Calon suamiku membatalkan pernikahan di hari H demi menikahi adikku yang katanya lebih cantik dan berpendidikan. Tiga kali nyaris menikah, tiga kali pula calon suamiku direbutnya. Siapa sangka tiba-tiba datang laki-laki yang siap menjadi pengantin pengganti. Dia yang dihina miskin karena hanya memberi mahar empat ratus ribu itu ternyata seorang CEO.
Lihat lebih banyak"Maaf saya nggak bisa melanjutkan acara ini. Pernikahan saya dengan Senja sebaiknya dibatalkan saja," ucap mempelai laki-laki itu dengan tegas.
Wajahnya tak menampakkan penyesalan, justru terlihat lebih lega dan tenang. Di sudut lain, mempelai wanita dengan gaun putih gadingnya yang elegan tampak menitikkan air mata. Apalagi saat para tamu undangan mulai riuh, bergosip, berbisik bahkan ada yang mulai menyalahkannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu, Di? Kenapa nggak bilang jauh-jauh hari kalau memang ingin membatalkan pernikahan ini? Kasihan Senja kamu perlakukan seperti ini," ungkap laki-laki yang duduk di kursi roda itu. Anwar, dia adalah bapak kandung mempelai perempuan. "Maafkan saya, Om. Saya benar-benar nggak sanggup menikah dengan anak sulung, Om. Tapi Om Anwar tak perlu risau, saya akan tetap menjadi menantu Om jika Om mengizinkan saya menikah dengan Abel." Istighfar terdengar nyaris bersamaan di ruangan itu. Anwar pun berkaca-kaca. Ingin rasanya mengamuk dan memaki, tapi putri sulungnya itu seolah tak mengizinkan. Senja menggenggam erat punggung tangan bapaknya yang kini berdebar tak karuan. "Saya mencintai Abel, Om. Cinta saya pada Abel jauh lebih besar dibandingkan cinta saya pada Senja. Jadi-- "Jadi, kamu ingin menikah dengan Abel bukan dengan Senja, begitu?" tanya Anwar memastikan. Meski dengan suara bergetar menahan geram dan emosi, tapi sebagai seorang bapak dari kedua anak gadisnya, dia tetap harus menjadi penengah dan pemberi keputusan. "Benar, Om. Saya ingin menikahi Abel," balas Adi kembali meyakinkan. "Izinkan kami menikah, Pak. Bukan maksudku menikung Mbak Senja, tapi mau bagaimana lagi kalau memang calon suaminya lebih memilihku dibandingkan dia. Namanya cinta kan nggak bisa dipaksa." Kini Abel menimpali. Gadis itu sepertinya sudah menyiapkan semuanya, terbukti dia pun berdandan layaknya pengantin dengan kebaya warna salem yang menawan. "Kamu sudah tahu rencana Mas Adi, Bel?" lirih Senja di tengah isaknya. "Aku juga baru tahu beberapa jam lalu, Mbak. Awalnya dia ragu, tapi setelah kuminta dia berpikir lagi dan lagi akhirnya yakin jika keputusannya ini sudah bulat. Kamu nggak bisa menyalahkan aku ya, Mbak. Ini bukan kali pertama kejadian seperti ini karena dua calonmu sebelumnya pun melakukan hal yang sama. Mereka lebih memilihku dibandingkan kamu. Wajar mereka begitu karena dari sudut manapun sepertinya aku memang lebih cantik. Benar kan?" balas Abel begitu angkuh seolah tak merasa bersalah dan tak berempati sedikitpun pada kakaknya. Bulir bening kembali menetes di kedua sudut mata Senja. Dia tak menyangka jika kisah cintanya kali inipun gagal karena adiknya senasabnya itu. "Abel! Jaga bicaramu. Seperti apapun kakakmu, dia yang sudah menyekolahkanmu sampai lulus SMA bahkan membiayai kuliahmu sampai sarjana. Kamu nggak akan bisa seperti sekarang tanpa bantuannya," bela Anwar tak terima anak sulungnya disudutkan oleh adiknya sendiri, apalagi di depan banyak orang seperti ini. "Ini! Ini yang paling kubenci dari bapak. Bapak selalu membela Mbak Senja. Bapak nggak pernah mengerti perasaanku selama ini. Bapak pilih kasih. Karena itu pula aku semakin merasa nggak bersalah tiap kali menyakiti Mbak Senja. Kalau bapak nggak lumpuh,dia juga nggak mungkin rela jadi tulang punggung keluarga, Pak. Dia nggak mungkin mau membiayai sekolah dan kuliahku," cerocos Abel tanpa jeda, membuat hati Senja semakin terasa sakit seperti teriris sembilu. Perihnya tak terkira. Pengorbanan dan perjuangannya selama ini untuk keluarga terutama adiknya seolah tak ada artinya. Dia benar-benar tak menyangka jika adiknya masih menyimpan dendam, padahal selama ini dia sudah cukup banyak berkorban waktu, tenaga dan perasaan. Suasana semakin gaduh. Keributan di antara para tamu pun tak terelakan lagi. "Benar kan dugaanku? Mempelai laki-laki pasti lebih memilih adiknya, secara memang jauh lebih cantik dan menarik. Mana masih muda pula," bisik seorang wanita yang disetujui ibu-ibu lainnya. "Mungkin ada alasan lain, Bu. Bukan karena Abel yang lebih cantik." "Mana mungkin alasan lain. Dua calon sebelumnya pun lebih memilih adiknya, meski akhirnya cinta mereka kandas di tengah jalan." "Sepertinya kali ini Abel sudah lelah berpacaran, makanya siap menikah dengan laki-laki itu. Semoga saja setelah menikah, kelak dia tak lagi menjadi duri kisah cinta kakaknya." Batin Senja semakin terluka mendengar ucapan miring mereka. Ketiga kalinya dia dijodohkan dan nyaris menikah, tapi ketiga kalinya pula calon suami membatalkan perjodohan. Alasannya mungkin memang sama, lebih memilih menjalin hubungan dengan adiknya yang lebih cantik dan seksi. "Ya Allah, Adi. Kenapa kamu mempermalukan ibu begini?" lirih Kalina, ibu kandung Adi dengan berurai air mata. Wanita paruh baya itu sebenarnya memilih Senja sebagai menantunya. Kalina merasa cocok dan sudah menganggap Senja seperti anaknya sendiri. Tak menyangka jika harapannya luntur seketika saat anak semata wayangnya itu justru memilih Abel sebagai calon istri. "Maafkan Adi, Bu. Adi nggak bisa membohongi perasaan ini," balas Adi sembari memeluk ibunya. "Kenapa dadakan begini? Kenapa nggak jauh-jauh hari jika ingin membatalkan acara pernikahannya. Kasihan Senja, Nak. Dia pasti akan malu dan menjadi perbincangan banyak orang," ucap Kalina lagi diiringi isaknya yang terdengar lirih. "Maaf, Bu. Adi harus menikahi Abel apapun dan bagaimanapun caranya." Kalina mendongak. Dia menatap lekat wajah tampan anaknya, mencoba mencari tahu alasan apa yang membuat anak semata wayangnya itu mengkhianati calon menantu kesayangannya. "Apa alasanmu membatalkan pernikahan ini, Mas? Tolong jawab pertanyaanku agar aku bisa lebih ikhlas menerima keputusanmu," tanya Senja setelah mencoba menenangkan batinnya yang terluka. "Aku nggak bisa mengatakannya, Ja. Aku takut membuatmu semakin terluka. Maaf." "Katakan saja yang sejujurnya, Mas. Dengan kejujuranmu, InsyaAllah akan membuatku lebih ikhlas menerima takdirNya." "Kamu yakin?" Senja mengangguk pasrah dan berusaha menenangkan hatinya. "Alasannya sama seperti dua calon lainnya. Abel benar, aku memang lebih menyukainya karena dia cantik. Penampilannya yang menarik dan seksi membuatku tak malu sebagai seorang pacar dan suami nantinya. Kamu terlalu polos, Senja. Tak tahu fashion dan sibuk dengan dunia kerjamu sampai tak memikirkan penampilanmu sendiri. Namanya lelaki pasti lebih menyukai perempuan yang sedap dipandang, sementara kamu-- "Stop! Jangan lanjutkan ucapan sampahmu itu!" sentak Anwar begitu emosi. Kedua tangannya mengepal, nyaris melayangkan kepalannya ke wajah laki-laki itu andai Senja tak menarik tangannya kuat-kuat. ***"Ngapain kamu di sini malam-malam begini?!" sentak Tasya saat membuka pintu utama. Dia pikir asistennya yang buka, tapi ternyata Senja. Perempuan yang begitu dibencinya. "Apakah salah seorang menantu menginap di rumah mertuanya?" balas Senja dengan senyum tipis. Tasya begitu geram. Hidup yang sebelumnya begitu aman dan nyaman, akhir-akhir ini mendadak suram setelah pertemuannya dengan Langit. Terutama ketika dia tahu mantan kekasihnya itu sudah menikah bahkan memiliki istri seperti Senja. "Silakan masuk, Ma. Mama pasti kecapekan jagain papa sendirian di rumah sakit. Iya kan?" Senja tersenyum tipis lalu menutup pintu utama. "Mas Langit sedang keluar. Jadi, silakan saja kalau mama mau bicara banyak hal denganku, sesama perempuan. Tak masalah, aku akan mendengarkan dengan senang hati." Secepat mungkin Tasya menarik rambut Senja yang tertutup hijab. Senja meringis kesakitan. Dia masih mendongak mengikuti tarikan tangan Tasya yang cukup kencang. Bukannya marah, Senja justru tersenyum
"Kita ke rumah papa dulu, Sayang. Kamu belum pernah kuajak ke sana kan?" Langit membelokkan mobilnya ke jalan yang berbeda. "Boleh, Mas. Mau ngapain ke sana kan nggak ada papa," balas Senja sambil menatap wajah suaminya. "Ambil baju pengantin mama sama album foto pernikahan papa dan mama, Sayang. Semua masih tersimpan di kamarku. Mungkin kalau dulu disimpan di kamar papa, semua sudah habis dibuang atau dibakar perempuan itu." Senja manggut-manggut. Dia tak menyangka jika suaminya secerdik itu."Ternyata semua yang kusimpan itu sangat dibutuhkan saat ini. Semoga saja bisa membantu papa mengingat masa lalunya." Langit mengusap-usap dagunya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya tetap memegang stir. "Semoga ya, Mas. Kita harus berdoa dan berusaha. Kasihan papa kalau harus hidup dengan nenek lampir itu." Senja menghela napas panjang. "Betul, Sayang. Tapi nenek lampir itu bisa keok juga di tanganmu." Langit menoleh lalu mengedipkan sebelah matanya. Wajah Senja memerah seketika.
"Mas lihat ini. Foto pernikahan kita yang selalu kusimpan dalam dompet. Sebelum kecelakaan itu, kita menjadi sepasang suami istri yang saling menyayangi dan mencintai. Aku Tasya, istri Mas Dimas yang selama ini menjaga dan merawat mas di sini." Tasya memperlihatkan foto pernikahannya sembari menatap ekspresi suaminya yang masih datar. "Ini pernikahan kita?" lirih Dimas saat menunjuk selembar foto itu. Dimas mengambilnya dari tangan Tasya lalu memperhatikannya dengan seksama. "Iya, Mas. Kita sudah menikah tiga tahun lalu dan hidup bahagia. Meski usia kita cukup jauh, tapi tak menjadi penghalang kebahagiaan kita berdua karena kita saling mencintai," ujar Tasya lagi lalu mencium kening suaminya. "Sebenarnya Mas Dimas punya anak lelaki, tapi dia pergi begitu saja tiga tahun lalu dan belum kembali. Dia tak setuju dengan pernikahan kita, Mas. Dia menyukaiku, tapi aku menyukai Mas Dimas, makanya dia semarah itu. Nanti kalau dia datang, jangan percaya apapun yang dikatakannya ya? Percaya s
"Mas Dimas sudah siuman? Duh, bagaimana kalau dia ingat semua kejadian sebelum kecelakaan itu?" Tasya begitu panik. Dia tak bisa berpikir jernih jika dalam keadaan seperti itu. "Faisal. Aku harus hubungi dia untuk berjaga-jaga. Tapi dia nggak bisa diandalkan sekarang. Bisanya cuma mengancam dan meremehkanku." Lagi-lagi Tasya menggumam sembari mempercepat langkah menuju area parkir mall. "Aku harus ke rumah sakit lebih dulu dibandingkan Mas Langit. Dengan begitu, Mas Dimas pasti mengira jika selama dia koma hanya aku saja yang merawatnya. Mungkin dengan itu dia bisa memaafkan perselingkuhanku itu." Setelah sampai area basement, Tasya segera masuk ke mobilnya dan melajukan mobil itu keluar mall. Perlahan menyusuri jalan yang padat kendaraan menuju rumah sakit mitra keluarga, tempat suaminya dirawat. Dadanya berdebar tak karuan setelah sampai rumah sakit dan kini memasuki ruang ICU. Seorang dokter dan perawat masih di sana, memeriksa kondisi laki-laki yang tampak lebih kurus setelah
"Gimana filmnya? Bagus kan?" tanya Langit sembari merangkul istrinya saat keluar dari bioskop. "Bagus banget, Mas. Ada sedihnya, lucunya, gregetnya, romantisnya. Pokoknya pas." Senja memuji lalu mendongak ke arah suaminya yang lebih tinggi itu. Langit pun mencium kening istrinya sembari terus melanjutkan langkah. "Sekarang mau kemana lagi? Makan atau belanja dulu?" "Belum lapar, Mas. Belanja aja gimana? Pengin pilihin kemeja sama jas buat kamu, Mas." "Baiklah, Tuan Putri. Kita belanja dulu." Langit mengedipkan matanya, lalu mengajak Senja ke outlet pakaian langganannya. "Biasa beli di sini. Pilihin yang bagus buat suamimu, oke." Senja mengangguk lalu mulai memilihkan kemeja untuk suaminya. Tiga stel kemeja dengan warna dan motif berbeda sudah di tangan. Senja meminta suaminya ke fitting room. Beberapa mencoba akhirnya tiga kemeja menjadi pilihan Senja. Setelah itu mereka pindah ke bagian jas. Jas warna silver dan navy menjadi pilihan yang pas untuk kemejanya. "Beneran harganya
"Lengkap dan lunas. Periksa saja."Adi menyerahkan tas hitam berisi uang lima ratus tujuh puluh juta itu ke atas meja. Langit mendongak lalu membuka isi tasnya, memeriksa sesaat lalu menutupnya kembali. "Sudah tahu konsekuensinya kan? Semoga kamu nggak mengulanginya di tempat lain.""Nggak perlu sok bijak ataupun sok paling pintar. Aku lebih tahu apa yang terbaik untukku sendiri." Adi balik menatap Langit yang masih duduk di belakang meja kerjanya. Laki-laki itu menaikkan kedua alisnya lalu menghela napas panjang. "Terserah. Aku cuma sedikit memberi saran, kalaupun kamu tak terima juga bukan urusanku. Silakan keluar dari ruangan ini. Terima kasih atas kontribusinya di perusahaan ini selama setahun belakangan." Langit mempersilakan Adi angkat kaki dari ruangannya. Tanpa pikir panjang, Adi melenggang keluar. Kembali terdengar kasak-kusuk di ruangan karyawan. Adi tak peduli. Dia sudah mati rasa kerja di kantor itu sejak kasus korupsinya terungkap. Jikalaupun dia tak dipecat pun, ras
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen