Share

Bab 5

Nana

Sebagai mahasiswa, haram hukumnya untuk tertindas di kelas. Jangan mau dikucilkan, karena dosen tidak akan mengenal namamu, apalagi alamat rumahmu dan kedua orang tuamu jika kamu tidak memperjuangkannya sendiri. Tunjukkan sepandai apa kamu bisa mengambil hati dosen, sepandai apa kamu bisa membuat dosen selalu mengingat namamu.

Aku tidak cerdas. Tapi aku mampu melakukan apa pun yang harus aku kerjakan. Bertanya di setiap kesempatan setelah dosen menerangkan mata kuliah, itu wajib hukumnya buatku. Karena dari situ, dosen akan mengingat wajahku juga namaku. Pada akhirnya, dosen melihat potensi dalam diriku.

Pintar itu tidak perlu ditunjukan secara berlebihan. Bermainlah dengan cantik, niscaya bukan hanya kepintaran yang kamu dapat, namun juga kecerdasan dalam berpikir logis.

Mantap bukan apa yang barusan aku jabarkan? Tentu, karena itu merupakan kalimat bijak dari Ayah yang dia berikan padaku. Kalimat Ayahlah yang menjadi motivasiku untuk melawan kemalasan yang sering kali menghadang jalanku menuju Roma, maaf, maksudku jalan menuju impianku.

Aku tidak lahir dari keluarga yang bergelimang harta dan tahta. Ayahku seorang PNS, merupakan kepala sekolah SMP Negeri. Ibuku membuka katering makanan yang sudah lumayan dikenal masyarakat di daerahku. Itu juga sebagai salah satu motivasi untukku, bahwa Naditya Pramesti bisa lebih sukses dari Ayah dan Ibu.

“Ran?” Aku menegur Rani yang fokus membaca cerpenku.

Ia hanya menjawab dengan gumaman kecil.

“Ini gue nazar ya, lo yang jadi saksinya. Kalau ada dokter yang karakternya sama kayak di cerpen gue, bakalan gue kejar itu dokter. Nggak peduli gue cewek sekali pun. Ya gila aja gitu, kalau ngelepasin kesempatan dapetin dokter.”

Rani mengangkat wajahnya. Iris matanya menatapku disertai kerutan di dahinya. “Oke, oke. Terus kalau misalnya nih emang beneran ada, tapi dokter itu pindah ke Afrika Selatan, gimana tuh?”

“Ya, ya bakalan gue kejar juga, tapi...” Aku sengaja menggantungkan kalimatku sampai Rani benar-benar penasaran.

“Tapi apa?” Dia bertanya dengan nada tidak sabaran.

Aku melontarkan senyum padanya. “Gue bakal kejar kalau ada modalnya.”

Tawa lantang dari Rani mengudara memenuhi satu ruangan kamar kosku. “Ngamen dulu di stasiun sana.”

“Anti ngamen-ngamen klub,” sahutku.

“Bentar gue lanjutin baca dulu,” ujarnya setelah berhasil menghentikan tawanya.

Aku mengangguk, membiarkan Rani hanyut ke dalam imajinasinya. Sementara aku mencoba memejamkan mata karena ngantuk.

“Ah, sumpah sumpah!!! Ini kenapa lo bisa sekeren ini bikin cerpen sih?”

Rani menjerit, sontak membuatku terkejut dan menutup kedua telinga. Karena posisi Rani kini duduk bersila di depanku sambil memangku laptop.

Aku tersipu malu, entah kenapa setiap Rani membaca cerpenku selalu timbul rasa kurang percaya diri dengan kemampuan diri sendiri. “Ah, lebay lu!” Aku mendorong lengannya pelan.

“Ini serius, Na. Gue baper sama sosok dokter Nando di cerpen lo. Masya Allah suamiable banget. Kalau gini caranya gue juga mau rebutan dapetin dokter macam ini sama lo,” cerocosnya menggebu-gebu.

“Eh, nggak usah ngaco lo. Nggak ada ya acara ikut-ikutan!” Aku memelototinya.

“Ngapa, sih? Ya biarin aja kali kita bersaing sehat.” Rani menyeringai lebar.

“Ogah ya, gue udah nazar duluan.”

“Iya deh gue ngalah. Gue mau sama dosen yang ada di cerpen lu minggu kemarin aja.”

“Sayangnya nggak ada dosen macam Pak Aldo di kampus kita,” sahutku.

“Ah, iya.” Rani cemberut. “Tapi sumpah kata-kata dokter Nando yang ini nih yang bikin gue lemes. Aku bisa mencegah penyakit dengan cara memberikan tips bagaimana cara hidup sehat pada orang lain, tapi aku nggak bisa mencegah hati aku buat nggak cinta sama kamu. Baper banget!”

Perasaan bahagia semakin membuncah. Istilahnya seperti ini, ketika apa yang lo kerjakan itu diapresiasi sama orang lain apalagi keluarga dan temen lo sendiri, lo pasti akan speechless. Terharu dan bahagia sulit buat diungkapin. Dan itu terjadi padaku saat ini.

“Ah, idung gue hampir terbang nih kalau lo puji-puji terus.”

Rani menutup laptopku kembali setelah selesai membaca, lalu ikut barbaring lagi di sebelahku. Kami berdua sama-sama menatap langit kamar, aku memeluk guling sementara Rani memeluk boneka teddy bear yang cukup besar.

“Ajarin gue dong, Na, biar bisa bikin cerita sebaper ini.”

Nah, aku sendiri bingung bagaimana menjawab pertanyaan semacam ini. Karena bagiku, nulis itu timbul dari alam bawah sadar yang kerap kali meminta kita berimajinasi lebih padat dari seseorang.

“Terus belajar nulis, Ran, sambil baca-baca buku baik itu non-fiksi ataupun fiksi, biar kosa kata lo terasah dan imajinasi lo pun bakal lebih banyak,” jawabku seadanya.

“Gue kaku kalau nulis,” timpalnya.

“Emang kaku awalnya. Gue pas lihat tulisan gue yang pertama. Ketawa sendiri saking gelinya sama itu tulisan.”

Asli! Aku tertawa sewaktu membaca buku diary zaman sekolah dasar dengan tulisan ceker ayam dan diksi yang lebay.

“Sip deh gue coba nanti, siapa tahu gue bisa nyiptain karakter yang bisa jadi jodoh gue di dunia nyata.”

Mau tak mau aku tertawa. Siapa yang tidak mau berjodoh jika pria itu seperti tokoh fiksi cowok dalam sebuah cerita yang sempurna baik fisik maupun sifat? Aku menengok ke arah Rani, melihat garis wajahnya dari samping. Rani ini memiliki wajah yang oriental dan cantik. “Yang namanya mengejar cita-cita itu gak kenal kata kadaluarsa. Mau umur lo udah tua, tubuh lo udah reyot tapi impian lo masih ada yang belum tercapai, ya kejarlah.”

Rani balas menoleh ke arahku, alisnya bertahut namun bibirnya melengkungkan senyum. “Kok otak lo bisa bijak sih, Na? Biasanya sableng.”

Tawaku cukup keras karena pertanyaan Rani yang 99,9% benar itu. Otakku kadang sesableng itu.

“Otak gue bijak kalo isi dompet gue penuh. Kalau otak gue sableng itu artinya isi dompet gue limit.”

Rani menoyor kepalaku tanpa belas kasihan. “Bilang aja butuh dana tanggal tua lu! Tanggal tua si merah dalam dompet langka ya.”

“Bukan langka lagi tapi gak ada, paling banter ada si biru satu lembar.” Ini bagian dari curhatan anak kosan.

“Ngenes banget ya ampun!” Rani tertawa.

“Eh, sesama orang ngenes nggak usah saling mengejek,” ketusku. Kemudian kami berdua tertawa. Iya, bahagia itu sederhana jika kita menikmati hidup.

“Sore ini anterin gue jenguk nyokap Beni di rumah sakit ya, Na?”

“Ibunya Beni sakit?”

For your information, Beni ini adalah pacar Rani. Mereka sudah jalan dua tahun. Beni juga mahasiswa, ia fakultas seni rupa di Universitas yang sama denganku dan Rani.

“Iya, kemarin asmanya kumat. Rawat inap dua hari katanya,” jawab Rani.

“Oalah... Lo kenapa nggak minta Beni jemput aja?”

“Nggak mau ngerepotin gue tuh. Lagian dia lagi jaga nyokapnya. Biar gue naik transjakarta aja.” Lalu raut wajahnya berubah menjadi memelas. Jemarinya mencengkeram lenganku lalu mengguncang-guncangnya. “Anter ya, Na. Bayar TJ pake kartu gue deh. Terus gue jajanin lo kalau laper.”

Tawaran yang sangat menggiurkan, rezeki sudah pasti jangan ditolak. Secepat kilat, wajahku berubah secerah mentari. “Oke sip. Tapi gue tidur dulu sekarang. Ngantuk banget.”

Rani bangkit dan duduk bersila. “Sip. Ntar gue ke sini lagi jam tiga. Gue pinjem dulu catatan lo. By the way, lo nggak jadi nyari makan?”

Aku menggeleng. “Tidur aja.”

“Gue balik ke kamar deh kalau gitu,” katanya seraya turun dari kasur, mengambil buku catatanku kemudian pergi dari kamar kosku.

Jam tiga sore, kami berdua menuju rumah sakit tempat ibunya Beni dirawat dengan menggunakan transjakarta. Salah satu transportasi umum yang aku sukai karena ongkosnya yang terjangkau.

“Kamarnya di mana?”

“Di lantai tiga katanya, kita naik lift, Na.”

Aku mengikuti langkah Rani untuk mencari lift. Di dalam lift, aku kembali bersama khayalanku. Berharap, sosok dokter dalam cerpenku benar-benar nyata dan mungkin saja aku temukan di rumah sakit ini.

Tepat saat keluar dari lift, aku mendengar keributan. Suara itu berasal dari sebelah kanan tempatku berdiri, bola mataku sontak menengok ke arah tersebut. Kulihat beberapa orang berdiri di sekitar nurse station.

“KENAPA KAMU CEROBOH SEKALI?”

Suara bariton itu memekakkan telingaku. Langkahku dan Rani terhenti begitu saja. Kami saling pandang, belum mengerti akan situasi yang terjadi. Tetapi yang kulihat, dua orang dokter laki-laki berdiri saling berhadapan.

“Saya kan sudah bilang, jangan melakukan apa pun sebelum saya perintahkan!!!”

Lagi, sosok dokter yang berdiri membelakangiku itu membentak dokter muda di depannya. Sumpah! Ini bulu kuduk merinding mendengar nada suaranya tadi. Adegan ini pun menjadi tontonan gratis beberapa orang yang lewat di lantai ini.

“Dok...”

“Kerja itu pake otak! Baru koas aja kerjamu sudah teledor seperti ini. Gimana kalau udah resmi jadi dokter? Apa yang akan kamu lakukan hanya akan menghilangkan nyawa orang lain saja?”

Astaga, kenapa kata-katanya menyayat hati. Seperti merendahkan orang lain. Jika aku menjadi koas itu, sudah pasti aku akan melawan jika dipandang sebelah mata seperti tadi. Mentang-mentang sudah menjadi dokter, jadi sombong. Amit-amit kalau sampai jodohku dokter kejam seperti dokter yang berdiri membelakangiku.

“Maaf, Dokter. Lain kali saya akan lebih teliti lagi,” kata koas itu seraya menundukan kepalanya hormat.

Ck, orang kejam seperti itu tidak patut dihormati.

“Kali ini saya maafkan.” Lalu sang dokter berbalik badan, saat itu pula aku menahan napasku.

Damn! Si Om?

Jadi, dokter yang marah-marah tadi itu si Om yang aku temui di taman hari sabtu kemarin?

Aku menelan saliva, kemudian menundukkan kepala. Berharap si Om tidak mengenali siapa diriku. Aku melihat langkah kakinya yang begitu lebar melewati garis lantai tempatku berdiri. Akhirnya, aku bisa bernapas dengan lega.

“Horor ya tuh dokter,” bisik Rani.

Sumpah, ini kenapa tubuhku gemetar begini?

“Udah yuk, lanjutin lagi jalannya.”

Aku hanya menggangguk, terlalu shock dengan fakta yang baru aku ketahui.

“Na, ayo!”

Teguran itu membuatku terkesiap, aku menaikkan pandangan. Ternyata Rani sudah melangkah satu meter di depanku, aku segera mengejarnya sambil menengok ke arah belakang. Si Om sudah tidak terjangkau retinaku.

“Sabar, Ga. Dokter Galih kalau marah emang nyeremin.” Salah satu perawat tampak sedang menenangkan koas yang kena marah si Om, ah ralat, ternyata namanya itu...

Dokter Galih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status