Share

Bab. 2

“Maaf, Ibu bilang apa?" tanya Fitri memastikan kembali apa yang didengarnya tidak salah.

Wanita paruh baya itu terkejut dan langsung menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia tidak menduga kalau Fitri mendengar ucapannya tadi.

“Bukan apa-apa, Nak,” jawabnya. "Saya pulang dulu, ya, semoga saja suatu hari nanti kita bertemu lagi.”

Fitri melihat lagi gulungan uang seratus ribuan di tangannya. Ia tidak percaya kalau doanya dikabulkan Tuhan secepat ini. Sambil mengucap rasa syukur sekali lagi, Fitri pun kembali ke pasar. Ia ingin membeli ayam untuk suaminya.

Waktu masih menunjukkan pukul 06.00, ia masih mempunyai waktu sekitar 2 jam ke depan untuk memasak buat makan siang suaminya hingga makan malam. Setelah sampai di rumah Fitri langsung mempersiapkan Semua bahan-bahan yang akan ia masak setelah itu ia langsung eksekusi secepat mungkin.

Setelah semua masakannya sudah matang, Fitri pun memilih untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum sarapan dan mengajak suaminya untuk makan bersama.

"Mas, ayo bangun!" ajak Fitri pada Damar yang masih bergelung di bawah selimut.

Damar melirik istrinya dan bangun tanpa mengucap apa pun. Fitri sudah mulai terbiasa diperlakukan seperti itu. Ia hanya membantu Damar untuk duduk di atas kasur, kemudian melepas pakaian suaminya satu persatu.

Dengan penuh kasih sayang, Fitri membersihkan tubuh suaminya dengan lembut. Fitri hanya bisa mengelap tubuh suaminya karena tubuh mungilnya tidak sanggup jika harus mengangkat tubuh Damar yang lebih tinggi dan besar menuju ke kamar mandi dan memandikannya.

Di sela-sela Fitri mengelap tubuh suaminya, ia pun tersenyum sambil menatap wajah suaminya yang tampan. Meskipun beberapa bulan terakhir ini terlihat kumis dan jenggot yang belum dicukur, dan rambutnya yang sedikit memanjang.

"Mas, Hari ini adalah hari pertama aku bekerja di kantor pusat pabrikmu. Doakan ya semoga urusannya selesai, dan aku betah bekerja di sana," ucap Fitri kepada Damar dan memandang tepat di kedua bola matanya.

Beruntung Fitri adalah gadis yang jujur dalam bekerja dan cekatan, sehingga ia bisa direkomendasikan oleh atasannya dan Ia diterima dengan baik di kantor pusat. Lokasinya tidak jauh dari pabrik tempat Damar bekerja dahulu.

Hari ini adalah hari pertama Fitri akan bekerja di kantor pusat itu. Sebagai salah satu divisi marketing di sana.

Damar tidak menjawab, tapi Fitri bisa melihat matanya berkaca-kaca. Sejak kecelakaan, Damar memang tidak lagi sering mengungkapkan perasaannya. Meskipun begitu, Fitri tetap berusaha mengerti.

Sambil masih tersenyum, Fitri mengurus Damar hingga selesai, lalu mendudukkan Damar di kursi rodanya. Ia kemudian mendorong kursi roda itu dan membawanya ke meja makan untuk sarapan bersama.

Damar menatap masakan yang semua sudah terhidang di meja makan. Ia pun beralih menatap istrinya yang tengah menyendokkan nasi dan beberapa lauk pauk dan sayur.

"Kamu bisa masak sebanyak ini uang dari mana?" tanya Damar pada Fitri.

"Alhamdulillah, Mas, tadi ada orang baik saat aku di pasar membantunya mengangkat semua belanjaan miliknya, jadi aku diberi uang lebih," jelas Fitri pada suaminya.

“Kamu gak bohong, kan?” selidik Damar.

Fitri menoleh dengan cepat. “Apa maksud pertanyaanmu, Mas?”

“Apa lagi? Suamimu sudah lumpuh, kamu sehat dan cantik, lalu tiba-tiba dapat uang banyak untuk masak–”

“Mas!” Fitri segera menghentikan ucapan Damar. “Aku gak setega itu ninggalin suamiku untuk uang gak halal….”

Damar terdiam, mungkin sadar dengan ucapannya yang keterlaluan. Ia memang lebih sensitif setelah keadaannya begini. Namun, ia juga tampak enggan meminta maaf.

Fitri menghapus setetes air matanya yang keluar. “Ayo, cepat dimakan, Mas. Habis ini aku mau berangkat ke kantor baru,” ucapnya dengan suara serak dan bergetar.

******

Fitri sudah tiba di kantor tepat waktu sebelum jam kerja dimulai. HRD bilang, ia harus melapor terlebih dulu ke ruangan yang berada di lantai 7.

Dari kejauhan, Fitri melihat sebuah lift sudah terbuka. Ia pun cepat-cepat berlari agar tidak menunggu lift berikutnya.

“Tunggu!”

Saat ia akan memasuki lift, ia tidak sengaja menabrak seorang pria yang baru saja keluar dari lift. Hingga membuat tubuh mungilnya sedikit terhuyung dan hampir terjatuh jika pria tersebut tidak menahan tubuhnya.

Pria itu tidak sengaja memeluk tubuh Fitri dan tatapan keduanya bertemu hingga beberapa detik. Fitri hanya mengedipkan matanya karena terkejut, berbeda dengan pria itu yang tampak bengong saja dengan mata membesar.

“Ehem!”

Fitri yang merasa malu, langsung melepaskan diri dari pelukan pria yang belum ia kenal. Sedangkan pria itu menyimpulkan sebuah senyuman dan tatapan matanya tertuju pada Fitri yang saat ini terus menundukkan wajahnya.

“Mbaknya jadi naik gak?” tanya seorang karyawan yang sudah ada di dalam lift.

“E-eh, iya, Mas. Mau.”

Fitri segera melangkah masuk setelah mengucapkan permintamaafan singkat. Pria itu masih berdiri di depan lift sampai pintu tertutup, membuat Fitri mengerutkan dahi.

“Dia kenapa, ya?” tanyanya dalam hati.

Fitri akhirnya tidak mau pusing memikirkan pria itu. Lagipula ia tidak tahu apakah akan bertemu lagi atau tidak. Jadi, lebih baik Fitri fokus pada hari pertamanya bekerja.

Setelah melapor ke HRD, Fitri diarahkan ke ruangan divisinya. Di sana, ia bertemu salah satu teman lamanya yang bernama Asih. Ia merasa senang karena setidaknya ada satu orang yang ia kenal di sini.

Hari pun berganti siang, istirahat makan siang telah tiba. Asih mengajak Fitri untuk makan di kantin kantor bersama teman-teman yang lainnya sesama karyawan. Tiga puluh menit kemudian, keduanya selesai makan siang dan akan kembali ke ruangan masing-masing.

“Jadi OB baru kerjanya yang becus dong! Masa bikin kopi aja gak bisa?!”

Saat tengah melewati koridor kantor, Fitri melihat seorang staff yang tengah memarahi seorang OB. Fitri tampak tidak asing dengan perawakan OB itu, tapi ia tidak bisa mengingat pernah melihatnya di mana.

“Ngawur kamu, Fit! Kamu aja baru sehari kerja di sini,” Fitri memperingati dirinya sendiri.

Fitri melihat OB itu yang tengah disuruh berlutut dan meminta maaf di hadapan seorang wanita cantik yang berpakaian seksi dan modis.

“M-maaf, Mbak….” suara OB itu terdengar.

“Mbak?! Kamu pikir aku ini pembantu apa dipanggil Mbak?! Dasar OB gak tau diri!” Wanita itu kembali berteriak, dan hampir menyiram kopi itu ke wajah sang OB.

"Jangan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status