Jemari Saira masih menggenggam gagang pintu. Tubuhnya mulai menggigil saat angin malam menerpa sisi tubuhnya yang basah, meski tadi sudah dipayungi oleh Anggara.Ia tahu pasti—suaminya melihat dengan jelas siapa yang mengantarnya pulang. Bahkan mungkin, Cakra juga mendengar semua percakapan mereka tadi di depan rumah.Namun, pria itu tidak langsung berbicara. Matanya menatap lurus ke arah Saira. Ia berdiri tegak di ruang tamu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana panjang hitam. Ekspresinya datar, tetapi sorot matanya menyala, ada amarah yang membara di sana.Dia sedang marah?Entah.Akan tetapi Saira tahu betul, suasana hati Cakra akan selalu memburuk jika sudah menyangkut Anggara. Ia menelan ludah, mencoba terlihat tenang, meski kedua lututnya mulai terasa lemas tak bertulang.Dia bahkan belum menyiapkan mentalnya … setelah apa yang terjadi dengan mereka kemarin.“Kamu tahu sekarang jam berapa?” Akhirnya suara berat itu bertanya. Cakra masih setia berdiri di posisinya, memperhatika
Langit menggelap lebih cepat dari biasanya. Hujan turun deras, membasahi jalanan depan lobi kampus yang mulai sepi. Kilat menyambar sesekali, disusul petir yang menggema hingga ke dada.Saira berdiri di bawah kanopi lobby, memeluk tasnya dengan kedua tangan. Taksi yang ia pesan belum juga datang, terjebak macet entah di mana.Pikirannya melayang. Andaikan ia memiliki suami yang benar-benar mencintainya, mungkin di tengah badai seperti ini, ia tak perlu khawatir bagaimana caranya pulang.Sayangnya … itu hanyalah sebuah angan yang mungkin tak akan pernah terwujudkan.Mana bisa Cakra peduli padanya?Tiba-tiba, suara langkah sepatu di belakang membuatnya menoleh. Anggara keluar dari pintu lobi, mengenakan jas rapinya dan membawa sebuah payung lipat. Ia tampak terkejut melihat Saira masih di sana.“Loh? Belum pulang?” tanyanya seraya berjalan mendekat.“Saya pesan taksi online, tapi masih jauh. Sepertinya terjebak macet,” jawab Saira pelan.Anggara memandang ke luar, memperhatikan hujan d
Pertanyaan itu membuat sendok di tangan Saira berhenti seketika. Butuh waktu untuk menjawab, karena kata-kata itu menohok langsung ke bagian hatinya yang belum sembuh. Seputar Cakra adalah topik yang tidak ingin ia bahas dahulu. Jika dihadapannya sekarang adalah Sekar, Saira mungkin akan langsung mengatakan bahwa tak ingin membahas lelaki itu. “Pekerjaan suami saya sangat banyak,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. “Kami… jarang menemukan waktu yang pas.” Saira masih saja berbohong. Masih saja berusaha menutupi keburukan suaminya. "Saya tahu juga. Wiradana Group sangat aktif di dunia bisnis. Banyak cabang yang mereka bangun bahkan sudah mengusai pasar. Tapi, sesibuk-sibuknya suami, pasti juga bisa meluangkan sedikit waktu untuk istrinya." Anggara sadar betul tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Tapi ia juga tahu, meski tak semua rumah tangga dibangun dengan cinta, tapi jika itu terlalu menyakitkan, pernikahan semacam itu tak layak dipertahankan. Apalagi
Beberapa hari telah berlalu.Namun bukannya membaik, hubungan antara Saira dan Cakra justru kembali memburuk.Sudah hampir sepekan lamanya Saira memilih bungkam, menjauh dari laki-laki yang secara sah telah menjadi suaminya. Ia enggan menyapa, enggan berbicara, bahkan sekadar menatap pun terasa terlalu menyakitkan.Luka di hatinya belum mengering.Terutama setiap kali ingatan malam itu kembali menari di kepalanya—Malam ketika ia meringkuk sendirian di atas ranjang, tubuhnya berselimut selimut tipis, gemetar menahan sakit yang merayap dari ujung kaki hingga ubun-ubun.Dan bercak darah yang masih tertinggal di sprei menjadi saksi bisu dari peristiwa yang mengoyak harga dirinya. Yang lebih menyakitkan, Cakra pergi setelah menuntaskan hasratnya.Tanpa sepatah kata pun. Seolah tak terjadi apa-apa. Seolah Saira hanyalah batu kerikil yang tak layak disinggahi pandang.Saira tak pernah membayangkan bahwa hal yang seharusnya dimulai dengan cinta dan kehangatan justru dilakukan dengan paksaan
Saira mendongak menatapnya, dua tangan disilangkan di dada. “Kalau nggak seperti itu, kamu bisa apa? Bisa buktiin kalau Shopia bukan anak kamu? Kamu bersikeras dengan pendapatmu, Indira juga terus mengungkit kalian pernah—” “Kami nggak pernah tidur bersama!” seru Cakra. “Kamu nggak punya bukti, kan?” balas Saira cepat, tajam. Napas Cakra kembali berembus berat. “Tapi aku merasa nggak pernah melakukan apa-apa.”"Kamu merasa tidak melakukannya, tapi Indira mana mungkin bicara asal di depan Mama?""Kamu nggak percaya suamimu sendiri?"“Aku percaya apa yang aku lihat!” seru Saira. "Sejak dia datang, dia yang selalu kamu pedulikan. Bahkan aku entah nomor sekian. Sekarang semuanya seperti ini, bagaimana aku nggak percaya?"“Aku nggak bisa asal bicara tanpa bukti,” tukas Cakra, nada suaranya meninggi. Cakra mengacak rambutnya frustasi. “Kamu bisa mengajukan tes DNA aja, tanpa perlu mengungkit perceraian! Kenapa kamu harus memperumit semua ini?”“Karena hidupku memang sudah rumit sejak men
“Aku akan bercerai.”Tiga kata itu terucap dingin. Tak ada getar, tak ada ragu. Kalimat itu seolah telah lama bersemayam di relung hatinya, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.Cakra menatap istrinya, lama. Ada bias keheranan dalam sorot matanya, mungkin juga keterkejutan. Tapi yang paling mencolok adalah ketidakpercayaan. Seakan baru kali ini ia melihat Saira seberani ini. Berani menggenggam luka dan menjadikannya senjata.Padahal selama ini, bukan dia yang selalu menahan? Bukan dia yang tetap tinggal meski hatinya berulang kali dihancurkan?“Saira … kamu sadar apa yang baru saja kamu ucapkan?” Suara Cakra rendah, tapi cukup membuat seluruh ruangan tertunduk dalam keheningan.Saira menatapnya. Tajam dan dalam. Sepasang mata itu sudah terlalu sering berkaca, tapi kali ini tidak. Kali ini hanya ada keteguhan.“Aku sadar. Dan aku mengatakannya karena aku siap dengan konsekuensinya. Lagipula, kamu sudah menyetujuinya.”“Aku memang setuju untuk tes DNA. Tapi perceraian, aku tidak set
Suasana makan malam berlangsung tenang.Tak banyak percakapan yang mengalir, hanya suara sendok dan garpu yang beradu pelan, sesekali diselingi celoteh ringan dari Shopia yang berhasil memancing tawa kecil dari beberapa orang di meja. Namun tidak demikian dengan Saira. Tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Makanan di piringnya hanya disentuh seperlunya.Di tengah keheningan yang membentang, suara Indira tiba-tiba terdengar.“Cakra, kenapa nggak ambil sapi lada hitamnya? Waktu reservasi tadi, aku memang pesan menu ini khusus buat kamu.”Saira menghentikan gerakan tangannya. Pisau yang semula menggurat daging kini terhenti di udara.“Ini saja sudah cukup,” jawab Cakra tenang.Namun Indira tampak mengabaikan penolakan itu. Ia menyendokkan beberapa potong daging ke piring Cakra sambil berkata,“Nggak usah sungkan. Aku tahu ini favorit kamu.”Dari seberang meja, Sandrina ikut menyahut sambil tersenyum. “Dari dulu memang Kak Indira yang paling tahu selera Kakak.”Senyum lem
Malam minggu telah tiba.Tubuh Saira memang belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya ia sudah tak lagi terbaring lemah seperti beberapa hari lalu.Biasanya, ia tak betah berlama-lama di rumah. Tapi kali ini, tubuhnya memaksa untuk pasrah. Tak ada pilihan lain selain diam dan beristirahat.Yang membuat segalanya terasa berbeda justru datang dari sosok yang selama ini nyaris tak bisa ditebak: Cakra, suaminya.Ia tidak berubah secara dramatis. Tidak tiba-tiba jadi romantis atau penuh perhatian layaknya pria dalam drama. Tapi tetap saja, ada yang berubah.Diam-diam, Saira merasakannya.Cara Cakra melarangnya melakukan pekerjaan berat. Cara ia menyiapkan air hangat, menyuruhnya banyak beristirahat, hingga diam-diam membatalkan beberapa agenda hanya untuk tetap di rumah.Ia tetap pria yang sama, dingin, hemat bicara, dan penuh rahasia. Tapi kali ini, perhatiannya hadir seperti kabut tipis: tak terlihat, tapi terasa menyelimuti.Saira tidak tahu, apa yang membuat Cakra jadi seperti itu. Apaka
Saira menghela napas panjang. Ia tak tahu apa niat lelaki itu, tapi ia hanya bisa berharap ini adalah sesuatu yang baik bagi hubungannya dengan Cakra.Beberapa jam kemudian, suara pintu yang terbuka pelan membuatnya mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar. Obat yang ia minum tadi siang sudah bereaksi, membuatnya mengantuk berat. Namun, hingga saat ini, Saira belum benar-benar tidur. Ia hanya berbaring dalam diam, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang sulit dijelaskan.Cakra melangkah masuk, membawa nampan berisi beberapa camilan dan segelas teh hangat. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan nampan itu di atas meja kecil di samping tempat tidur."Kamu mau?" tanyanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.Saira melirik nampan itu sejenak sebelum kembali menatap Cakra. "Aku nggak minta makanan."Cakra duduk di tepi tempat tidur yang kosong. "Aku yang bawa."Saira diam. Tatapannya tertuju pada bungkusan kecil berisi biskuit dan beberapa potong roti. Ia mengenali cam