"Itu tidak mungkin!" kesal Bram lalu berbalik badan menghindari Dwi yang menatapnya tajam seakan bersiap untuk menyantapnya."Tenang," bisik Kholil yang segera mendekati temannya itu. "Kau jangan terpancing. Kita harus tenang menghadapi,""Oh!" desar Bram memahami maksud perkataan temannya itu. "Kau benar!""Apa yang benar?!" pekik Dwi lalu menarik tangan menantunya itu dengan kasar. "Kau mau laporkan aku ke polisi, kan?""Iya!" jawab Bram lalu tersenyum meledek. "Menantu macam apa kau ini?! Lihat saja kau, kalau sampai aku kena masalah kau yang akan aku hancurkan!"Mendengar ancaman itu Bram tak bergeming. Toh bukan dia yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan bukan dia juga yang memulai perseteruan ini.Lama dia terdiam hingga mertuanya itu pergi meninggalkan ruangan tempat mereka berada. Bram terus memutar otaknya mencari tau siapa gerangan yang melaporkan mertuanya itu ke polisi dan tentunya karena dia juga harus menjaga perasaan istrinya yang kini juga adalah ibu dari anaknya
"Kalian yang akan membantuku membalas semua dendamku?" tanya Raka dengan senyumannya yang miring."Iya, kami akan membantumu!" tegas Warsa membuat mata Bram menyipit. "Kami?" tanya suami Widi itu lirih."Siapa anak muda ini? Aku tidak kenal?" tanya Raka dengan raut wajah meledek."Dia ini suaminya Widi," jawab Warsa lalu menepuk bahu Bram yang begitu kaku di depan pria tua yang akan membuatnya jadi orang yang akan ditakuti mertuanya."Kau yakin dia siap menghadapi keluarga Widi?" Raka masih tak percaya."Aku yakin dia bisa. Setelah semua kejahatan Dory dan Dwi tak mungkin dia tak bangkit untuk menunjukkan pada keluarga kaya itu akan keperkasaannya,"Raka tak cepat percaya, dia terus memandangi wajah Bram dengan seksama. Pria paruh baya itu seperti menemukan seberkas cahaya harapan di sana namun masih tertutup banyak keraguan yang diciptakan oleh Bram sendiri."Apa yang kau lihat, Tuan?" tanya Kholil yang ternyata sudah kenal pada sepupu mantan bosnya."Aku rasa dia memang perkasa, ta
Hari yang disiapkan Raka akhirnya tiba. Hari ini dia tiba di rumah Enin untuk menyusul Bram yang sudah begitu tampan dengan jaket kulit hitam dan koper dorongnya.Dengan setia Widi menggendong putrinya mengikuti langkah Bram yang begitu sumringah hari ini."Kalian jadi pergi?" tanya Enin yang sesekali menghapus air matanya. "Aku harap kalian tak lama," tambahnya."Nin, ini tak akan lama. Hanya sekolah singkat dan aku harap belum setahun kami sudah kembali," terang Raka tegas namun cukup menenangkan hati Enin."Baiklah, kami akan segera pergi! Aku rasa semakin cepat kita pergi semakin cepat juga kita kembali," ucap Bram sembari meraih tangan Enin dan menciumnya pelan."Jang, hati-hati di jalan. Enin selalu mendoakanmu semoga apa yang kau usahakan menjadi mudah dan lancar,""Aamiin!" seru semuanya lalu mulai berjalan meninggalkan rumah wanita paruh baya itu.Bram tak menoleh kebelakang, ada hati yang terlalu rapuh untuk kembali berpisah dengan sang nenek yang begitu menyayanginya."Kena
"Iya, benar! Aku juga dengar kabar itu!" kesal Widi lalu memejamkan mata. "Aku lelah dengan keadaan ini!""Kalau begitu apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin pada istri cucunya itu."Tapi kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita terlalu lemah!" ucap Widi yang sadar jika ini tak bisa dia pecahkan sendiri."Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Enin sekali lagi."Aku dan suamiku akan pergi untuk sementara dan kembali saat kami sudah cukup kuat melawan mereka.""Jadi kau mau pergi?" Enin tersentak mendengar rencana Widi. Sungguh dia tak menyangka jika dia akan berpisah dengan Bram sekali lagi padahal dia masih sangat ingin bersama sang cucu yang malang."Benar!" Bram membulatkan tekatnya. "Kita tak bisa mengalahkan mereka saat ini. Kita harus menghilang sementara dan kembali saat kita sudah kuat!""Tapi kau akan kemana?" Enin semakin sedih saja mendengar percakapan keduanya. "Nin, pahamilah. Bram tak cukup cerdas untuk membangun bisnis ayahku. Kami harus sekolah lagi dengan tek
“Bram, tunggu! Kau harus dengarkan aku!!” panggil Widi, istri dari Bramasta Araya yang merupakan gitaris handal dengan terburu.“Apa?” tanya Bram dengan nada tak bersemangat.“Kau harus lihat ini,”“Apa?” ulang Bram yang sudah siap naik pentas untuk konser terakhirnya di tur 7 kotanya kali ini. “Aku tak punya banyak waktu, katakan cepat!”“Kita harus mempersiapkan acara 3 bulanan anak kita,” Wajah Bram langsung berkerut mendengar permintaan istrinya itu. “Kenapa harus ada acara seperti itu?”“Ayahku yang minta! Kita harus merayakan kehamilanku ini. Kau tak boleh tak datang,”Hah! Bram menghela nafasnya berat lalu menggelengkan kepalanya. “Kenapa urusan begini kau tanyakan sekarang,”“Ayahku yang minta, kita tak boleh tak menjalankan tradisi ini,”“Hah! Kau pasti bercanda,”“Tidak! Aku tak bercanda. Acara ini sakral untuk ayahku, jadi kamu harus pulang mempersiapkan semua ini!”“Ih! Sejak kapan urusan tak penting seperti itu harus jadi urusanku?!”“Aku tak mau tau, kita harus menur
“Hah! Enin cerita apa?” Bram terus memutar otak agar eninnya tak bercerita banyak pada siapapun tanpa membuat neneknya ini curiga.“IH! Orang Enin cuma bilang kamu sering kelelahan aja, gak ngomong yang lain.”“Benar?!”“Ya, bener, atuh. Masa Enin bohong. Memangnya kenapa? Takut amat?” Enin kembali melihat keanehan di diri cucunya itu.“Mmm!” Bram memejamkan matanya berusaha terlihat tenang. “Enin jangan bilang siapa-siapa soal Bram. Bram ini kan artis, ya. Jadi harus hati-hati. Cuma takut kalau ada yang kepo terus bikin hoax,”“Iya, Enin juga paham. Jangan takut kelewatan gitu. Ujang banyak-banyak istigfar. Enin teh sayang ke Ujang. Masa Enin tega nyebar-nyebarin berita yang bikin Ujang kena masalah,”Bram tersenyum simpul pada Neneknya dan berusaha menganggap semuanya baik adanya.“Tapi emang Ujang Cuma kelelahan, kan?”“Kenapa Enin bilang gitu?” Bram yang baru saja merasa tenang kembali merasa insecure.“Soalnya namanya artis kan banyak godaannya. Enin cuma gak mau, Ujang teh keper
“Dengar Enin dulu, Bram!”“Tapi, Nin!” Bram kembali terlihat cemas. “Sudah! Tak usah takut. Enin akan ada di sisimu, Jang. Tak apa, ya Enin bukakan pintu untuk mereka?” “Kamu harus tanggung jawab, Jang. Kamu tau kalau kamu salah kan,”Bram memanggil yakin dan Enin kemudian berdiri menuju pintu untuk menyambut tamunya. Dengan berani Enin kemudian membukakan pintu. “Selamat siang, kami dari kepolisian. Benar Bramasta Araya tinggal disini?” sapa seorang polisi berbaju preman yang tersenyum ramah pada nenek tua itu. “Benar, Pak. Cucu saya ada di dalam,” tegas Enin lalu membuka pintu rumahnya lebar untuk tiga orang anggota polisi yang berdiri di depan pintu rumahnya.“Terima kasih kerjasamanya. Kami harus bawa Bram ke kantor polisi sekarang,”“Iya!” Enin meraih tangan polisi yang berjalan paling awal. “Pak, tapi Ujang Bram saya jangan digebugin, ya!”“Digebukin?” Polisi itu menatap Enin dengan wajahnya yang tertunduk.“Iya, Pak. Enin sayang sekali sama ujang sholeh ini, mungkin dia nak
“Kami rasa cukup,” tutur polisi kemudian meminta rekanya membawa masuk kembali Bram dan teman-temannya ke ruang tahanan sementara.Riuh para wartawan yang masih ingin mewawancarai semua anggota band itu terdengar, mereka terus menyalakan lampu blitz kamera untuk mendapatkan gambar yang mereka butuhkan yang harus tayang hari ini juga.Saling dorong terus terjadi hingga akhirnya Bram masuk ke dalam ruangan dimana dia dan keempat temannya yang lain selain Kholil sudah masuk.“Karir kita usai,” bisik Bram dengan mata terpejam sembari membayangkan masa depannya yang kini jadi suram karena pengaruh buruk managernya.“Iya, tapi ya mau gimana lagi, Bro. Kalau gak gini kita tak akan pernah kuat menghadapi konser berjubel yang sudah kita tanda tangani bersama,”“Kau benar,” sahut Bram mengingat kembali jalur karir musiknya yang memang begitu padat sehingga untuk bisa tidur nyenyak saja sangat sulit bagi mereka.“Kalian siap-siap ke RSKO!” seru Swarna memasuki ruangan tempat Bram berada.“Apa se