Amira, marah karena kedua kakak ipar nya tidak mau mengembalikan pinjaman uang sejak tahun lalu. Amira lalu meminta uangnya dikembalikan oleh kakak iparnya, untuk pengobatan ibu Amira yang sedang terbaring di ICU, tapi ternyata kakak ipar nya tidak mau mengembalikan uangnya. Bahkan kedua kakak iparnya mendukung rencana suami Amira untuk menikah lagi. Amira pun menyusul sang suami ke rumah mertuanya saat malam takbiran lalu mengumumkan utang kedua iparnya melalui toa masjid. Apa yang terjadi selanjutnya?
view moreKedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏
MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID [Mbak Desi, bunda ku sakit. Sekarang di ICU. Tolong bayar hutangnya tahun lalu yang 10 juta. Bukankah mbak Desi dulu berjanji kalau hutangnya akan dibayar tiga bulan?] [Sekarang sepertinya mas Joko kan sudah punya toko besar. Tolong bayar hutangnya mbak. Aku butuh sekali buat tambahan biaya rumah sakit bunda.] Pesan itu sudah centang dua sejak tadi siang. Tapi tak ada balasan. Amira duduk di bangku ruang tunggu rumah sakit dengan kepala tertunduk, jemarinya menggenggam ponsel erat-erat. Ia menunggu. Lima menit, sepuluh menit, sampai akhirnya ponselnya gelap sendiri karena tak ada aktivitas. Dengan napas berat, Amira mengetuk layar, membuka kontak Desi, dan menekan tombol telepon. Nada sambung terdengar lama. Lama. Tapi tidak pernah tersambung. Sambungan terputus sendiri. Amira menatap layar ponsel. Puluhan kali menelepon lagi. Tetap tidak diangkat. "Huft..." Amira mengusap wajah. Matanya yang sembab menatap ke arah ruang ICU, tempat ibunya terbaring, bertarung antara hidup dan ma ti. Dia tidak bisa menyerah. Amira mengetik cepat, kali ini untuk Dewi, kakak ipar keduanya. [Mbak Dewi, tolong... bunda di ICU. Aku benar-benar butuh uang buat biaya tambahan. Dulu mbak Dewi pernah janji mau balikin utang 20 juta dua tahun lalu.] [Aku nggak pernah nagih karena ngerti waktu itu mbak susah. Tapi sekarang, aku mohon mbak... tolong lunasi. Buat biaya rumah sakit bunda. Bukan kah mbak Dewi baru pulang dari jalan jalan ke Singapura bulan lalu?] Centang dua. Tapi sama seperti sebelumnya, tak ada tanda dibaca. Amira menunggu, lalu mencoba menelepon Dewi. Tidak diangkat. Mencoba belasan kali menelepon lagi. Sama saja. Air matanya mengalir tanpa suara. Ia letakkan ponselnya di pangkuan, lalu mengusap wajahnya sekali lagi. Tak lama, langkah kaki pelan mendekatinya. Arif, suaminya, membawa kantong plastik berisi air mineral, nasi bungkus, dan tas berisi baju Amira yang akan menemani ibunya di rumah sakit. "Kamu belum berbuka puasa, Mir. Makanlah dulu," katanya lembut. Amira menggeleng. "Nggak lapar, Mas." Arif duduk di sebelahnya. "Aku berangkat mudik, ya, mobilnya kubawa." "Iya. Hati-hati mudiknya. Kalau ketemu mbak Desi sama mbak Dewi, bilangin mereka untuk bayar utangnya, Mas. Aku butuh banget buat biaya bunda. Kamu tahu sendiri kan, toko roti aku lagi sepi." Arif menunduk. "Aku ngerti." "Hati-hati di jalan," suara Amira pelan, hampir seperti bisikan. "Kalau sampai di rumah mama, kabari aku." Arif mengangguk. *** Pagi berikutnya, suasana rumah sakit terasa semakin dingin bagi Amira. Ibunya masih koma, monitor terus berbunyi pelan, dan dokter belum memberi kabar yang menenangkan. Amira berkali-kali menatap ponselnya, mencoba menghubungi Arif. Tak aktif. Ia mencoba lagi. Nada sambung, tapi tidak diangkat. Dia coba kirim pesan. Tidak dibaca. "Mas... kamu di mana sih?" gumam Amira sendiri. Hatinya makin gelisah. Tangannya gemetar. Saat itu ponselnya bergetar, panggilan masuk. "Ana?" Amira mengernyit, menjawab cepat. Merasa heran karena Ana adalah teman SMAnya yang pindah ke kampung yang sama dengan mertuanya karena ikut dengan suaminya. "Halo?" "Ami... maaf, aku harus kasih tahu ini," suara Ana terdengar gugup. "Aku tadi menerima pesanan untuk acara buka bersama dan ternyata customer nya adalah mertua kamu. Di rumah mertua kamu juga ada suami kamu yang katanya mau nikah dengan janda di desa ini setelah lebaran," ujar Ana lirih. Merasa prihatin. "Apa?!" suara Amira meninggi. "Aku lihat sendiri, Mi. Di rumah mertua kamu, ada Arif, Desi, Dewi, dan janda itu. Aku nggak tahu Ami... tapi kayaknya mereka serius." Amira berdiri, tubuhnya gemetar. "Makasih, Ana." Ia menutup telepon itu, menatap ibunya di balik kaca ICU. "Maaf, Bu... Ami harus pergi sebentar." Ia ambil helm, kunci motor, dan melaju menembus malam. Angin dingin seolah menggerus kulit, tapi Amira tak peduli. Hatinya panas. Ia gas motornya, menembus jarak lima jam perjalanan. Malam takbiran, jalanan ramai tapi pikirannya sepi. Dengan lihai, dia bisa menyalip diantara kemacetan lalu lintas. Lima jam kemudian, tepat jam 10 malam, akhirnya Amira sampai di kampung suaminya. Suasana desa itu penuh suara takbir, lampu kelap-kelip di tiap sudut rumah. Tapi Amira tidak peduli. Ia memarkir motor, sebuah ide melintas, membuat nya berjalan cepat ke masjid yang jaraknya sekitar tiga ratus meter dari rumah mertuanya. Langkah kakinya berat, tapi amarah mendorongnya terus maju. Tatapan orang-orang yang sedang bertakbir mengarah padanya, heran dan penasaran. Tapi Amira terus berjalan, masuk ke area imam, menghampiri seorang takmir masjid yang sedang memandu. "Pak... boleh saya bicara sebentar di microphone?" suaranya bergetar. Takmir itu ragu. "Ini takbiran, Bu." "Tolong, Pak. Ini soal harga diri saya. Dan utang mereka." Amira menjelaskan dengan singkat, suaranya terbata karena menahan air mata yang hampir berlomba keluar. Lelaki paruh baya itu menatap matanya yang sembab, lalu mengangguk. Amira berdiri di depan mic, suaranya lantang menembus malam. "Kepada mbak Desi, dan mbak Dewi... anak dari bu Sri." Orang-orang yang sedang takbir mulai berhenti, menoleh. "Saya minta bayar utangnya! Teganya kalian... saat ibu saya sakit di ICU, kalian malah merencanakan pernikahan suami saya!" Masjid itu sunyi. Bisik-bisik mulai terdengar di antara jamaah. Amira menarik napas, dadanya berdegup kencang. Beberapa menit berlalu menegangkan. Amira mengulangi pengumuman nya menagih hutang sekali lagi. Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara perempuan. "Kamu jangan sembarangan ngomong di sini!" Amira berbalik. Desi, Dewi, dan Arif berdiri di sana dengan wajah marah. Next?Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.
Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka
"Iya. Kamu sudah terbiasa memasarkan produk. Kenapa nggak gunakan kemampuan itu untuk membangun sesuatu yang baru? Kamu bisa cerita tentang perjalananmu, atau... kalau berani, bahas soal Arif juga," Om Handoko menyarankan dengan senyum penuh arti.Mata Amira berbinar. Ide itu menggugah sesuatu dalam dirinya. "Jadi, aku bisa membagikan pengalaman, sekaligus membuka mata orang lain?""Tepat sekali. Banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal sama. Mengalah pada rumah tangga nya. Dikhianati suami. Memiliki mertua dan ipar yang kejam. Kalau kamu berbagi, mereka bisa belajar dari pengalamanmu. Dan, siapa tahu? Ini bisa jadi awal yang baik untuk karier baru."Amira mengangguk, perlahan tapi pasti. "Baiklah, Om. Aku akan coba.""Dan kalau kamu mau mencoba, sepertinya kamu juga cocok untuk membuat tutorial make up. Bukan kah kamu dari dulu suka mencoba coba make up?"Amira terdiam sesaat."Atau kamu juga bisa berkarier dengan ijazah kamu. Kamu dulu lulusan pendidikan guru kan?"A
"Halo Om, bisakah suami yang mencuri mahar dari istrinya dipenjara kan?" tanya Amira dengan suara bergetar. "Hah? Apa maksudnya, Ami? Mahar kamu hilang?"Amira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bicara. "Om... aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Mahar dari Arif... hilang, Om."Suara Om Handoko terdengar terkejut. "Apa? Mahar dari Arif hilang? Kapan kamu tahu?""Baru saja. Aku mencari di tempat biasa kusimpan, tapi nggak ada, Om. Aku curiga... Arif yang ambil," ujar Amira dengan suara bergetar."Arif? Kenapa kamu curiga dia?""Nggak ada orang lain yang tahu tempat aku menyimpannya, selain Arif, Om!"Om Handoko terdiam sesaat. "Oke, Om ke rumahmu sepuluh menit lagi. Jangan panik dulu, ya."Amira mengangguk meski tahu Om Handoko tak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia segera memeriksa kembali kamar dan laci tempat biasa ia menyimpan perhiasan itu. Tak lupa Amira memeriksa tempat penyimpanan sertifikat rumahnya di lemari kamar mendiang ibunya."Huft, u
Arif melirik ke arah perhiasan Desi dan Dewi. "Kemarin kayaknya kalian nggak pake perhiasan deh, Mbak!? Sekarang kok kalung atau gelang? Berikan saja perhiasan itu biar kujual dan kujadikan DP mobil. Aku pulang dengan apa kalau nggak naik mobil? Naik bis, pasti berdesakan. Naik kreta, aku kehabisan tiket. Mau naik motor? Aku capek di jalan!Kemarin aku menyerah kan mobil pada Amira secepatnya, agar namaku juga tidak viral karena berniat nikah lagi. Sekarang karena keadaan sudah aman dari Amira, kalian harus bayar hutang. Dan minimal ada jaminannya. Jaminannya perhiasan kalian itu, Mbak!" ujar Arif menatap tajam ke arah Desi dan Dewi. Sri memandang ketiga anak nya secara bergantian. "Arif benar. Kalian sebagai kakak dari Arif yang lebih mapan dan bahkan Dewi sudah jalan jalan ke Singapura, seharusnya tahu diri dan bayar hutang pada Arif segera. Apalagi dia juga membutuhkan uang," ujar Sri tegas. Desi dan Dewi berpandangan, lalu dengan menghela napas panjang, mereka melepas perhias
Sri duduk di kursi rotan, mengamati anaknya, Arif, yang terlihat begitu percaya diri. Dua kakaknya, Desi dan Dewi, baru saja datang, membawa keresahan yang sama."Apa kamu gila, Rif?" suara Desi meledak begitu saja. "Bagaimana kalau Amira sampai tahu kalau maharnya diambil olehmu?"Arif hanya menyeringai, menyendok opor ayam ke piringnya dengan santai. Belum sempat ia menjawab, Dewi ikut menyusul, matanya ta j am men us u k ke arah adiknya."Lalu bagaimana kalau Rita tahu kalau maharnya palsu?"Arif tertawa kecil, menikmati ketegangan yang ia ciptakan. "Tenang saja, mereka nggak akan tahu. Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasinya," ujarnya dengan penuh percaya diri.Desi dan Dewi saling berpandangan, lalu bergerak ke arah meja makan. Mereka mengambil mangkuk dan mulai menyendok opor ayam."Bu, minta opor, aku nggak masak," kata Desi, hampir bersamaan dengan Dewi yang berkata, "Aku juga, Bu."Sri hanya mengangguk, menyodorkan sendok besar ke arah anak-anaknya. Namun, sorot matan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments