Share

Bab 7

Nana

Kurang baik apa aku sebagai mahasiswa? Meski di belakang menggerutu, menjelek-jelekkan dosen, bahkan mungkin sampai membuat telinga dosen itu berdengung, tetap saja aku mengerjakan semua tugasnya. Serumit apa pun tugas itu tetap aku kerjakan dengan maksimal.

Jangan salah paham dulu. Aku lebih sayang sama nilaiku daripada dosenku. Kuberi tahu, dosen di fakultasku tidak ada yang muda. Kebanyakan sastrawan masa lalu yang merangkap jadi dosen. Penampilannya beragam, rata-rata dosen laki-laki itu rambutnya gondrong. Hal yang biasa, karena fakultas sastra Indonesia terkenal unik, seunik dia merangkai kata menjadi kalimat yang indah.

Ada satu dosen yang memang tampan. Sayangnya, itu bukan di Fakultasku, tetapi fakultas ekonomi. Tetapi jangan lupakan realita, dosen muda sudah tak single lagi. Memang, karena dia sudah menikah dan beranak satu. Patah hatilah semua mahasiswa yang mengidolakannya.

Kembali ke topik awal dan lupakan soal dosen muda, jodoh impianku bukan dosen tapi dokter.

Naskah drama untuk tugas sanggar sastra sudah tergarap. Aron yang membuatnya, dan anggota kelompok lain yang merevisi. Masing-masing anggota sudah menerima mandat memerankan lakon dalam drama nanti.

Sebagaimana konsep awal, naskah drama (Bukan) Preman Pensiun ini mengambil background zaman dulu dengan sentuhan budaya Sunda. Karena Aron ada keturunan Arab-Depok. Menurut Aron, bahasa Sunda itu menarik, punya daya tarik tersendiri. Lalu bagaimana denganku yang terkadang bicara bahasa gaul khas orang Jakarta pun masih medok. Kalau aku bicara bahasa Sunda, apa yang terjadi? Bisa-bisa penonton yang hadir bukan hanyut ke dalam alur cerita, tetapi fokus untuk mendengarkan suaraku ketika berdialog. Apalah daya, kacung sepertiku harap maklum. Hanya bisa mentaati perintah ketua kelompok.

Ini pertama kali kelompokku berlatih setelah Aron memberikan waktu satu hari untuk proses kami reading naskah. Tujuannya, agar setiap anggota mendalami karakter masing-masing. Bertempat di rumah Aron. Semua anggota kelompok hadir, ada Aron, Bowo, Wawan, Maria, Anjani, Agnes, Anto, dan aku. Kami mulai mempraktikkan drama yang berjudul (Bukan) Preman Pensiun.

“Aisyah dirundung kesedihan setelah mengetahui cintanya pada Sabrang tidak berbalas. Aisyah termenung di atas batu besar yang berada di antara arus sungai yang cukup tenang. Tak sangka, Sabrang memilih wanita lain untuk menjadi kekasihnya. Padahal sejak dulu ia mencintai Sabrang, tapi tak pernah berbalas.”

Begitu gambaran latar yang dibacakan oleh Anto.

“Na, fokus ya!” Aron mengingatkan.

Aku mengangguk saja. Kemudian duduk di sofa, seolah-olah itu adalah sebuah batu besar.

“A Sabrang, kenapa atuh Aa mengkhianati Isah? Isah teh nyaah ka Aa. Isah teh bokoh ka Aa.”[1]

“Bogoh, Na. Bukan bokoh,” koreksi Aron selayaknya sutradara.

“Iya bokoh.”

Please, aku sulit mengucapkan huruf G jika itu di tengah atau di akhir kata.

Bogoh!”

Dasar Unta Arab main ngegas terus dari tadi.

Sabar, Na. Orang sabar jodohnya gampang.

 “Oke, sorry.” Akhirnya aku yang mengalah.

“Ya udah mulai lagi dari dialog tadi,” perintah Aron seraya kembali duduk.

Aku mengangguk. Menarik napas sejenak sebelum berakting lagi.

“A Sabrang, kenapa atuh Aa mengkhianati Isah? Isah teh nyaah ka Aa. Isah teh bogoh ka Aa.”

Peranku di sini menjadi gadis lemah lembut.

Euleuh-euleuh naha Neng Geulis teh ngalamun wae jiga kitu? Banyak pikirannya, Neng?”[2]

Bowo datang menghampiriku. Dalam cerita, Bowo ini anak juragan kambing yang mencintai Aisyah, namun tidak ia hiraukan.

“Neng, mau cerita sama Akang? Akang teh siap dengerin.”

Cut!”

Astaga kenapa lagi sih ini Onta?

“Masa kalian dialog pake bahasa Sunda berlogat Jawa?” Aron berkacak pinggang.

“Kan gue bilang, gue kalo ngomong kadang suka medok.” Aku tidak ingin mengalah dalam argumentasi sekarang.

“Makanya tiap hari coba belajar diilangin, Na.” Kali ini Anjani yang angkat suara.

Gue rebus juga muka lo bareng sayur lodeh!

“Namanya dialek itu nggak bisa dihilangin, Jan. Apalagi orang Jawa. Butuh waktu beradaptasi. Gue baru mau tiga tahun di Jakarta wajar kalo dialek gue masih suka kebawa,” sahutku berapi-api.

“Tapi berusaha dong, Na. Demi kelancaran drama kita,” timpal Anjani lagi.

“Enteng banget lo bicara. Coba lo tinggal di kota gue, abis itu lo hijrah ke Arab, gue pengin tahu dialek lo masih kebawa atau nggak?”

“Heh, sudahlah. Jangan kau ribut-ribut terus. Kalau menurutku setiap daerah itu memiliki dialek masing-masing. Aku pun sama. Sudah, nggak baik berantem sama temen. Makan dulu sana.” Maria yang sejak tadi diam akhirnya bersuara dengan logat Papua yang kental. Di saat yang lain berdebat, Maria dan Wawan malah asyik menyantap semangkuk bakso yang baru mereka beli dari pedagang bakso yang biasa lewat di depan rumah Aron.

“Ya udah, sebisa lo berdua aja. Kita lanjut,” putus Aron.

Dari tadi kek! Mungkin gue nggak harus naik pitam karena nanggapi ocehan Anjani.

“Aa Sabrang mau melamar wanita lain, Kang. Namanya Jamilah, gadis dari kota,” ujarku kembali menjadi sosok Aisyah yang tersakiti.

“Sudah, Neng. Jangan pikirin si Preman Belekok itu. Mending Neng sama Akang aja, Akang jamin bahagia dunia akhirat.” Saat aku berusaha mendalami karakter Aisyah, aku terkesiap saat Bowo merangkul pinggangku dengan erat. Tanpa pikir panjang aku langsung memukul lengannya kencang hingga ia menjerit kaget dan melepas rangkulannya.

“Kenapa dipukul, Na?” Bowo melayangkan protes.

“Ngapain lo rangkul-rangkul pinggang gue?” sungutku. Serius, aku tidak suka ada orang yang asal menyentuh area badanku sekalipun itu teman sendiri.

“Kan akting, Na. Harus profesional.”

Bagus. Bersembunyi di balik kata akting. Is not good, Prabowo Sugiharto.

“Di naskah yang Aron bikin itu lo ngerangkul pundak gue, bukan pinggang gue.” Aku mengingatkan.

“Improvisasi, Na. Biar kesannya lebih romantis.” Bowo menyeringai.

“Romantis gundulmu!” Aku menjitak kepalanya. “Ogah gue. Asal lo tahu baju ini masih perawan, belum pernah disentuh cowok!” sewotku mulai kembali naik pitam.

“Mana ada baju perawan?” Bukan hanya Bowo yang tertawa tapi teman-temanku yang lain juga tertawa.

Aku mendengkus tak suka. “Adalah. Gue belinya dua hari yang lalu pas pulang dari rumah sakit, jadi masih perawan.”

“Abis ngapain lo ke rumah sakit?” tanya Bowo seraya bersandar di sofa.

“Jenguk Ibunya cowok Rani yang sakit asma.”

Oh, aku baru sadar jika aku belum sama sekali mendengarkan rekaman hasil wawancara pun belum sama sekali, aku hanya membaca biodatanya saja.

“Oh, kirain mau ngobati sifat cerewet lo!” celetuk Bowo.

Aku tidak terima dipanggil cerewet.

“Sialan lo IPK!” balasku, membuatnya mengernyit.

“IPK apa, Na?”

“Insinyur Penjahat Kelamin.”

“Uhuk.” Suara orang tersedak itu mengalihkan perhatianku, Wawan yang sejak tadi asik memakan bakso sampai tersedak, parahnya lagi satu butir bakso kecil keluar dari mulutnya dan memantul ke wajah Aron.

Sontak saja satu ruangan dipenuhi gelak tawa atas penderitaan yang baru dialami Aron.

“Astaga, ngakak!” seru Agnes terpingkal-pingkal.

“Anjir, jijik. Please, kasih gue air putih buat bersihin muka gue yang kena pantulan bakso.”

Di tengah emosiku, ternyata ada saja yang akhirnya membuatku tertawa lagi. Wajah bersalah Wawan dan wajah jijik dari Aron benar-benar membuat perut kram akibat tertawa.

Lima belas menit pasca insiden tak mengenakkan bagi Aron, tapi hiburan bagiku dan yang lain, latihan drama kembali dilanjutkan. Hari pertama latihan cukup untuk pengenalan para tokoh dan alur cerita saja.

Selepas latihan drama, aku menyusul Rani yang katanya sedang mengerjakan tugas laporan Perkembangan karya sastra dari zaman Balai Pustaka sampai zaman Reformasi di kafe dengan memanfaatkan akses wi-fi. Yah, mahasiswa dan khususnya anak kos memang sangat butuh sesuatu yang bersifat gratis. Termasuk mencari Kafe yang menawarkan akses wi-fi gratis.

“Lama amat, Na!” protes Rani saat aku sampai dan duduk di hadapannya yang sedang fokus menekuri laptop.

“Iya biasalah banyak mulut. Udah dapet materi yang jadi acuan lo buat laporan?” tanyaku.

“Ada beberapa sih, tapi kan lo tahu kalau gak boleh copy paste dari internet. Harus menggunakan bahasa sendiri. Mestinya yang jadi acuan kita itu buku, Na. Gimana kalau kita ke Gramed?”

“Nah, iya emang lebih akurat kalau dari buku. Sumbernya udah pasti terpercaya. Oke, nanti kita ke Gramed. Tapi gue pesen minum dulu ya, haus banget.”

“Oke.”

Aku melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Salah satu dari mereka menghampiriku seraya memberikan buku menu.

Aku membuka lembar demi lembar buku menu. Membaca sejenak varian makanan dan minuman yang disuguhkan. “Saya mau green tea, tapi yang dingin ya. Terus sama french fries.

“Baik, Mbak. Mohon ditunggu sebentar.” Pelayan itu mengangguk sopan, ia mengambil buku menu dari tanganku sebelum berlalu.

“Ran, harganya cukup terjangkau juga,” ujarku setelah membaca harga yang ada di buku menu tadi.

“Memang. Makanya gue sama Beni suka di sini. Udah wi-fi gretongan, biaya makan dan minum juga pas buat dompet mahasiswa,” bisik Rani seolah tidak ingin ada yang mendengar kejujurannya. “Pemilik Kafe ini juga baik, Na. Kadang langsung melayani pelanggan dengan ramah.”

“Bagus dong itu salah satu trik marketing mereka,” balasku. Seorang wirausaha memang harus memiliki keahlian marketing yang baik untuk menambah keuntungan produksi.

“Silakan dinikmati pesanannya.”

Seorang wanita cantik dengan senyum manis nan merekah mengantarkan pesananku. Aku sampai tak berkedip, terpesona melihat kecantikan wanita yang kurasa usianya di atas usiaku ini.

“Makasih, Mbak,” jawabku tersenyum canggung.

Wanita itu mengangguk disertai senyuman yang tidak luntur dari bibirnya.

“Nah, itu pemilik kafe ini, Na!” seru Rani saat wanita itu sudah kembali ke belakang.

Mataku membulat sempurna. “Cantik banget, pantes aja kafenya ramai terus.”

“Hussh, dia udah nikah kali. Suaminya pilot, anaknya udah dua,” kekeh Rani. “Tapi kayak awet muda mukanya.”

Aku mengangguk setuju.

“Lo tahu dari mana?”

“I*******m,” jawabnya. Pantas saja. Informasi zaman sekarang akan mudah di dapat dari media sosial pribadi.

“Nama I*-nya apa, Ran?” tanyaku penasaran.

“@rrainaryderr.”

[1] Dibaca: Isah sayang sama Abang. Isah teh cinta sama Abang. Harusnya bogoh ya bukan bokoh. Itu karena Nana bukan orang sunda ceritanya,  jadi kesulitan.

[2]  Kenapa Neng Cantik melamun aja kayak gitu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status