Elkan hidup di rumah mewah mertuanya layaknya pembantu—direndahkan, dicibir, bahkan dilecehkan secara halus oleh para perempuan di dalamnya. Istrinya tak pernah sudi disentuh, adik iparnya gemar menggoda sambil menertawakan "kelakiannya", dan sang kakak ipar janda tak segan mengajak bermain di balik pintu kamar. Mereka mengira Elkan hanya pria miskin tak berharga—tubuh yang bisa dihina, hasrat yang bisa dipermainkan. Tapi mereka lupa… pria yang mereka hina diam-diam adalah pewaris mahkota konglomerat besar. Dan saat Elkan mulai mengambil alih segalanya, permainan berbalik. Kini, satu per satu wanita di rumah itu mulai merayunya bukan untuk mengejek… tapi karena benar-benar menginginkannya. Dan Elkan? Ia bisa memilih… siapa yang akan ia cicipi—dan siapa yang akan ia hancurkan perlahan.
View MoreLangit sore mulai merona jingga saat Elkan melangkah keluar dari halte bis tua. Ia masih mengenakan seragam kerjanya sebagai kurir barang. Di tangannya tergenggam sebuah kardus kecil berisi kue tart rasa cokelat seharga lima puluh ribu rupiah—hadiah sederhana untuk merayakan ulang tahun pernikahannya yang kedua dengan Anya, perempuan cantik dari keluarga Hartawan yang terpandang.
Ya, Elkan menikahi seorang putri dari kalangan terpandang. Sebuah kontras mencolok dengan latar belakangnya yang sederhana dan sering dipandang rendah.
Elkan adalah lelaki tampan, dengan senyum tipis. Meski penampilannya lusuh malam itu, peluh menetes dari pelipisnya, ia tetap terlihat menarik. Di dalam hatinya menyala semangat. Ia membayangkan Anya menyambutnya di depan pintu, mengenakan daster merah muda, dan berkata dengan manja, “Makasih, Sayang. Kamu ingat, ya, hari ini ulang tahun pernikahan kita?”
Namun, semua itu hanya angan. Yang menyambutnya di rumah mewah milik keluarga istrinya bukan pelukan hangat, melainkan tatapan sinis dari ibu mertuanya, Bu Mirna.
"Masih miskin dan bau keringat juga sudah berani masuk rumah ini. Coba bercermin, Elkan. Kamu itu bukan level kita," sindir Bu Mirna sembari menyesap teh dari cangkir porselen seharga gaji tiga bulan Elkan.
Elkan hanya menunduk. Ia tahu posisinya—di mata keluarga Hartawan, dia hanyalah pria miskin yang beruntung bisa menikahi sang putri. Bagai noda di atas karpet mahal, ia dianggap tak seharusnya ada.
Yang paling sering melontarkan komentar pedas adalah Citra, adik iparnya yang manja dan gemar berpakaian seksi. Sore itu pun ia muncul dengan celana pendek ketat dan tank top, menyipitkan mata ke arah kue di tangan Elkan.
"Astaga, kue supermarket? Ini ulang tahun pernikahan, bukan ulang tahun anak TK!" katanya sembari tertawa kecil.
Tak ada satu pun dari mereka tahu, pria yang mereka anggap rendahan itu menyimpan rahasia besar. Elkan sebenarnya adalah Elkan Putra Mahendra, satu-satunya ahli waris Mahendra Group—konglomerat terbesar di negeri ini. Ayahnya, Mahendra Santoso, adalah sosok misterius yang sengaja menyembunyikan Elkan sejak kecil demi menjauhkan sang putra dari intrik politik dan bisnis yang mengelilingi keluarga mereka.
Namun kini, di rumah itu, Elkan hanya dianggap sebagai pelayan, bahkan oleh istrinya sendiri.
Setelah makan malam yang canggung, Elkan mengurung diri di kamar kecil di ujung lorong lantai dua. Ia membuka ponsel, mencari pengalih perhatian dalam galeri foto kenangan bersama Anya.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. Ia membukanya, dan nyaris menjatuhkan ponsel saat melihat isinya.
Sebuah foto. Seorang perempuan dengan pakaian tidur tipis, berpose di ranjang mewah—wajahnya sangat mirip Anya.
Tangan Elkan gemetar. Di pundak perempuan itu tampak tanda lahir, persis seperti milik istrinya.
“Kalau kau pikir dia hanya milikmu, kau bodoh,” bunyi pesan di bawah foto.
Elkan tertegun. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia mencoba menyangkal, tapi bayangan-bayangan mencurigakan kembali menghantui: Anya sering pulang larut malam, telepon yang tiba-tiba dimatikan, dan tatapan dingin yang kini menjadi kebiasaan.
Apakah ini alasan Anya tak mau pindah dari rumah mertuanya? Apakah ini alasan ia selalu menolak disentuh hingga dua tahun menikah, Elkan masih perjaka? Apakah semua ini hanya sandiwara?
Esoknya, saat sarapan, Elkan memandangi Anya dalam diam. Wajah istrinya tenang, cantik seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
"Ada yang mau kamu omongin?" tanya Anya datar, sambil menyuap croissant.
Elkan nyaris menanyakan tentang foto semalam, tapi menahan diri. Ia belum punya bukti kuat. Untuk sementara, ia memilih mengamati.
Citra tiba-tiba menyenggol bahunya. “Kok bengong aja, Kak El? Galau ya? Jangan baper deh, nanti cepat tua. Lain kali kalau mau rayain ulang tahun pernikahan, bawalah kue yang layak, bukan kue murahan anak TK!”
Semuanya tertawa. Menertawakan Elkan.
Di dalam hati, Elkan bersumpah, suatu saat dunia akan berbalik. Orang-orang yang kini merendahkannya akan terdiam saat tahu siapa dia sebenarnya.
Malam harinya, hujan deras mengguyur. Elkan termenung di teras belakang rumah, mencoba menenangkan pikirannya. Kue ulang tahun yang ia beli masih utuh di kulkas, tak tersentuh. Anya masuk kamar tanpa sepatah kata, seolah tanggal itu tak berarti apa-apa.
Tak lama, ponselnya kembali bergetar.
Nomor tak dikenal.
Elkan hampir mengabaikannya, tapi rasa penasaran membuat jarinya menekan tombol hijau.
“Halo?”
Suara berat dan tua menjawab. “Elkan... Ini Paman Tirta. Dari Yayasan Mahendra.”
Darah Elkan langsung naik ke kepala. Sudah bertahun-tahun nama itu hilang dari hidupnya. Yayasan Mahendra adalah bagian dari jaringan perusahaan ayahnya, Mahendra Santoso—sosok yang selama ini hanya hadir dalam bisikan dan dokumen rahasia.
“Ayahmu... sedang sakit keras,” lanjut suara itu. “Dia ingin bertemu. Katanya, waktunya sudah dekat. Kamu harus ambil alih semua perusahaan.”
Suara deru mesin mobil sport memecah pagi yang biasanya sepi di kompleks elite Taman Nirwana. Getarannya menggema, menggelegar seperti singa lapar yang sedang memamerkan kekuasaan.Sebuah mobil Lamborghini Urus hitam doff berhenti tepat di depan garasi rumah keluarga AHartawan. Plat nomornya polos, hanya satu huruf dan tiga angka. Satu tanda: ini bukan mobil sembarangan.Dari dalam rumah, semua penghuni menoleh hampir bersamaan.Mirna—ibu mertua Elkan—menyibak tirai dengan cemas. “Siapa yang parkir segila itu di halaman kita?! Mau flexing di pagi hari? Gak tahu tata krama!”Tiara—kakak ipar Elkan yang baru datang dari Australia—melongok sambil memegang cangkir kopi. “Bisa jadi itu tetangga baru… atau tamu Daddy?”Tiba-tiba, supir berpakaian formal turun dari mobil. Mengenakan jas hitam dengan emblem emas di dada kiri bertuliskan:“Mahendra Group | VVIP Division.”Pria itu berjalan menuju pintu rumah dengan langkah pasti. Rapi. Elegan. Dominan. Seperti sedang menuju pentas, bukan pekara
“CEO...?”Thomas nyaris terbatuk kata-kata itu, seperti menelan serpihan ego sendiri. Wajahnya yang semula penuh percaya diri kini pias, matanya melirik kiri-kanan, mencari semacam pelarian—apa pun, bahkan kebohongan—untuk menutupi kenyataan.Tapi sayang, dunia nyata tidak menyediakan tombol rewind.Elkan menyandarkan punggung ke sofa, menyilangkan kaki dengan tenang.“Lucu ya, Thomas. Dulu kamu bilang aku cuma cowok kere yang nggak pantas dapat Anya. Sekarang, kamu kerja di bawah aku. Secara harfiah.”Thomas membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Bahkan Bu Mirna pun terdiam. Baru kali ini dia melihat menantunya—yang dulu dicibir sebagai ‘pengangguran ganteng’—berubah menjadi pria dengan kekuatan mutlak di genggamannya.Anya sendiri seperti kehilangan napas. Jemarinya mencengkeram sisi sofa. Matanya terpaku pada nama “Elkan Mahendra Putra” yang tertera tebal di layar ponsel. Itu bukan deepfake. Bukan editan. Itu nyata.“Mas...” ucap Anya pelan. “Kenapa kamu nggak pernah bila
Sunyi menyelimuti ruang tamu. Hanya denting halus sendok mengenai cangkir yang terdengar, ketika Elkan duduk di kursi favorit Bu Mirna—yang kini entah mengapa terasa lebih nyaman dari sebelumnya.Di hadapannya, seluruh penghuni rumah berkumpul seperti menghadiri pemakaman diam-diam.Bukan kematian seseorang, melainkan kematian ilusi kekuasaan. Ilusi yang selama ini mereka banggakan, kini perlahan dikuliti satu-satu oleh lelaki yang selama dua tahun mereka anggap tak berguna.Elkan menyilangkan kaki.“Mulai hari ini, kalian boleh tetap tinggal di sini,” katanya, kalem. “Tapi jangan lupa... kalian tinggal di rumah saya.”Anya tampak menahan napas. Citra mengatupkan rahang, sementara Bu Mirna seperti kehilangan kemampuan bicara.Hanya Tiara yang duduk dengan pandangan penuh rasa ingin tahu. Seperti sedang menyaksikan thriller nyata dalam rumah sendiri.“Apa kamu pikir ini lelucon, Elkan?” ujar Bu Mirna akhirnya. “Apa kamu sengaja mau balas dendam, hah?”Elkan menatapnya sebentar. Senyum
Elkan menoleh perlahan. Ia mengamati perempuan yang dua tahun lalu ia nikahi, perempuan yang dulu ia cintai sepenuh hati… tapi sekarang terasa seperti mimpi buruk dalam balutan parfum mahal, yang selalu tak mau ia sentuh. Kini, ia datang menawarkan diri. Anya pasti sedang mabuk saat ini, pikir Elkan, keheranan dengan sikap Anya.“Aku enggak bisa tidur,” lanjut Anya sambil memeluk dirinya sendiri. “Boleh aku tidur bersamamu malam ini?”Elkan menghela napas.“Kenapa bukan Thomas? Bukannya dia yang biasa kamu telepon diam-diam tengah malam?”Anya menunduk. “Dia jahat, Elkan. Aku… aku salah. Dia cuma manfaatin aku. Setelah dia tahu aku enggak punya kontrol atas harta keluarga, dia menjauh, setelah dia tahu ekonomi keluargaku sedang tidak baik-baik saja.”Elkan berdiri, perlahan.“Baru tahu rasanya ditolak karena miskin?” tanyanya, datar, sedikit menyindir. “Aku sudah dua tahun merasakannya. Setiap hari. Di rumah ini.”Anya menangis. “Aku minta maaf…”Elkan menatapnya. Lama. Dalam.Kemudian
Sore itu, rumah keluarga Hartawan tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa kerabat jauh dan teman-teman bisnis Bu Mirna datang berkunjung, kabarnya ingin membahas proyek kerja sama properti. Elkan hanya duduk di ujung ruang makan, seperti biasa—tak dianggap.“Eh, Mas Elkan, kamu jangan duduk di kursi situ, ya. Itu buat tamu penting,” tegur Anya pelan, tapi tajam. “Kamu biasa duduk di bangku dekat dapur, kan?”“Sudah biasa didudukkan, bukan diposisikan,” jawab Elkan datar sambil berdiri. Ia membawa gelas air ke dapur, kembali memposisikan dirinya sebagai pelengkap suasana.Namun diam-diam, Elkan memperhatikan.Salah satu pria paruh baya yang duduk berdampingan dengan Bu Mirna... wajahnya tak asing.Pak Herman Wijaya. Komisaris utama dari PT Citra Jaya Properti.Elkan menahan senyum. Jadi ini proyek yang akan mereka garap?Ia menarik napas panjang.Menarik. Mereka belum tahu siapa yang mereka ajak bicara.Setelah acara selesai, Elkan diam-diam kembali ke kamarnya. Ia membuka laptopnya,
“Sosisku mungkin besar, tapi bukan untuk dicicipi sembarang orang, apalagi sama kakak ipar sendiri!” tegas Elkan, suaranya sedikit bergetar.Susah payah Elkan menolak ajakan Tiara.Hujan semalam belum benar-benar berhenti. Kini udara pagi di rumah Hartawan terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Elkan yang masih membawa sisa resah dari malam sebelumnya—mulai dari telepon mengejutkan Paman Tirta, suara lirih Anya di balik pintu, hingga kedatangan Tiara yang nyaris membakar imannya.Setelah cuci muka di wastafel belakang, Elkan berjalan menuju dapur. Ia ingin membuat kopi sendiri karena tahu persis tak ada satu pun wanita di rumah ini yang sudi membuatkan minuman hangat untuknya, bahkan sekadar air putih.Namun, pagi ini berbeda.“Mas El, kamu mau kopi, ya?” suara Citra muncul tiba-tiba dari balik kulkas, mengejutkan Elkan.Dengan tank top ketat dan celana pendek yang terlalu pendek untuk cuaca mendung, Citra tersenyum sok manis. Aroma parfumnya lebih kuat dari
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments