"Nginep di sini? Mas ngelindur, yah?" tanyaku memastikan."Enggak, La. Tolong, Mas benar-benar kacau."Penampilan Mas Ilyas memang urak-urakan. Dia hanya datang menggunakan motor, dengan baju kaos dan celana pendek. Wajahnya suram. Apa yang terjadi? kenapa hari ini, hidupku dipenuhi orang-orang galau. Awalnya Arya, kemudian Laras, dan sekarang Mas Ilyas. Mereka pikir, aku badut yang bisa menghibur dikala gundah gulana? baiklah, tak ada salahnya membantu sesama manusia, yang sedang dihampiri penderitaan perasaan."Masuk, Mas. Duduk dulu.""Makasih, La"Inginku mengusir Mas Ilyas. Biar dia tidak seenaknya tinggal di sini. Namun, tak tega melihat kondisinya. Aku percaya, dia jujur tentang keadaannya saat ini. Sebenarnya apa yang terjadi? apa mungkin sudah meletus perang dunia ke sepuluh diantara Mas Ilyas dan Nadia? ah, kenapa juga harus ke sini? Mas Ilyas pikir, aku tempat pelarian? enak saja. Aku bukan sandal jepit yang bisa digunakan kapanpun, dan dibuang seenaknya. "Nih, minum kopi
"Satu, dua, tiga!" Brugh!Aba-aba dua orang pria yang mendobrak pintu kamar Laras. Dengan kekuatan penuh, akhirnya pintu dapat terbuka. "Mbak, usir ulat bulunya," ucap Laras yang bersembunyi didekat lemari. Aku ikuti arah telunjuk Laras. Ternyata ada ulat bulu yang sedang nangkring di atas bantal. Ulat berukuran jempol manusia. Berwarna hitam, dengan bulu lebat yang nampak mekar. Akibat kehadiran makhluk imut itu, kamar Laras jadi berantakan. Vas bunga kesayangannya pecah berserakan. Selimut acak-acakan di lantai."Ya Allah, Laras. Bikin orang tua jantungan.""Hehehe, maaf, Emak. 'Kan Emak tahu, Laras dari kecil fobia ulat bulu. Ih, liat tuh Mak bulunya. Kaya jarum. Pasti gatel, dan bikin sakit dikulit."Laras memang punya fobia terhadap ulat bulu. Berawal dari sekolah dasar. Waktu itu, emak panik ketika Laras pulang bermain malah menangis. Dia menunjukan bagian paha yang tertutup rok selutut. Ternyata, ada ulat bulu nemplok di pahanya. Anak itu, memang suka bermain di kebun, lari
"Mas Arya, hiks, hiks."Laras mendekap erat pujaan hatinya. Arya nampak melirik pada sang istri. Mereka seakan saling memberi kode. Aku lihat, istri Arys hanya tersenyum. Seolah-olah membiarkan Laras mengungkapkan isi hatinya."Ras, tenang, yah," bujuk Arya."Mas Arya. Kalau boleh negosiasi, aku pengen Mas jadi jodohku. Tapi, kalau Tuhan berkata, Laras bukan jodoh Mas. Aku bisa apa?""Ras, lepasin. Malu diliatin tamu," perintahku. Namun, tak digubris sama sekali.“Bentar, Mbak. Ngertiin Laras kali ini saja, hiks, hiks,” jawab Laras tanpa melepaskan pelukannya.Dunia seakan hanya milik Laras. Dia tak perduli banyak mata yang menatap dengan anggapan yang beragam. Desas desus gosip mulai terdengar. Beberapa orang memandang tak suka dengan perlakuan Laras. Ada lagi yang memanfaatkan suasana untuk membuat konten. Sengaja memvideokan kejadian ini.Kepalaku bagai tertimpa kontener. Pusing lima belas keliling. Tak tahu harus berbuat apa. Kalau nekat memisahkan Laras dari Arya, khawatir adikku
"Ela, buka pintunya. Dasar pelakor!" teriak Nadia terus menggedor pintu.Sebilah kayu yang dibawa, berusaha mendobrak pintu, dan menghancurkan kaca. Ada sedikit rasa takut untuk membuka pintu. Takut Nadia hilang kesadaran, dan berbuat hal mengerikan. "Mbak, buka sana. Tuh, nenek gayung ngajak baku hantam.""Sana kamu yang buka, Ras. Katanya kamu kesel sama nenek gayung. Buruan buka. Mbak bantu dari belakang.""Mbak duluan deh. Asli, kali ini nyali aku ciut liat muka sangar nenek gayung. Kaya orang gila dia. Bahaya, Mbak. Orang gila lebih serem dari setan.""Ish, malah ngomong yang enggak-enggak. Buruan ambil sapu, Ras. Siap-siap yah, Mbak mau buka pintu. Apapun yang terjadi, bantuin Mbak. Biar gak jadi dodol garut.""Hahaha, Mbak lucu. Suasana genting gini masih bisa melucu. Tapi baguslah. Drama pagi ini, cukup membuat Laras lupa sama hati yang lagi patah.""Halah, lupakan perbucinan. Darurat.""Oke-oke. Maju, Mbak. Laras siap siaga dari belakang."Dengan irama jantung tak menentu, a
POV Ilyas"Arrgh! Nadia. Dia benar-benar gila. Menyesal aku memberinya kesempatan tetap menjadi istriku!"Sepanjang jalan menuju kantor polisi, aku menggerutu atas kebodohan sendiri. Kenapa tidak menyadari kejanggalan sikap Nadia? dia benar-benar kelewatan. Hampir membunuh Laras dan Ela. Memang sudah gila perempuan itu.Dari awal dia mau pergi, aku memang curiga. Tak biasanya Nadia keluar di waktu subuh. Dia beralasan ingin membeli sayuran ke pasar. "Tumben, kamu ke pasar, Dekk? biasanya 'kan yang urus dapur Mbok," tanyaku heran ketika dia sudah berpakaian rapih."Apa salahnya aku belanja? gak boleh?" responnya datar. Semenjak kecelakaan, sikap Nadia memang berubah drastis. Dia sering marah-marah, dan kadang melamun. Bahkan, sesekali aku memergokinya bicara sendirian. Aku tak berpikir aneh-aneh. Berusaha memaklumi perubahan sikapnya. Berpikir positif, mungkin Nadia butuh penyesuaian diri, dan menata hati. Supaya tegar menjadi perempuan tanpa rahim. Namun, lama kelamaan aku muak d
POV Ela Mas Ilyas datang menjenguk Laras. Emosiku naik melihatnya ke sini. Posisi di dalam ruangan hanya ada aku, dan Laras yang sedang istirahat. Emak dan Rafli sedang pulang sebentar mengambil pakaian, dan membeli makan. Aku terus memarahi Mas Ilyas. Dia bagaikan noda membandel. Disuruh pergi, masih saja berdiri. Laras sampai terbangun, karena berisik mendengar suaranya yang menyebalkan. "Mas, aku ikut."Awalnya aku senang Mas Ilyas beranjak pergi, setelah Laras menyuruhnya pulang. Namun, seseorang menelponnya. Mengatakan bahwa Nadia di rumah sakit jiwa. Rasa ingin tahuku seketika meronta-ronta. Ingin tahu kondisi Nadia. Apa yang sebenarnya terjadi kepada dia? kalau dia benar-bensr gila, apa gerangan penyebabnya? "Kamu serius, La?""Ya serius, masa aku lagi ngeprenk. Aku beneran mau liat kondisi Si Nadia. Mau tahu keadaannya.""Tapi, Laras gimana?""Gak papa, Bang. Emak dan sahabatnya Mbak Ela lagi otw.""Apa benar, La?""Iya. Bentar, tunggu Emak sama Duren balik. Bentar lagi me
"Berhenti! atau aku sakiti perempuan tua ini!"Ibu mertua terus meraung bagai kebakaran jenggot. Kedua tangan menutup telinga. Dia histeris tak karuan. Sedangkan aku, berusaha terus melantunkan ayat kursi. Berbeda dengan Mas Ilyas yang malah ikut menangis. Padahal dia laki-laki, tapi lembek."La, berhenti saja, La. Kasihan Ibu."Aku melotot ke arah Mas Ilyas. Sebagai kode agar dia diam. Bukannya membantu berdoa atau membaca ayat suci, Mas Ilyas malah mengacaukan fokusku."Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. Laa ta’khudzuhuu sinatuw wa laa naum. Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh.Man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi idznih. Ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum. Wa laa yuhiithuuna bi syai-im min ‘ilmihii illaa bi maa syaa-a. Wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaaWahuwal ‘aliyyul ‘azhiim.""Lanjutkan, Mbak. Mari kita berdoa bersama."Seorang ustad berumur lebih tua dari Mas Ilyas memberi instruksi dari belakang. Kemudian, dia maj
"Mas lepaskan. Nanti kita viral lagi. Bahaya. Ih, malu-maluin."Mataku melotot menatap pengunjung. Warung ayam bakar ini, cukup ramai, sehingga kami jadi sorot perhatian. Ada yang menatap sambil senyum-senyum. Mungkin merasa bahwa kami pasangan romantis. Ada juga yang mencibir. Seolah-olah iri."La, Mas sayang banget sama kamu," ujar Mas Ilyas masih memelukku.Ya Allah, ini manusia sudah tua tapi jiwa bucinnya masih saja mengakar. Suka sekali membuat kehebohan. Kalau aku berontak sambil berteriak penculik, tak mungkin. Lalu, aku harus apa?"Mas lepaskan. Sebelum aku tendang benda pusaka kamu," ancamku lirih tepat di telinganya."La, sebentar saja. Mas ingin mengulang momen, saat Mas melamarmu di sini."Oh tunggu, momen itu. Ketika aku memeluknya karena kegirangan mendapatkan sebuah cincin. Yah, aku ingat. Mas Ilyas mengajakku makan, ternyata di jus yang aku pesan, terdapat cincin bermata satu. Untung tidak masuk tenggorokan. Mas Ilyas memang sudah aneh ala-ala sinetron, sejak zaman