"Aku mau bertanggung-jawab atas anak kita, Bu." "A-anak apa maksudmu?" "Anak hasil one night stand kita. Aku keluar di dalam lho, Bu." "A-apa?" "Sebentar lagi kita akan punya dede bayi." Lyra benar-benar tak menyangka dirinya menghabiskan malam panas saat festival kampus dengan mahasiswanya sendiri, bahkan sampai hamil. Yang lebih mencengangkan, Kanz, pemuda yang telah mengambil mahkotanya itu, justru datang dan memaksa untuk bertanggungjawab. Bagaimana Lyra menghadapi Kanz yang sangat terobsesi dengan bayinya? Apalagi, Lyra sudah punya tunangan?
View More“Umph… pelan-pelan…”
Napas Lyra bergetar, tubuhnya menegang ketika pinggangnya ditarik semakin rapat. Ranjang hotel itu berderit pelan di bawah gerakan mereka. Lelaki muda yang bersamanya mendekatkan bibir ke telinganya, suaranya rendah, penuh godaan. Bagi mahasiswa Lyvard University, nama LYRA VELISTA tak lagi asing. Di usia baru 27 tahun, ia sudah menyandang gelar profesor termuda. Perfeksionis, cerdas, sekaligus dingin di kelas—itulah kesan yang menempel pada dirinya. Tak ada yang menyangka, malam ini ia terperangkap dalam situasi paling memalukan sepanjang hidupnya. “Sempit, Bu…” bisik si lelaki muda berparas tampan. Lyra menahan desah. Tubuhnya terasa panas, terlalu panas, seolah api menjilat dari dalam kulit. Di balik kepalanya yang separuh sadar, ia tahu—ini salah. Sangat salah. Lelaki yang menindihnya bukan tunangannya. “Umph… masukin aja…” suaranya parau, tubuhnya menyerah. Namun, otaknya tak bisa lagi memberi perintah yang benar. Seingatnya, beberapa jam lalu, ia masih berada di festival kampus. Segelas teh hangat dari Reihan—tunangannya—menjadi awal dari semua ini. Rasa manis, aroma rempah… lalu pusing, panas, dan tiba-tiba pandangan berputar. Hanya itu yang ia ingat. Lalu gelap. Dan kini, ia justru terbaring di ranjang hotel bersama orang lain. Lyra hampir jatuh saat pintu kamar hotel tertutup. Tubuhnya seolah terbakar dari dalam, keringat menetes di pelipis. Nafasnya terengah, dada naik-turun tak terkendali. Dengan sisa kesadaran, ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyalakan keran. Air dingin mengenai wajahnya, menetes ke leher. Lyra meraupnya kasar, menahannya di tengkuk, membiarkan cipratan itu membasahi kemeja putih tipis yang masih ia kenakan. Kain itu langsung menempel erat pada kulit, memperlihatkan lekuk tubuh yang seharusnya tak terlihat siapa pun. “Kenapa… panasnya nggak hilang…” gumamnya lirih. Rambut panjangnya menempel ke pipi basah. Ia menatap bayangannya di cermin—mata kabur, bibir merah menggigil, kemeja transparan menempel basah. Seorang profesor muda, teladan kampus, kini bahkan tak bisa menegakkan tubuhnya sendiri. “Bu Lyra?” Suara bariton terdengar dari luar. Ketukan pelan menyusul. Kanz. Ketua BEM. Mahasiswa paling populer yang sering jadi bahan gosip di kampus. Lyra menahan napas, bingung. Ia ingin berteriak menyuruhnya menjauh, tapi mulutnya kelu. Ceklek. Pintu terbuka sedikit. Kanz melongok masuk dengan raut cemas. Begitu matanya menangkap sosok dosennya—kemeja putih basah, tubuh gemetar, tatapan kabur—ia langsung membeku. “Saya… saya kira Ibu pingsan,” ucapnya terbata. Ia hendak menutup pintu lagi, tapi Lyra berbalik, menatap lurus dengan mata separuh redup. Kanz terpaku. Air masih menetes dari ujung rambut Lyra, menelusuri garis leher, lalu menghilang di balik kemeja transparan itu. Pemandangan itu menghantam semua logika yang coba ia pertahankan. Ia menelan ludah, berusaha mengalihkan pandang. “Bu, kalau saya terus di sini… saya bisa salah paham.” Tapi langkah Lyra justru mendekat. Tangannya yang gemetar meraba dada bidang Kanz… turun… lalu berhenti tepat di bagian paling keras dari tubuh pria itu. “Reihan…” bisiknya parau. “Panas… sentuh aku…” Kanz mengumpat pelan, rahangnya mengencang. “Shit.” Tubuhnya refleks menegang, pupil melebar. Ia tahu ini dosennya. Wanita berwibawa yang setiap hari berdiri di podium, dingin dan penuh aturan. Tapi detik ini, yang menempel erat padanya adalah perempuan yang goyah, rapuh, dan terbakar hasrat. “Bu Lyra…” suaranya tercekat. “Kalau Ibu terus gini, saya—” Jari Lyra mencengkeram lebih kuat, tubuhnya merapat, bibirnya mencari. “Reihan… masukin…” desahnya nyaris seperti erangan. Pertahanan terakhir Kanz hancur. Semua alarm moral meraung di kepalanya, tapi desahan Lyra di telinganya melumat habis sisa logikanya. “Fuck… kalau Ibu nggak berhenti, saya nggak bisa janji,” gumamnya rendah. Seketika tangannya terulur menahan bahu Lyra, tapi justru tubuh mereka semakin dekat. Tatapan mereka bertaut, lalu bibirnya saling mencari. Ciuman itu liar. Panas. Terlalu nyata untuk bisa dihentikan. Ranjang hotel berderit pelan ketika tubuh Lyra jatuh ke atasnya, Kanz menindihnya tanpa lagi menahan diri. Desahan mereka berpadu. Hasrat beradu. Kanz menekan keningnya ke bahu Lyra, napasnya memburu. Jemarinya meremas pinggang dosennya yang terus merapat, tubuh mereka makin tak terpisahkan. “Bu…” suaranya rendah, hampir bergetar. “Saya nggak punya kondom.” Gerakan Lyra berhenti sepersekian detik. Matanya kabur, bibirnya gemetar, tubuhnya sudah tak bisa lagi mundur. “Gapapa kan… kalau udah saya masukin?” Kanz berbisik di telinganya.Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m
Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…
Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha
Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere
Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya berget
Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments