Share

6. Nggak Ibu Pinjamin!

Author: Zila Aicha
last update Last Updated: 2024-04-19 01:17:24

Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya.

"Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-"

"Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.

Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran nggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu."

"Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."

Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.

Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bulek Siti saja."

Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga nggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu."

"Ya, ya. Siti sering kekurangan makanan. Lempar ke sana saja!" tambah Parlan dengan nada mengejek.

Kirana semakin heran dengan sikap kedua orang tuanya yang semakin keterlaluan. Ingin sekali dia membalas perkataan bapak ibunya itu, tapi suaminya lagi-lagi terlihat menggelengkan kepala.

"Ya udah, Pak, Bu. Kami pamit sebentar ke rumah Bulek Siti ya," pamit Rayan masih dengan nada sopan.

"Hm," sahut Parlan singkat tanpa menoleh pada dua orang itu.

Sedangkan Kirana tiba-tiba berkata, "Mas, kita pakai motor aja ya?"

Belum sempat Rayan menjawab, Herni yang mendengar perkataan putrinya itu sudah berkata dengan nada sinis, "Motor Ibu maksud kamu?"

"Nggak, nggak Ibu pinjamin," lanjut Herni sambil mengiris bawang putih.

Kirana berujar, "Kenapa nggak boleh, Bu? Kami cuman pinjam sebentar kok. Rumah Bulek Siti kan lumayan jauh, Bu. Lama nanti kalau jalan kaki."

"Lho, itu bukan urusan Ibu. Lagian, sebelumnya dia juga jalan kaki ke sini. Terus kenapa sekarang mau pinjem motor?" kata Herni sembari menaikkan alis tebalnya yang digambar dengan pensil alis.

"Nggak ada pinjem-pinjem motor segala, ntar kebablasan tiap saat pinjem. Nggak ada, nggak ada," tambah Herni ketus.

Kirana menghela napas dan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah, "Mas."

"Nggak apa-apa, yuk kita jalan kaki aja!" ajak Rayan dengan tatapan lembut.

"Yakin, Mas? Ini panas banget lho, Mas." Wanita itu melihat sinar matahari yang cukup terik di jam dua siang.

Rayan tersenyum kecil, "Lho, saya kan udah biasa cuaca begini. Ingat, Kirana. Saya kan tukang sepatu keliling, saya malah takut kalau kamu yang nggak tahan panas."

Kirana segera menggelengkan kepala, "Aku nggak masalah kok. Sering juga keluar minimarket di siang terik gitu."

"Oh, iya udah kalau gitu ayo jalan!" ajak Rayan yang siap menggandeng tangan istrinya lagi.

Kirana mengangguk tanpa berpikir panjang dan menautkan tangannya pada tangan Rayan.

Sedangkan Parlan yang melihat sepasang suami istri itu mulai berjalan pun berkomentar, "Nah, bagus tuh jalan kaki. Lebih sehat, daripada buang-buang bensin. Bensin mahal, belum tentu juga kalian mau ganti bensin motornya."

Kirana terlihat sekali ingin membalas, tapi suaminya menahan lengan gadis itu dan berkata dengan nada yang sangat pelan, "Jalan aja, Kirana!"

Dengan sedikit kesal, Kirana pun akhirnya menuruti sang suami dan berjalan berdua menjauh dari rumah kedua orang tuanya.

Setelah berjalan agak jauh, Kirana yang kebingungan dengan semua sikap suaminya itu pun bertanya dengan ekspresi tidak sabar, "Kenapa Mas nggak biarin aku buat jelasin soal restoran tadi? Terus soal motor dan bensin tadi. Ya Allah, Mas. Kita kan bisa ganti bensinnya. Kenapa Mas kayanya nggak mau aku balas perkataan mereka, Mas?"

Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Tapi, Rayan tidak langsung menjawabnya dan malah mengetik sesuatu di ponselnya.

"Mas, kok nggak dijawab? Kok malah sibuk sama ponsel sih?" tanya Kirana dengan menahan kesal saat melirik ponsel suaminya.

Rayan mengangkat wajahnya dan malah tersenyum lagi, "Maaf, ini Mas lagi hubungin taksi online."

Mulut Kirana setengah terbuka, "Hah? Taksi online? Buat apa?"

"Buat antar kita ke rumah Bulek Sitilah," jawab Rayan dengan santainya. 

Kirana berkedip-kedip, agak kaget. Tapi, sebelum dia bertanya lebih lanjut, sebuah mobil hitam plat AD melaju pelan ke arah mereka.

"Itu dia taksi online-nya!" seru Rayan.

Kirana tentu semakin terkejut. "Lho, kok cepet banget, Mas?"

Perasaan baru saja beberapa detik, enggak ada semenit kayanya. Kok bisa udah datang sih taksinya? pikir Kirana heran.

"Ya karena kebetulan dia lagi di sekitar sini saja, Kirana," sahut Rayan.

"Oh, benar juga!" balas Kirana yang tak lagi heran.

Rayan membukakan pintu mobil itu untuk Kirana. Aroma harum bunga pun langsung tercium di hidung mungilnya. 

Biasanya, Kirana akan mual jika mencium aroma parfum mobil, tapi kali ini anehnya dia tidak mual. Justru sebaliknya, Kirana merasa rileks setelah mencium aroma itu. 

Dia lalu melihat interior mobil itu dan terkesima.

"Kenapa?" tanya Rayan yang baru saja menutup pintu mobil itu dan duduk di samping istrinya.

Mobil pun sudah mulai melaju.

Kirana mendekatkan kepalanya pada telinga sang suami dan berbisik, "Kamu pinter pilih taksi online, Mas."

"Pinter gimana?" balas Rayan dengan nada pelan juga, agak heran.

"Aku memang nggak ngerti merk mobil sih, tapi kayanya ini mobil mahal jadinya nyaman aja di dalam sini. Bahkan, parfumnya nggak bikin aku mual, Mas," jelas Kirana dengan nada polos.

Rayan sontak tertawa kecil dan seketika Kirana langsung memasang wajah cemberut.

"Eh, maaf, Kirana. Saya enggak bermaksud ngetawain kamu."

Kirana masih terdiam, agak sebal. 

Rayan menjadi tidak enak dan berkata pelan, "Maafin suami kamu ini ya, Kirana. Sungguh, tadi saya hanya merasa kamu sangat lucu, tapi bukan berarti saya ngejek kamu."

Kirana menghela napas dan memilih untuk melupakan hal itu, "Ya sudah, aku maafin. Terus, gimana yang tadi? Kamu belum jawab pertanyaan aku, Mas."

Rayan tidak berpura-pura lupa dan akhirnya berkata, "Ada kalanya kita tidak perlu menjelaskan sesuatu yang orang pun terkadang belum tentu mempercayainya. Kita pun tidak harus membalas perbuatan yang tidak menyenangkan itu dengan bantahan juga."

Kirana malah terlihat bingung, "Lha terus, maksudnya harus dibalas dengan cara apa, Mas?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Asna Datau
Bagus sekali cerita nya
goodnovel comment avatar
Lia Herliani
duuh baik banget suaminya
goodnovel comment avatar
Yeyet Faranova
hehe... suami yg di idamkan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   218. Akhir

    Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   217. Terlalu Miskin?

    Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   216. Dengan Cara Apa?

    Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   215. Bagaimana Bisa?

    Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   214. Hinaan Lain

    Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek

  • Suamiku Bukan Tukang Sol Sepatu Biasa   213. Tertampar!

    Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status