Saira Anggun Prameswari dinikahi Cakra hanya karena sang suami ingin menebus kesalahan setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa nenek. Sayangnya, keluarga suaminya justru menuduhnya "mandul" tanpa tahu dia belum pernah disentuh Cakra sama sekali. Hanya saja, kedatangan mantan kekasih Cakra ke Indonesia dengan seorang anak kecil yang diklaim darah daging pria tersebut mengubah pertahanan wanita itu. Haruskah Saira tetap bertahan dalam pernikahan tanpa cinta? Atau menegaskan posisi dirinya sebagai istri sah Cakra?
View More“Dua tahun menikah, belum bisa hamil juga?” Ambar Wiradana menggeram saat melihat satu garis tunggal pada alat uji kehamilan di tangannya. Sesaat kemudian, benda pipih berwarna putih biru itu dilempar ke meja, memantul sekali sebelum jatuh dengan bunyi ringan.
Saira menelan ludah, menundukkan kepala seperti anak kecil yang tertangkap basah.
“Jawab!”
“Mungkin belum waktunya, Ma,” jawabnya lirih, nyaris tak terdengar.
“Lalu kapan? Sampai kapan aku harus menunggu?”
Saira mendongak sedikit, berusaha menata suaranya agar tetap tenang. “Saira dan Cakra sudah berusaha yang terbaik.”
“Kalau memang sudah berusaha, setidaknya sudah membuahkan hasil!”
Suara Ambar kembali menggema di ruangan. Tatapan wanita paruh baya itu penuh amarah, membuat nyali Saira ciut.
Hasil pemeriksaan kesehatan Saira menunjukkan dirinya sehat dan subur, tapi bagaimana mungkin ada kehidupan tumbuh di rahimnya jika sang suami bahkan tak pernah menyentuhnya?
Saira ingin sekali berteriak, ingin membuka semua kenyataan pahit ini di hadapan mertuanya. Tapi untuk apa? Ambar takkan mau mendengar. Bagi wanita itu, menantu adalah sumber kesalahan.
“Aku berharap banyak sama kamu, Saira. Pendidikan tinggi, karir bagus, usia matang. Tapi apa gunanya semua itu kalau nggak bisa memberikan keturunan untuk keluarga Wiradana?”
Saira meremas jemarinya yang gemetar. Setiap kata yang terlontar dari bibir sang mertua terasa seperti batu besar yang menghantam dadanya, berat dan menyesakkan. Namun, ia menolak membiarkan air mata mengalir di hadapan wanita yang selalu memandangnya rendah.
“Kalau tahu begini, Cakra nggak perlu memaksakan pernikahan ini!” keluh Ambar seraya memijat keningnya.
“Maaf, Ma,” bisik Saira pada akhirnya.
“Maaf nggak akan membuatku punya cucu!” Ambar kembali melayangkan tatapan tajam pada Saira. Ibu mertuanya itu bangkit berdiri seraya menyambar tas jinjingnya.
“Siang ini aku akan kirimkan obat herbal. Aku harap ada perubahan ke depannya. Tapi, kalau kamu tetap nggak bisa memberikan keturunan dalam waktu dekat, jangan salahkan aku kalau meminta Cakra mencari wanita yang lebih layak!”
Suara langkah kaki Ambar menggema hingga pintu tertutup keras. Saira hanya bisa memejamkan mata, menghela napas yang terasa berat di dada.
Setelah Ambar pergi, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.
Saira berjalan ke tepi kolam ikan, tempat yang selalu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia duduk di bangku kayu, memandangi riak-riak kecil di permukaan air.
Namun, semakin ia mencoba memahami keadaan, semakin berat beban yang menghimpit hatinya.
"Bu Saira, kopi hangatnya," suara Bi Surti mengganggu lamunannya.
"Terima kasih, Bi," sahut Saira, menerima cangkir itu. Namun, senyumnya hilang saat rasa linu di lutut kanannya kembali menyerang.
Kecelakaan dua tahun lalu itu tidak hanya merenggut nyawa neneknya, tetapi juga meninggalkan bekas di tubuh Saira. Kaki kanannya yang pernah patah kini sering terasa linu.
“Kaki Ibu sakit lagi?” tanya Bi Surti, khawatir. “Mau saya ambilkan balsem?”
Saira menggeleng cepat. “Nggak usah, Bi. Saya nggak apa-apa, kok. Nanti aja, saya mau kerjain ini dulu. Makasih ya.”
Bi Surti mengangguk sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Hingga malam menjelang, ia masih duduk di bangku kayu sambil menyusun ulang modul praktik untuk mahasiswa yang tadi sempat ia abaikan.
“Sebentar lagi sampai.”
Suara berat itu tiba-tiba mengejutkan Saira. Ia melirik sekilas, mendapati Cakra Wiradana, suaminya, berdiri tak jauh di belakangnya. Satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga, sementara tangan lainnya membawa kantong kertas putih.
“Kamu tenang saja aku sudah urus semuanya,” kata Cakra dengan nada tenang di telepon.
Cakra masih berdiri di depan pintu, rambutnya tampak setengah basah, tersisir rapi ke samping. Pria itu sudah berganti pakaian kasual, tampak siap untuk pergi lagi, seperti biasanya.
Bukan hal aneh jika Cakra sibuk dan jarang di rumah. Namun, suara Cakra yang terdengar lebih lembut dari biasanya membuat Saira sedikit tertegun. Dengan siapa Cakra berbicara?
Saira tak bisa mendengar jelas percakapan suaminya. Ia menoleh kembali, berniat memastikan apakah pria itu pergi atau belum. Tetapi, tatapannya justru bertumbuk dengan pandangan dingin dari Cakra.
Langkah kaki tegasnya mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Saira.
Tanpa berkata banyak hal, ia langsung melempar kantong kertas ke meja. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu minta obat ini ke Mama?"
Saira menggeleng, kebingungan. "Aku nggak pernah minta apa-apa."
"Mama bilang kamu pakai test pack, hasilnya negatif."
"Test pack itu Mama bawa sendiri," jawabnya, mencoba tetap tenang. "Aku cuma dipaksa pakai."
Cakra mendengus. "Sudah tahu hasilnya negatif, kenapa masih dicoba?"
"Karena aku nggak punya pilihan!" balas Saira, suaranya datar.
“Nggak punya pilihan atau sengaja mau memanfaatkan keadaan?” Kalimat Cakra kembali mengiris hati Saira. “Segitunya biar bisa tidur sama aku?”
Jemari wanita itu mengepal kuat di atas meja. Membayangkan Cakra tersenyum padanya saja dia tidak pernah, apalagi keinginan yang begitu intim seperti itu.
Saira bahkan sadar diri bahwa pernikahan itu terjadi bukan karena keinginan mereka berdua. Ia dinikahi hanya sebagai bentuk tanggung jawab atas kesalahan Cakra di masa lalu.
“Aku nggak pernah memanfaatkan keadaan. Obat itu inisiatif Mama sendiri.” Saira membuang napas panjang sebelum kembali mendaratkan tubuhnya di kursi, “Wajar saja Mama curiga, kita sudah menikah dua tahun, tapi belum juga punya anak.”
“Kita sudah pernah bahas ini berkali-kali,” kata Cakra, mendekatkan wajahnya. Nada suaranya lebih rendah namun tetap tajam. “Kamu tau apa yang harus kamu lakukan, tapi masih saja pakai cara rendahan ini! Kamu ini nggak paham atau memang sengaja?”
“Cakra, demi Tuhan—”
“Jangan bawa-bawa Tuhan!” potong Cakra dengan suara dingin. Saira ingin berbicara, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara.
“Aku sudah memperingatkanmu dari awal, Saira. Urusan kita cuma sebatas hidup dalam satu rumah. Jangan pernah berharap lebih dengan pernikahan ini, apalagi soal anak!”
Setelah melontarkan kata-kata itu, Cakra berbalik tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan Saira yang kini hanya bisa memandang punggung suaminya dengan mata berkaca-kaca.
“Sayang?”Saira sontak menoleh ke arah suara berat yang sangat familiar. Begitu pula Anggara. Obrolan ringan mereka seputar rencana kegiatan kampus langsung terhenti.Dengan senyum tipis yang sulit dibaca, Cakra berdiri di belakang daybed. Angin malam mengibaskan ujung kemejanya, dan tatapannya langsung tertuju pada Saira.Mata Saira membulat. Ia berdiri tergesa, hingga sweater yang dipakaikan Anggara terjatuh ke pasir. Dadanya berdesir—tidak hanya karena kehadiran pria itu, tapi karena satu hal yang tak pernah ia dengar sebelumnya.Sayang?Ini pertama kali Cakra memanggilnya demikian—di depan orang lain pula.Tatapan Cakra bergeser pada Anggara, masih mempertahankan senyum yang terasa terlalu rapi.Lebih tepatnya terlalu dipaksakan.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, namun nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar sopan santun.“Maaf mengganggu obrolan kalian,” ucapnya datar, meski nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar basa-basi.Anggara membalas
Saira masih mencoba berpikir positif. Ia tak ingin menebak-nebak tanpa alasan yang jelas.Anggara mungkin hanya ingin bicara soal pekerjaan atau urusan kampus. Sesederhana itu—dan ia harusnya cukup waras untuk mempercayai hal tersebut.Setidaknya, satu hal sudah tuntas.Sampel rambut yang ia kumpulkan telah diterima dan kini tengah diproses oleh tim laboratorium. Ia hanya perlu menunggu satu minggu hingga hasilnya keluar.***Seperti yang telah diagendakan, Hari berikutnya Saira dan Cakra, juga beberapa dosen yang mendapat penghargaan kemarin melakukan perjalanan via udara dengan destinasi Bali. Meski pada awalnya berdebat dengan Saira soal pesawat terbang, tetapi untuk menghormati penyelenggara kampus, Cakra merendahkan egonya agar tetap bersama rombongan. Satu hal lagi yang membuat Saira lega. Walaupun pria itu sedikit kaku, tetapi berusaha cukup bersikap ramah pada semua rekan kerjanya. Yang lebih melegakan lagi, Anggara menyusul dengan penerbangan berikutnya, sehingga Saira cuk
Saira mengembuskan napas lega saat pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Tubuhnya bersandar lemah pada daun pintu, seolah butuh penopang untuk meredakan gemuruh di dadanya. Jantungnya masih berdetak cepat, menghentak gendang telinga seperti genderang perang yang belum usai.Setelah menarik napas panjang, ia berjalan pelan menuju meja kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih dua lembar tisu yang tadi dilipat rapi, masing-masing membungkus helian rambut yang berbeda. Ia menatap keduanya sejenak, lalu membuka laci dan mengambil dua plastik ziplock bening.Dengan gerakan hati-hati, ia memasukkan tiap helai rambut ke dalam wadahnya, lalu menandai masing-masing dengan label bertuliskan: Cakra dan Shopia.Pandangan Saira kemudian jatuh pada kalender meja. Lusa, ia harus berangkat ke Bali.Besok adalah satu-satunya kesempatan untuk mengantar sampel ini ke laboratorium.Ya. Besok pagi, sebelum mengajar, ia akan menyempatkan diri untuk ke sana.Bukan karena ia tak percaya pada hasil te
“Kamu ngapain di kamar mandiku?”Saira tercekat. Tangan kirinya menggenggam tali tas kerjanya. Sesaat ia hanya bisa menatap Cakra, lidahnya kelu, pikirannya berusaha mencari alasan yang masuk akal. Tapi semuanya terdengar bodoh di kepalanya.“Aku…” Saira merasa oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. “Nyari—pengharum ruangan. Punyaku habis.”Cakra menyipitkan matanya. Tetapi itu hanya beberapa saat. Setelahnya pria itu berjalan di mendekat ke arah meja kecil tempat dimana Saira menemukan sisir berwarna gelap tadi dan mengangkat botol semprot besar berwarna biru yang jelas-jelas bertuliskan air freshener."Benda sebesar ini, kamu nggak lihat?"Saat itu juga Saira memaki dirinya sendiri dalam hati. Bodoh!Saira memutar otaknya cepat. Kalau ia menyangkal sekarang, itu akan memperkeruh situasi. Tapi kalau mengiyakan… itu sama saja membiarkan Cakra menganggapnya ceroboh, atau lebih buruk: menyimpan niat tersembunyi.Namun, sebelum bibirnya mengatakan sesuatu, Cakra lebih dulu melangkah mende
Liburan ke Bali bersama keluarga, bagi Saira, bukanlah kabar gembira—melainkan sumber sakit kepala baru.Sejak Anggara mengumumkan agenda itu, pikirannya terus dipenuhi kegelisahan. Bahkan setelah melewati hari yang melelahkan, kekhawatiran itu tetap mengendap di dadanya.Semua dosen pasti akan membawa serta pasangan dan anak-anak mereka. Sementara dirinya... masih diliputi kebimbangan. Haruskah ia mengajak Cakra atau tidak?Sebenarnya, ia bisa saja pergi tanpa suaminya. Hidupnya akan terasa lebih mudah.Tapi semua orang tahu siapa Cakra. Jika Saira datang sendirian, pasti akan menimbulkan spekulasi. Mungkin ada yang bisa memaklumi kesibukan suaminya, namun tak sedikit yang akan menyimpulkan bahwa rumah tangga mereka tidak harmonis.Dan justru kemungkinan yang terakhir itu... yang paling merepotkan Saira.Bukan masalah satu kampus akan membicarakannya. Tapi keluarga Cakra. Mereka selalu menghakimi tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ujung-ujungnya, semua kesalahan ak
Tak bisa dipungkiri, malam itu, Saira masih saja menangis. Meski tahu tak ada lagi gunanya.Namun pagi ini, ia sudah tak peduli lagi dengan apa pun yang akan Cakra lakukan.Sudah cukup.Rasa sakit memenuhi setiap sudut hatinya, seakan tak ada lagi ruang untuk luka baru.Saira hanya ingin tenang.Hanya ingin menjalani hidup tanpa dihantui amarah dan kecewa.Apa gunanya menyandang status menantu keluarga Wiradana jika nasibnya tak lebih baik dari orang yang tak dianggap?Saat sedang mematut diri di depan cermin, tiba-tiba pintu kamar terbuka.Cakra berdiri di ambang pintu, kaku, menatapnya tanpa ekspresi."Hari ini pengambilan sampel DNA, kamu nggak mau ikut?" tanyanya pelan.Saira hanya menoleh sekilas, lalu menjawab singkat, “Aku ada kelas pagi.”“Kalau begitu, aku antar. Sekalian ke rumah sakit.”Entah apa yang sebenarnya diinginkan Cakra.Saat dulu Saira sangat mengharapkan sedikit perhatian, lelaki itu begitu dingin. Tapi kini, ketika hatinya sudah beku dan tawar, justru Cakra mula
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments