MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID

last updateHuling Na-update : 2025-06-13
By:  ananda zhiaIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
14Mga Kabanata
69views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Amira, marah karena kedua kakak ipar nya tidak mau mengembalikan pinjaman uang sejak tahun lalu. Amira lalu meminta uangnya dikembalikan oleh kakak iparnya, untuk pengobatan ibu Amira yang sedang terbaring di ICU, tapi ternyata kakak ipar nya tidak mau mengembalikan uangnya. Bahkan kedua kakak iparnya mendukung rencana suami Amira untuk menikah lagi. Amira pun menyusul sang suami ke rumah mertuanya saat malam takbiran lalu mengumumkan utang kedua iparnya melalui toa masjid. Apa yang terjadi selanjutnya?

view more

Kabanata 1

Hutang 1

Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID

[Mbak Desi, bunda ku sakit. Sekarang di ICU. Tolong bayar hutangnya tahun lalu yang 10 juta. Bukankah mbak Desi dulu berjanji kalau hutangnya akan dibayar tiga bulan?]

[Sekarang sepertinya mas Joko kan sudah punya toko besar. Tolong bayar hutangnya mbak. Aku butuh sekali buat tambahan biaya rumah sakit bunda.]

Pesan itu sudah centang dua sejak tadi siang. Tapi tak ada balasan. Amira duduk di bangku ruang tunggu rumah sakit dengan kepala tertunduk, jemarinya menggenggam ponsel erat-erat. Ia menunggu. Lima menit, sepuluh menit, sampai akhirnya ponselnya gelap sendiri karena tak ada aktivitas.

Dengan napas berat, Amira mengetuk layar, membuka kontak Desi, dan menekan tombol telepon.

Nada sambung terdengar lama. Lama. Tapi tidak pernah tersambung.

Sambungan terputus sendiri.

Amira menatap layar ponsel. Puluhan kali menelepon lagi. Tetap tidak diangkat.

"Huft..." Amira mengusap wajah. Matanya yang sembab menatap ke arah ruang ICU, tempat ibunya terbaring, bertarung antara hidup dan ma ti.

Dia tidak bisa menyerah.

Amira mengetik cepat, kali ini untuk Dewi, kakak ipar keduanya.

[Mbak Dewi, tolong... bunda di ICU. Aku benar-benar butuh uang buat biaya tambahan. Dulu mbak Dewi pernah janji mau balikin utang 20 juta dua tahun lalu.]

[Aku nggak pernah nagih karena ngerti waktu itu mbak susah. Tapi sekarang, aku mohon mbak... tolong lunasi. Buat biaya rumah sakit bunda. Bukan kah mbak Dewi baru pulang dari jalan jalan ke Singapura bulan lalu?]

Centang dua. Tapi sama seperti sebelumnya, tak ada tanda dibaca.

Amira menunggu, lalu mencoba menelepon Dewi. Tidak diangkat. Mencoba belasan kali menelepon lagi. Sama saja.

Air matanya mengalir tanpa suara. Ia letakkan ponselnya di pangkuan, lalu mengusap wajahnya sekali lagi.

Tak lama, langkah kaki pelan mendekatinya. Arif, suaminya, membawa kantong plastik berisi air mineral, nasi bungkus, dan tas berisi baju Amira yang akan menemani ibunya di rumah sakit.

"Kamu belum berbuka puasa, Mir. Makanlah dulu," katanya lembut.

Amira menggeleng. "Nggak lapar, Mas."

Arif duduk di sebelahnya. "Aku berangkat mudik, ya, mobilnya kubawa."

"Iya. Hati-hati mudiknya. Kalau ketemu mbak Desi sama mbak Dewi, bilangin mereka untuk bayar utangnya, Mas. Aku butuh banget buat biaya bunda. Kamu tahu sendiri kan, toko roti aku lagi sepi."

Arif menunduk. "Aku ngerti."

"Hati-hati di jalan," suara Amira pelan, hampir seperti bisikan. "Kalau sampai di rumah mama, kabari aku."

Arif mengangguk.

***

Pagi berikutnya, suasana rumah sakit terasa semakin dingin bagi Amira. Ibunya masih koma, monitor terus berbunyi pelan, dan dokter belum memberi kabar yang menenangkan.

Amira berkali-kali menatap ponselnya, mencoba menghubungi Arif. Tak aktif. Ia mencoba lagi.

Nada sambung, tapi tidak diangkat.

Dia coba kirim pesan. Tidak dibaca.

"Mas... kamu di mana sih?" gumam Amira sendiri.

Hatinya makin gelisah. Tangannya gemetar. Saat itu ponselnya bergetar, panggilan masuk.

"Ana?" Amira mengernyit, menjawab cepat. Merasa heran karena Ana adalah teman SMAnya yang pindah ke kampung yang sama dengan mertuanya karena ikut dengan suaminya.

"Halo?"

"Ami... maaf, aku harus kasih tahu ini," suara Ana terdengar gugup. "Aku tadi menerima pesanan untuk acara buka bersama dan ternyata customer nya adalah mertua kamu. Di rumah mertua kamu juga ada suami kamu yang katanya mau nikah dengan janda di desa ini setelah lebaran," ujar Ana lirih. Merasa prihatin.

"Apa?!" suara Amira meninggi.

"Aku lihat sendiri, Mi. Di rumah mertua kamu, ada Arif, Desi, Dewi, dan janda itu. Aku nggak tahu Ami... tapi kayaknya mereka serius."

Amira berdiri, tubuhnya gemetar. "Makasih, Ana." Ia menutup telepon itu, menatap ibunya di balik kaca ICU. "Maaf, Bu... Ami harus pergi sebentar."

Ia ambil helm, kunci motor, dan melaju menembus malam. Angin dingin seolah menggerus kulit, tapi Amira tak peduli. Hatinya panas. Ia gas motornya, menembus jarak lima jam perjalanan. Malam takbiran, jalanan ramai tapi pikirannya sepi. Dengan lihai, dia bisa menyalip diantara kemacetan lalu lintas.

Lima jam kemudian, tepat jam 10 malam, akhirnya Amira sampai di kampung suaminya. Suasana desa itu penuh suara takbir, lampu kelap-kelip di tiap sudut rumah. Tapi Amira tidak peduli.

Ia memarkir motor, sebuah ide melintas, membuat nya berjalan cepat ke masjid yang jaraknya sekitar tiga ratus meter dari rumah mertuanya. Langkah kakinya berat, tapi amarah mendorongnya terus maju.

Tatapan orang-orang yang sedang bertakbir mengarah padanya, heran dan penasaran. Tapi Amira terus berjalan, masuk ke area imam, menghampiri seorang takmir masjid yang sedang memandu.

"Pak... boleh saya bicara sebentar di microphone?" suaranya bergetar.

Takmir itu ragu. "Ini takbiran, Bu."

"Tolong, Pak. Ini soal harga diri saya. Dan utang mereka."

Amira menjelaskan dengan singkat, suaranya terbata karena menahan air mata yang hampir berlomba keluar.

Lelaki paruh baya itu menatap matanya yang sembab, lalu mengangguk.

Amira berdiri di depan mic, suaranya lantang menembus malam.

"Kepada mbak Desi, dan mbak Dewi... anak dari bu Sri."

Orang-orang yang sedang takbir mulai berhenti, menoleh.

"Saya minta bayar utangnya! Teganya kalian... saat ibu saya sakit di ICU, kalian malah merencanakan pernikahan suami saya!"

Masjid itu sunyi. Bisik-bisik mulai terdengar di antara jamaah. Amira menarik napas, dadanya berdegup kencang.

Beberapa menit berlalu menegangkan. Amira mengulangi pengumuman nya menagih hutang sekali lagi.

Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara perempuan. "Kamu jangan sembarangan ngomong di sini!"

Amira berbalik. Desi, Dewi, dan Arif berdiri di sana dengan wajah marah.

Next?

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
14 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status