Jakarta wajar kalo dialek gue masih suka kebawa,” sahutku berapi-api.
“Tapi berusaha dong, Na. Demi kelancaran drama kita,” timpal Anjani lagi.
“Enteng banget lo bicara. Coba lo tinggal di kota gue, abis itu lo hijrah ke Arab, gue pengin tahu dialek lo masih kebawa atau nggak?”
“Heh, sudahlah. Jangan kau ribut-ribut terus. Kalau menurutku setiap daerah itu memiliki dialek masing-masing. Aku pun sama. Sudah, nggak baik berantem sama temen. Makan dulu sana.” Maria yang sejak tadi diam akhirnya bersuara dengan logat Papua yang kental. Di saat yang lain berdebat, Maria dan Wawan malah asyik menyantap semangkuk bakso yang baru mereka beli dari pedagang bakso yang biasa lewat di depan rumah Aron.
“Ya udah, sebisa lo berdua aja. Kita lanjut,” putus Aron.
Dari tadi kek! Mungkin gue nggak harus naik pitam karena nanggapi ocehan Anjani.
“Aa Sabrang mau melamar wanita lain, Kang. Namanya Jamilah, gadis dari kota,” ujarku kembali menjadi sosok Aisyah yang tersakiti.
“Sudah, Neng. Jangan pikirin si Preman Belekok itu. Mending Neng sama Akang aja, Akang jamin bahagia dunia akhirat.” Saat aku berusaha mendalami karakter Aisyah, aku terkesiap saat Bowo merangkul pinggangku dengan erat. Tanpa pikir panjang aku langsung memukul lengannya kencang hingga ia menjerit kaget dan melepas rangkulannya.
“Kenapa dipukul, Na?” Bowo melayangkan protes.
“Ngapain lo rangkul-rangkul pinggang gue?” sungutku. Serius, aku tidak suka ada orang yang asal menyentuh area badanku sekalipun itu teman sendiri.
“Kan akting, Na. Harus profesional.”
Bagus. Bersembunyi di balik kata akting. Is not good, Prabowo Sugiharto.
“Di naskah yang Aron bikin itu lo ngerangkul pundak gue, bukan pinggang gue.” Aku mengingatkan.
“Improvisasi, Na. Biar kesannya lebih romantis.” Bowo menyeringai.
“Romantis gundulmu!” Aku menjitak kepalanya. “Ogah gue. Asal lo tahu baju ini masih perawan, belum pernah disentuh cowok!” sewotku mulai kembali naik pitam.
“Mana ada baju perawan?” Bukan hanya Bowo yang tertawa tapi teman-temanku yang lain juga tertawa.
Aku mendengkus tak suka. “Adalah. Gue belinya dua hari yang lalu pas pulang dari rumah sakit, jadi masih perawan.”
“Abis ngapain lo ke rumah sakit?” tanya Bowo seraya bersandar di sofa.
“Jenguk Ibunya cowok Rani yang sakit asma.”
Oh, aku baru sadar jika aku belum sama sekali mendengarkan rekaman hasil wawancara pun belum sama sekali, aku hanya membaca biodatanya saja.
“Oh, kirain mau ngobati sifat cerewet lo!” celetuk Bowo.
Aku tidak terima dipanggil cerewet.
“Sialan lo IPK!” balasku, membuatnya mengernyit.
“IPK apa, Na?”
“Insinyur Penjahat Kelamin.”
“Uhuk.” Suara orang tersedak itu mengalihkan perhatianku, Wawan yang sejak tadi asik memakan bakso sampai tersedak, parahnya lagi satu butir bakso kecil keluar dari mulutnya dan memantul ke wajah Aron.
Sontak saja satu ruangan dipenuhi gelak tawa atas penderitaan yang baru dialami Aron.
“Astaga, ngakak!” seru Agnes terpingkal-pingkal.
“Anjir, jijik. Please, kasih gue air putih buat bersihin muka gue yang kena pantulan bakso.”
Di tengah emosiku, ternyata ada saja yang akhirnya membuatku tertawa lagi. Wajah bersalah Wawan dan wajah jijik dari Aron benar-benar membuat perut kram akibat tertawa.
Lima belas menit pasca insiden tak mengenakkan bagi Aron, tapi hiburan bagiku dan yang lain, latihan drama kembali dilanjutkan. Hari pertama latihan cukup untuk pengenalan para tokoh dan alur cerita saja.
Selepas latihan drama, aku menyusul Rani yang katanya sedang mengerjakan tugas laporan Perkembangan karya sastra dari zaman Balai Pustaka sampai zaman Reformasi di kafe dengan memanfaatkan akses wi-fi. Yah, mahasiswa dan khususnya anak kos memang sangat butuh sesuatu yang bersifat gratis. Termasuk mencari Kafe yang menawarkan akses wi-fi gratis.
“Lama amat, Na!” protes Rani saat aku sampai dan duduk di hadapannya yang sedang fokus menekuri laptop.
“Iya biasalah banyak mulut. Udah dapet materi yang jadi acuan lo buat laporan?” tanyaku.
“Ada beberapa sih, tapi kan lo tahu kalau gak boleh copy paste dari internet. Harus menggunakan bahasa sendiri. Mestinya yang jadi acuan kita itu buku, Na. Gimana kalau kita ke Gramed?”
“Nah, iya emang lebih akurat kalau dari buku. Sumbernya udah pasti terpercaya. Oke, nanti kita ke Gramed. Tapi gue pesen minum dulu ya, haus banget.”
“Oke.”
Aku melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Salah satu dari mereka menghampiriku seraya memberikan buku menu.
Aku membuka lembar demi lembar buku menu. Membaca sejenak varian makanan dan minuman yang disuguhkan. “Saya mau green tea, tapi yang dingin ya. Terus sama french fries.”
“Baik, Mbak. Mohon ditunggu sebentar.” Pelayan itu mengangguk sopan, ia mengambil buku menu dari tanganku sebelum berlalu.
“Ran, harganya cukup terjangkau juga,” ujarku setelah membaca harga yang ada di buku menu tadi.
“Memang. Makanya gue sama Beni suka di sini. Udah wi-fi gretongan, biaya makan dan minum juga pas buat dompet mahasiswa,” bisik Rani seolah tidak ingin ada yang mendengar kejujurannya. “Pemilik Kafe ini juga baik, Na. Kadang langsung melayani pelanggan dengan ramah.”
“Bagus dong itu salah satu trik marketing mereka,” balasku. Seorang wirausaha memang harus memiliki keahlian marketing yang baik untuk menambah keuntungan produksi.
“Silakan dinikmati pesanannya.”
Seorang wanita cantik dengan senyum manis nan merekah mengantarkan pesananku. Aku sampai tak berkedip, terpesona melihat kecantikan wanita yang kurasa usianya di atas usiaku ini.
“Makasih, Mbak,” jawabku tersenyum canggung.
Wanita itu mengangguk disertai senyuman yang tidak luntur dari bibirnya.
“Nah, itu pemilik kafe ini, Na!” seru Rani saat wanita itu sudah kembali ke belakang.
Mataku membulat sempurna. “Cantik banget, pantes aja kafenya ramai terus.”
“Hussh, dia udah nikah kali. Suaminya pilot, anaknya udah dua,” kekeh Rani. “Tapi kayak awet muda mukanya.”
Aku mengangguk setuju.
“Lo tahu dari mana?”
“I*******m,” jawabnya. Pantas saja. Informasi zaman sekarang akan mudah di dapat dari media sosial pribadi.
“Nama I*-nya apa, Ran?” tanyaku penasaran.
“@rrainaryderr.”
[1] Dibaca: Isah sayang sama Abang. Isah teh cinta sama Abang. Harusnya bogoh ya bukan bokoh. Itu karena Nana bukan orang sunda ceritanya, jadi kesulitan.
[2] Kenapa Neng Cantik melamun aja kayak gitu?
NanaAku berselancar ke instagram. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mba
Nana Sejujurnya aku tidak pernah membayangkan ada di posisi ini. Canggung sekali. Bayangkan satu mobil dengan lelaki yang baru dikenal. Lelaki yang pernah aku cap galak, karena memang galak. Rasanya tidak keruan. Sejak tadi aku mengatupkan bibir, ingin memulai obrolan pun malu. Dokter Galih sebenarnya tidak memaksa untuk ikut bersama mobilnya. Hanya saja aku tidak enak menolak ajakannya, biarlah toh hanya sekali ini saja aku bertemu dengannya. Ekor mataku melirik dokter Galih yang fokus mengemudi. “Rumah kamu daerah mana?” Ah, akhirnya dia memancing obrolan. “Di Solo, Dok.” Kudengar kekehan geli darinya. Aku bertanya-tanya dalam hati, jawabanku tidak salah, bukan? “Bisa aja bercandanya,” katanya. “Rumah saya emang di Solo, Dok. Saya ngekos di Jakarta.” Aku berusaha menjelaskan. “Oh, kamu merantau?” tanyanya mengerti. “Iya.” “Saya kira asli Jakarta. Pantesan dialek Jawany
NanaBerita tentang Ayah menjadi pukulan terberat untukku. Pikiranku selalu ingin pulang, buyar, dan tidak fokus. Bahkan saat latihan drama sepulang kuliah pun, Aron dan pemain lain beberapa kali menegurku yang sering salah berdialog dan banyak melamun.Selepas berlatih drama, aku mengutarakan alasan mengapa aku tidak fokus hari ini. Aku juga meminta izin pada Aron untuk pulang lebih dulu karena ingin menemui dokter Galih dan berkonsultasi tentang penyakit Ayah.Aron masih berdiam diri, antara ingin mengizinkanku pergi atau tidak. Sementara anggota kelompok yang lain juga sama sekali tidak membantu, hanya saja berdera perang mulai berkibar saat Anjani dengan lantang berasumsi.“Lo nggak bisa main izin aja, Na. Waktu kita nggak banyak. Kita harus benar-benar mateng kalau nggak, semuanya hancur,” katanya seakan tidak memiliki hati nurani.Aku berusaha tidak terpancing. Anjani memang egois. Tidak mementingkan perasaan oran
NanaDokter Galih mengajakku bertemu di acara car free day Bundaran Hotel Indonesia. Aku terduduk lemas di trotoar jalan setelah jogging di sekitar bundaran HI, napasku memburu, dan kakiku berselonjor untuk menghindari kram. Kelelahanku sepertinya menjadi hiburan bagi dokter Galih. Ia duduk di sebelahku sambil terkekeh. Tak lupa kedua kakinya yang ikut berselonjor.“Kelihatan nggak pernah olahraga,” katanya.Aku menggeleng sambil meneguk air putih dalam botol. Kemudian menyanggah pendapatnya. “Saya biasa jogging tiap minggu sore”“Olahraga itu perlu, minimal seminggu sekali untuk menjaga kebugaran tubuh.”Sepertinya jika setiap hari aku bertemu dengannya, setiap hari pula aku akan mendapatkan seminar gratis tentang kesehatan.“Kalau weekend gini saya biasa tidur sampe sore, abis itu bangun buat jogging.”“J
NanaHidup itu terkadang penuh kejutan. Dalam seminggu terakhir ini, kejutan bertubi-tubi datang menghampiri. Di awali dari imajinasiku yaitu merancang sebuah cerita pendek tentang impianku yang ingin memiliki jodoh dokter. Selanjutnya, pertemuanku dengan dokter Galih di taman itu merupakan awal dari segala kejutan terjadi. Tentang imajinasiku yang nyaris patah tentang dokter, tentang penyakit ayah, yang pada akhirnya membawaku berada dalam satu dimensi waktu kembali dengan dokter Galih.Soal nazarku tempo hari, bukankah dokter Galih tidak seperti dokter Nando diceritaku? Aku tidak harus mengejarnya, kan? Toh, bertemunya aku dengannya hari ini bukan karena bermaksud flirting, tapi karena memang ada yang ingin aku tanyakan.Pukul dua belas siang, kami sepakat untuk pulang. Aku kira sewaktu pulang dari bioskop itu akan menjadi yang pertama dan ter
GalihGue tahu jika jodoh itu ada di tangan Tuhan. Tapi cara takdir bermain dalam kehidupan gue itu sadis, sampai gue tidak bisa berkutik sedikit pun. Kadang gue menertawakan takdir kejam itu, takdir soal asmara di hidup gue tentu saja. Apa ini karma?Sebab, sebelum gue memutuskan serius mengejar satu wanita, gue tidak pernah serius. Gue hobi hura-hura sama wanita. Menganggap mereka boneka yang gue buang begitu saja setelah gue mainkan. Tapi justru pada akhirnya gue yang dimainkan oleh wanita.Apa itu definisi bahwa sebagai laki-laki gue ini goblok?Gue tahu apa yang gue lakukan saat ini berisiko. Tetap berada di jalur yang sama dengan masa lalu. Gue tidak beranjak, masa lalu gue masih berkeliaran di hidup gue. Jujur, ucapan Raina soal anaknya selalu terngiang di telinga gue.“Aku berharap kamu tetap kayak gini sama Naka. Kamu boleh benci sama aku & Raka. Tapi, tolong. Jangan libatkan Naka dalam masa
NanaKatanya sebuah impian itu harus diwujudkan kalau itu bukan sesuatu yang mustahil. Tapi impianku ini menurutku sedikit konyol. Bahkan tidak pantas disebut impian, tapi obsesi. Obsesiku tentang jodoh dokter bahkan sudah kuumbar-umbar pada kedua orang tuaku. Mereka sangat tahu kalau aku terobsesi oleh lelaki yang berprofesi dokter.Di sebelahku sekarang, ada seorang dokter laki-laki yang jelas-jelas masih single. Secara fisik sudah pasti dapat poin sembilan. Dari segi sikap dan sifat, aku merasa dokter Galih sudah mulai asyik dalam setiap sesi obrolan kami.Bisakah aku mengatakan bahwa ini konspirasi alam semesta? Di saat aku mulai menyerah dengan obsesiku dan memilih menikmati kehidupanku, Tuhan mempertemukanku dengan dokter Galih. Tapi, masa iya aku harus jatuh cinta sama dia?Dia sudah tiga puluh tahun. Itu artinya dia sudah kelewat matang. Sementara aku ingin memiliki pasangan yang usianya hanya terpaut
Nana Sebagai anak kos yang mesti bangun pagi, hampir setiap hari aku dan Rani sarapan bubur yang ada di dekat kampus. Meskipun sarapan sama bubur ayam itu cepat lapar, minimal bisa mengganjal perut sampai pergantian jam mata kuliah nanti. “Udah sampai mana pendekatan lo sama dokter Galih?” Di tengah sarapan, Rani sempat-sempatnya menanyakan hal itu. Berbicara tentang dokter Galih, kejadian kemarin tidak bisa aku abaikan begitu saja. Cara dia bercanda itu berlebihan. Apa dia selalu begitu kepada setiap wanita yang dekat dengannya? Kasihan mereka pasti berpikir dokter Galih memberi harapan palsu. Sementara bagiku, aku nyaris termakan sama omongannya. Tapi kembali lagi ke realita, rasanya sulit mempercayai jika dokter Galih serius apalagi kita baru saling mengenal dan dia sendiri yang mengatakan bahwa ucapannya yang seperti melamarku itu hanya sebuah candaan belaka. “Jangan bikin gosip, Ran. Gue nggak pernah PDKT s