Aku pulang dengan perasaan jengkel, mengingat aku dihukum karena ulah Adelio!
"Nggak akan lagi gue ketemu dia! Nggak akan pernah!" gerutuku memasuki rumah, namun ada kedua orang tuaku di depan pintu. Kedua orang tuaku bernama Guntur Adipurna dan Cahaya Amerta. Aku menghampiri mereka terlihat wajah tegang. "Kalian kenapa, kok keliatan ada sesuatu disembunyikan?" tanyaku memeluk Papa Guntur dari samping. Papa Guntur mengelus rambutku lembut. "Nggak ada kok sayang, kenapa berpikir seperti itu?" Aku menggeleng saja tanpa mau menjawab. "Kebetulan Papa mau bilang sesuatu," ucap Papa Guntur menghela napas panjang. Sementara aku melirik Mama Cahaya yang tidak berkata-kata tapi raut wajahnya sendu. "Sebelumnya Papa minta maaf sama kamu, apakah kamu mau menikah dengan Adelio Andres?" ucap Papa Guntur, beda denganku langsung melepaskan pelukan Papaku. Aku menganga tidak percaya kejadian ini. "Maksud Papa apa?" "Perusahaan kita tertimpa masalah sayang, Papa minta bantuan dengan keluarga Andres tapi persyaratannya kamu harus menjadi menantu keluarga Andres," jawab Papa Guntur menjelaskan. Mimpi apa aku malam tadi? Masa aku harus menikah di usiaku 17 tahun, aku juga masih kelas 2 SMA! "Aku nggak mau nikah! Aku masih kecil Pa," rengekku cemberut dengan perasaan campur aduk. Mama memelukku erat, berkata lembut. "Sayang, jika kamu nggak nerima pernikahan ini kita nggak tau nantinya masalah perusahaan kelar apa nggak." "Ma, kenapa harus aku?" balasku memelas menahan tangis. "Karena kamu yang mereka mau Ranesya," sahut Jean Adipurna, Kakakku turun dari tangga. "Kamu nggak mau bantu keluarga?" Jean menatap sendu aku, akupun terdiam. Aduh bagaimana ini? Aku bingung dengan masalahnya, kenapa harus aku jadi korban di sini. "Bayangkan kalo kita tinggal di bawah jembatan," ungkap Jean membuatku kaget. "Nggak mauu!" Aku berteriak takut, jika itu terjadi mungkin saja aku sudah seperti pemulung. Akupun terdiam, daripada impianku masuk universitas hancur, apa aku terima saja pernikahan itu? Aku memejamkan mata sejenak. "Aku mau menikah dengan Adelio Andres." "Makasih sayang, maafkan Papa," ucap Papa Guntur menatap anak keduanya merasa sedih. Mereka semua memelukku, aku hanya bisa menerima kenyataan yang pahit ini. *** Malamnya, aku sekeluarga di undang untuk menghadiri acara dari keluarga Andres. Terlihat orang-orang sangat bahagia kecuali aku. Aku digandeng Mama Cahaya ke ruangan makan, di sana terdapat Papa Guntur, Jean dan keluarga Andres. Mataku tertuju ke Adelio Andres yang menatap jutek kepadaku, aku juga tidak akan melakukan ini kalo bukan karena masalah perusahaan. Adelio Andres adalah anak tunggal dari Liam Andres, dan Delyna Anathia. Kemungkinan besar harta warisan hanya jatuh kepada Adelio. "Aduh sayang, duduk sebelahan sama Adelio ya," titah Bunda Delyna tersenyum lebar. Aku hanya mengangguk kaku, duduk dengan terpaksa. "Karena sudah berkumpul semua, maka kita lakukan pertunangan sekarang," ucap Ayah Liam melirik aku yang menganga tidak percaya. Tidak menyangka secepat itu, padahal aku kira dilakukan nanti. "Adelio, cincinnya kamu bawakan, sayang?" tanya Bunda Delyna mengalihkan pandangan kepadaku dan Adelio. "Lupa Bunda," jawab Adelio enteng. "Kamu jangan main-main di sini," sahut Ayah Liam Andres menatap tegas. Adelio memasukkan tangannya ke saku, aku berharap sekali jika cincin itu hilang saja. Keluarlah sebuah wadah cincin berwarna merah, Adelio membukanya dua cincin sangat indah, tidak dengan perasaanku yang kacau. "Ranesya, coba kamu berhadapan dengan Adelio," perintah Papa Guntur. Aku menghela napas panjang, ini terpaksa ya! Aku mengangguk. "Cepetan Ranesya, semua orang nungguin," ucap Jean tidak sabaran. Mama Cahaya menabok lengan Jean. "Sabar, ini lagi mau dipasang Kakak." Jean cengengesan, aku mengalihkan pandangan saat Adelio memasang cincin itu di jari manisku. Kepala Adelio mendekat ke telingaku. "Terpaksa doang ini, mana mau gue sama otak udang, " bisik Adelio tersenyum miring. Aku menatapnya tajam. "Gue juga nggak mau kali sama berandalan kayak lo," jawabku berbisik untung tidak terdengar orang-orang. "Kalian kenapa bisik-bisik? Udah akur aja," kata Ayah Liam tersenyum tipis. Aku melirik Adelio tersenyum manis, seolah tidak terjadi apa-apa. "Iya akur nih, Yah. Mau membangun rumah tangga bahagia," balas Adelio menyodorkan tangan suka rela. "Bisa aja kamu sayang, sekarang giliran Ranesya." Bunda Delyna mengalihkan perhatian kepadaku, sementara aku mengangguk cepat. Aku mengambil cincin di wadah itu, memasukkannya dengan kurang minat. Mimpi apa aku, bermasalah dengan berandalan dan sekarang bertunangan! "Alhamdulillah, acara kita lanjutkan dengan makan bersama," seru Ayah Liam memulainya terlebih dahulu. Mereka mengucapkan syukur, kecuali aku dan Adelio. Wajah kami berubah seratus persen masam, takdir apa yang akan terjadi kepadaku? Tolong aku!Akhirnya tidak ada gangguan ketiga manusia itu, malam ini kami rencananya ingin makan bakso di tempat langganan. Di mana waktu itu ada banci, semoga sekarang nggak ada. Takutnya Adelio risih dengannya. "Baksonya satu Mang!" seru Adelio dengan mengangkat tangannya berbentuk V. Mamang bakso itu hanya mengangguk, aku sangat senang berada di sini. Walaupun capek siang tadi, kan malamnya bisa berduaan kembali. Dalam suasana malam yang dingin dengan bintang bertaburan. "Baksonya enak?" tanya Adelio mendongak menatapku. Aku mengangguk dengan senyum manis. "Enak banget! Juaranya bakso ini mah.""Iya atuh Neng! Palinh enak bakso saya pastinya," sahut Mamang bakso itu dengan senang. Aku dan Adelio hanya terkekeh kecil, tapi memang seenak itu. Apalagi aku jarang ke sini, jadinya sangat rindu ya. "Kalo gitu gratisin kita dong, kan udah dipuji," goda Adelio ke Mamang bakso. Seketika gelengan Mamang bakso terlihat, aku hanya terkekeh. Orang jualan kok minta gratisan dasar Adelio. "Nggak u
Perjalanan kali ini tidak ada halangan sama sekali dari tiga orang gila itu, bahkan ini di bandara dijemput oleh keluarga kami. Aku merasa senang, mereka semua berada sini termasuk Jean. Walau hanya beberapa hari, setidaknya lebih baik cepat pulang daripada semua akan terbongkar seiring waktu. "Kalian ini!" kesal Jean menabok Adelio. Sementara hidungku ditariknya, ihh kenapa dia ini. Sok jadi Kakak pula yang jahil idih. "Sakit dodol," balas Adelio menatap sinis Jean hanya terkekeh. "Elah men gitu doang mah nggak sakit," kata Jean cengengesan. Pada akhirnya, Adelio membalasnya lebih kuat. Di mana kami menertawakan Jean terkena getahnya. "Gue pelan loh, lo balasnya kayak mau bunuh gue," kesal Jean menjauhi Adelio memilih mendekati Mama Cahaya. "Makanya, lo jadi Abang tuh waras dikit. Gue baru pulang nyari perkara lo," sahutku menatapnya sinis. Tidak merasa bersalah, Jean hanya tersenyum lebar. Dih apaan banget nih orang, untung gue sabar ya. Sementara Bunda Delyna memberi kode
Malamnya aku merenung, apa besok pulang saja? Daripada mereka bertiga mengira melakukan hal lebih dari ini. Bagaimanapun, Zara dan Gracia mengetahui. Jika kami memesan satu ruang, walau satu kamar aku pasti sedikit menjauh tidurnya dari Adelio. "Setuju nggak, kalo kita pulang aja besok?" tanyaku ke Adelio yang sedang makan dengan tenang. Yap, setelah seharian mengobrol dan tidur. Kami tidak kemana-mana lagi, karena mengetahui ketiga manusia itu akan merusuh. Adelio mendongak dan tatapan kami bertemu. "Gue ngikut aja," balas Adelio tersenyum. Aku menghela napas panjang mengingat beberapa hari ini bukannya bahagia. Tapi banyak hal yang tidak diduga aku rasakan, belum lagi Ghifari bisa-bisanya menghampiriku ke Bali. "Yaudah, gue mau besok pulang. Nggak betah di sini," balasku kembali memakan udang goreng tepung. Enak banget asli, kayak masakan Mamaku hehe. Jadi rindu mereka apalagi Jean huhu. Setelah selesai makan, kami ke ruang santai untuk menonton televisi. Sebenarnya sangat
Pada akhirnya kami berada di pantai, menikmati hari berdua. Namun, itu tidak berjalan semestinya. Karena gangguan dari ketiga gila itu masih berlanjut, inipun aku ditarik Ghifari untuk pergi berdua."Gue bakal ngajak lo ke tempat yang indah di sini," paksa Ghifari dengan wajah memelas. Aku melirik Adelio yang kini dipegang dua orang sekaligus, siapa lagi kalo Zara dan Gracia. Mereka ini, astaga! Aku dan Adelio ingin berlibur saja susah, pasti ada masalah datang. "Lepasin nggak! Gue nggak mau Ghifari," kataku mengamuk di depan banyak orang melintas. "Ini lagi kalian berdua, apa nggak sadar? Gue tuh mau berdua sama Ranesya," ucap Adelio terdengar dingin. Aku menatap Adelio menarik paksa tangannya sampai jeratan dari dua manusia itu terlepas. Adelio mendekatiku berusaha melepaskan aku dari Ghifari yang tidak mau mengalah. "Seharusnya lo jangan deketin Ranesya, dia bakal jadi milik gue." Ghifari berkata percaya diri. Aku tertawa karena menyadari, jika Ghifari terlalu berlebihan.
Aku menguak sangat lebar merasakan kehangatan luar biasa, saat aku membuka mata terdapat Adelio terlelap. Aku tersenyum lembut mengelus pipinya, mataku melotot karena menyadari kami tidur bersama. "Eh? Kok bisa sih," gumamku memperhatikan sekitar. Menyadari jika kami berada di kamarku, kejadian malam tadi hanya dikejar Adelio dan saling bercanda. Oh ya! Tidak sengaja tertidur berdua. Huh, syukurlah kukira kami melakukan hal berlebihan. "Duh, jangan bangun ya," kataku melepaskan diri dari Adelio perlahan. Aku berdiri menatap wajah Adelio yang begitu menawan, apa tidak salah Tuhan memberikan Adelio kepadaku?Bahkan, banyak dari cewek-cewek mengejarnya. Walaupun tingkah nakalnya membuat guru kesal, tapi dia adalah suami terbaik untukku. "Masak apa ya?" gumamku menuju dapur. Apa aku masak nasi goreng saja ya? Pasti enak banget, tapikan nggak ada peralatannya. Huh! Yasudahlah, aku memilih menonton tv di mana suara teleponku begitu nyaring di kamar. "Ganggu banget, ini jam 7 loh,"
Khusus hari ini, aku tidak ingin keluar karena takut bermasalah lagi dengan kedua makhluk gila itu. Membayangkan saja kejadian kemarin membuatku naik darah, huh! Apa aku buang saja ke lubang buaya sehingga tidak ingin merebut Adelio. "Lo kenapa sih remas remote itu kuat banget?" tanya Adelio menatapku bingung. Aku menggigit bibir bawah, saat melihatnya. Ya gimana lagi, aku masih sangat kesal tau!"Gapapa kok," jawabku seadanya dengan senyuman kecil. Kami berada di ruang santai menonton sebuah film romantis, adegannya begitu manis membuatku melayang. Tapi sesaat membayangkan tadi, moodku hancur seketika. Untungnya Adelio menyuapiku seperti sekarang. "Suka nggak?" tanya Adelio memberikanmu sebuah susu kotak. Aww, pagi-pagi sekali Adelio membawakan beberapa makanan entah dari mana. Aku yang baru bangun melihat Adelio tersenyum saat aku membuka mata, romantis bukan? "Ngelamun lagi?" kata Adelio membuatku tersadar. Aku hanya tersenyum kecil, memakan beberapa cemilan di atas meja.