Dia berubah. Dulu, dia hanya gadis remaja yang terpaksa kunikahi demi baktiku pada Umi. Tapi sekarang, setelah tujuh tahun berlalu, dia menjelma menjadi wanita dewasa yang cantik, pintar dan anggun. Bisakah aku mendapatkannya kembali di sisiku? sementara saat ini, ada lelaki lain yang bergelar calon suami?
View MoreOrang bilang menikah itu ibadah. Orang bilang menikah itu artinya sabar sepanjang hayat. Dan ya, aku mempercayai ucapan orang-orang. Karena sepertinya, setelah ijab kabul terucap dari bibir lelaki bernama Muhammad Arnaf Abidillah, lelaki berparas tampan, seorang dokter, sekaligus gus di tempat aku mondok, maka aku telah resmi menjadi istrinya. Istri yang tidak diinginkan.
Ingin menolak permintaan Umi Saroh, tapi aku tak sampai hati mengucap kata itu. Mata wanita yang begitu kusayangi selain ibu kandungku terlihat penuh pengharapan. Permohonan. Mana mungkin aku tega mengatakan tidak pada beliau. Mana mungkin aku mengatakan kalau aku tak memiliki perasaan apa pun pada putranya. Meski banyak orang yang berkata dia tampan, dia pintar, dia alim, dia pria yang sukses. Tapi bagiku, untuk apa semua predikat yang disandang, jika pada kenyataaannya, lelaki yang kini bergelar suamiku tak pernah sekalipun mau bertegur sapa denganku. Bahkan aku yakin, nanti malam, ranjang kami yang sudah dihiasi penuh warna dan megah khas kamar pengantin, pasti hanya akan teronggok begitu saja tanpa tersentuh. Dan ... aku sangat yakin, kesabaranku, penderitaanku pasti akan dimulai dari sekarang. "Kirana, ayok ke Mas Arnaf, saatnya salim." Alina adik bungsu Gus Arnaf yang usianya sama denganku memberitahu kalau aku harus menuju ke depan. Mau tak mau aku berdiri. Dengan pelan dan kepala menunduk aku berjalan diiringi langkah Alina dan Ulya, adik pertama Gus Arnaf yang usianya hanya lebih tua dua tahun dariku. Sampai di tempat ijab kabul, aku masih menunduk. Pihak MUA mengarahkanku untuk menyalami Gus Arnaf. Aku melakukan dengan patuh. Bunyi jepretan kamera mulai terdengar dan aku terpaksa berhenti agar momen yang harusnya sakral dan mendebarkan ini terbidik oleh lensa kamera. Tak berapa lama, sebuah kecupan sekilas mampir di keningku. Kecupan seringan bulu yang terasa hambar. Karena aku yakin, Gus Arnaf melakukannya karena terpaksa. Pun hatiku. "Ayok pengantin tanda tangani dulu buku nikahnya terus foto." Salah satu orang memerintahkan aku dan Gus Arnaf untuk menandatangani buku nikah dan berfoto. Kami berdua dengan patuh melakukannya. "Senyum! Nah, bagus." Sang fotografer memerintahkan aku dan Gus Arnaf melakukan berbagai pose foto. Senyum kami terbit. Senyum palsu. Rasanya aku ingin semua berakhir. Sayangnya setelah ijab kabul masih ada resepsi dan aku harus berganti baju sebanyak tiga kali. Luar biasa. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Kujalani setiap rangkaian resepsi pernikahanku dengan terus memasang senyum palsu. Jangan tanya bagaimana keadaan hatiku, hancur. Apalagi setiap sesekali melirik ke bagian tamu undangan. Ada seorang lelaki yang sejak pertama kali aku mengenal cinta, namanyalah yang selalu aku pinta pada Allah, tengah duduk terpekur sambil menatapku sendu. Ya Allah nyesek. Kami cinta tapi takdir berkata tidak. Dia bukan takdirku. Sementara Gus Arnaf? Aku pun tak yakin kalau kami akan memiliki takdir yang lama. Bahkan ketika perjodohan itu diucapkan oleh Umi Saroh, bahwa ada janji antara beliau dan mendiang ibuku, aku tak pernah sekalipun berdoa untuk pernikahanku dan Gus Arnaf. Dan aku yakin, Gus Arnaf pun pasti melakukan hal sama. Lihat saja nanti malam buktinya. Akhirnya seluruh rangkaian pernikahan ini selesai. Aku bisa berganti baju di kamar Alina dan mencopot semua atribut pengantin yang aku pakai. Alina dan kedua sahabatku yang lain tentu saja membantu. "Cieee, yang udah nikah. Hihihi, bisa ngamalin Si Qurotun, hahaha," ledek Alina padaku. Bukannya merona karena dia goda, aku malah hanya menerbitkan senyum tipis. Malas berkomentar. "Iya nih, kita bertiga kalah," ucap Moza dengan ekspresi jahilnya. "Ho'oh, tahu gini aku juga minta dilamar Kang Burhan, huwaaaa. Mana Kang Burhan baru OTW ke Kairo lagi, kyaaaa!" Kini giliran Tika yang heboh. "Salahmu sendiri, coba kamu mempertegas hubungan kalian, gak bakalan kayak gini deh! Ambigu. Mana cewek Mesir cantik-cantik, beh! Kamu bakalan dilupakan dalam waktu sebentar saja." "Idih! Moza kok ngomongnya gitu?" "Kan aku bicara fakta! Fakta Bestie." Kedua sahabatku masih asik saling berdebat hingga ketiganya entah kenapa malah langsung memberondongku dengan pertanyaan apakah aku sudah siap untuk nanti malam. Karena tak mau menjadi bahan ledekan, aku segera mencari bahan pembicaraan lain salah satunya menanyai teman-temanku pada ke mana kalau sudah menerima ijazah nanti. Moza dan Tika bercerita kalau mereka akan pulang ke rumah dan akan mendaftar di universitas yang mereka tuju. "Wah senangnya." Lalu aku menatap ke arah Alina. "Habis ini kamu rencana mau mondok di mana?" tanyaku. "Di Al Hikam. Katanya bagus di sana." "Wah, Al Hikam ya? Iya kudengar bagus." "Iya ada pondok MTs, MA dan SMK bahkan perguruan tingginya." Kedua sahabatku yang lain jadi heboh. "Iya, bagus kok. Niatku sebetulnya mau mondok di sana, tapi mendiang ibuku gak bolehin. Maunya sekitar Pekalongan aja, ya mau gimana lagi. Aku anak tunggal. Lagian kalau aku ke sana pasti gak bisa wara-wiri merawat Ibu." Begitu mengucap nama ibu, wajahku berubah jadi sedih. Ayahku meninggal saat aku berusia dua belas tahun karena kecelakaan, ibuku berjuang sendirian merawatku. Beliau bahkan memilih tak menikah lagi, selain karena mencintai Ayah, beliau tidak mau aku punya ayah tiri. Sayangnya, kebahagiaanku kembali terenggut, ibuku meninggal karena sakit dua bulan yang lalu. Rupanya selama ini, Ibu menderita penyakit kronis, tapi beliau merahasiakannya dariku. Dan kondisinya diperparah karena harus mengurusi peninggalan dan usaha Ayah yang bergerak di bidang tekstil dan batik. Karena kematian ibuku inilah, makanya pernikahanku dipercepat. Coba beliau masih hidup. "Hihihi, aku dengar sih Abah Azzam si pemilik pondok punya tiga putra cuma sayang, yang pertama udah nikah, yang kedua udah punya tunangan nah yang ketiga udah punya bakal calon istri. Duh! Padahal ganteng-ganteng banget tahu!" pekik Alina. "Iyaaaa, masa jadi bojo kedua?" "Moh!" Kompak ketiga sahabatku lalu tertawa. "Meski aku gak begitu cantik pantang jadi bini kedua!" ucap Alina lantang. "Aku juga dan ih! Gak mau dipoligami juga, bagiku cowok yang poligami itu cowok yang gak bisa jadi pemimpin yang baik. Harusnya kan cowok yang baik itu setia dan bisa menahkodai kapalnya, membimbing istrinya, ya kan?" "Ho'oh. Lagian jaman nabi sama sekarang kan beda ya?" Ketiga temanku masih asik berghibah. Aku hanya tersenyum mendengarkan ocehan Alina dan kawan-kawan. "Ki, Kiran! Ki!" Suara teriakan Alina memecah lamunanku. Kutatap ketiga sahabatku intens lalu tersenyum. "Aku ngelamun ya?" "Iya, kebiasaan." Aku hanya mengulas senyum tipis tanpa ingin memberi pembenaran. Karena memang beginilah aku, tukang ngelamun. Halu. "Ada yang dipikirkan?" Lagi. Hanya senyum tipis yang bisa kuulas untuk Alina dan kawan-kawan. "Ck, kebiasaanmu cuma senyum doang. Ngomong kenapa." "Mau ngomong apa, Lin. Kalau pada kenyataannya kini aku sudah bergelar istri, padahal kamu tahu, aku punya banyak sekali cita-cita yang entah apa bisa kuwujudkan atau tidak," ucapku lirih dengan tatapan menerawang. "Pasti bisa lah, Umi sama Mas Arnaf bukan tipe manusia yang memaksakan kehendak. Lihat saja nanti. Aku yakin, Mas Arnaf pasti akan ngijinin kamu kuliah, Umi juga." Alina mengucap dengan menggebu-gebu. Aku suka sikap optimisnya yang selalu menjadi penyemangat bagi kami berempat. "Nanti aku bantu ngomong deh sama Mas Arnaf dan Umi. Tapi, aku yakin sih, paling kamu ya kuliahnya dekat sini aja, gak mungkin jauh-jauh kan udah jadi bini." Tawa ketika temanku muncul, aku sendiri hanya mengulas senyum pedih karena ucapan Alina kembali mengingatkanku akan status baru sebagai istri. Istri yang tak diharapkan.Satu minggu ini hubunganku dan Gus Arnaf kembali renggang. Aku sebetulnya sudah bisa memaafkan Gus Arnaf. Setelah kupikir-pikir, mungkin aku juga yang salah. Kalau tidur kayak orang mati, tentu saja aku tak merasakan apa yang terjadi pada tubuhku.Belum lagi pas dia cumbu rayu, sikapku kurang tegas dan tidak menolak. Tentu saja Gus Arnaf jadi kebablasan. Lagian dia cowok. Cowok kan begitu. Katanya cinta sama si A tapi bisa bercinta dengan cewek B.Dan hal yang paling membuatku sadar karena dia suamiku. Dia berhak atas diriku. Dalam islam, istri itu punya kewajiban melayani suami. Kalau tidak mau ya kena dosa. Nah, aku sudah jelas berdosa di sini.Tapi tidak mungkin aku mengatakan kalau dia boleh menyentuhku kan? Gila kalau aku sampai bilang begitu.Gus Arnaf sendiri lebih banyak diam setelah pertengkaran kami waktu itu. Dia tidak lagi bersikap dingin atau berbicara ketus. Tapi sikap perhatiannya tetap sama. Segala kebutuhanku tetap dia perhatikan. Sama seperti aku yang selalu memperha
Aku menatap penampakkan diri di cermin yang ada di kamar mandi. Ada rasa kesal begitu mengetahui sebuah kebenaran yang baru kuketahui dikarenakan minimnya pengalamanku."Pantas saja, waktu aku mau ngolesin Autan dia bilang, katanya itu obat nyamuk oles gak bagus," dengusku."Gak bagus buat dia, bisa keracunan kalau aku nekat pake. Aih, ternyata ini ulahnya. Dasar Drakula berkedok sok gak suka. Ish, kenapa aku gak pakai Autan aja sih! Biar dia wassalam sekalian. Aku jadi janda. Tapi ... kalau dia mati, dikira aku yang ngeracunin dong. Agh!" Aku mengacak-acak rambut basahku. Aku benar-benar kesal menyadari Gus Arnaf sudah bermain curang denganku. Apanya yang gak cinta. Bilang gak cinta tapi buktinya tiap malam, badanku dia gerayangin sampai bikin tanda dimana-mana. Ah, kesel banget rasanya pas aku sudah tahu nyamuk mana yang bikin tanda merah di area leher dan sekitarnya. Dan bodohnya aku, kenapa aku gak kerasa dan malah tetap tidur kayak kebo. Padahal aku sedang dicabuli sama monster
Aku hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi aku mendapat chat berisi ancaman dari nomer asing. Sejujurnya aku sudah mempunyai dugaan siapa dalangnya tapi aku berusaha tak menggubrisnya. Fokusku kini hanyalah menjalani hidup, fokus hapalan dan masuk ke universitas. Sementara untuk masalah pernikahanku, aku memilih bersikap seperti air yang mengalir saja. Tidak mau terlalu berharap.Kutatap kembali ponselku lalu segera menghapus pesan-pesan ancaman yang masuk.“Ini orang apa gak ada kerjaan? Gangguin orang aja. Main ancem-ancem segala. Kelihatan banget butuh validasi. Heran, kenapa Gus Arnaf bisa keblinger sama cewek modelan gini. Tampang aja sok alim, kelakuan kayak memedi."Aku menaruh ponselku di atas meja lalu kembali fokus ke hapalanku. Sayangnya, baru juga dapat satu ayat, pintu kamarku terbuka dan tampaklah Gus Arnaf yang baru pulang."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam," jawabku.Aku mengernyitkan dahi, lalu segera mengambil ponsel untuk memastikan hari ini adalah hari selasa. Ter
"Kamu nyari apa?" tanya Gus Arnaf saat aku sibuk mencari minyak kayu putih di tas gendong kecil milikku."Nyari minyak kayu putih," ucapku tanpa melihatnya. Soalnya aku sibuk mencari minyak kayu putih.Aku senang karena berhasil menemukannya. Segera saja aku duduk di sisi ranjang. Tanpa membuka mukena atasan, aku langsung mengolesi leherku dengan minyak kayu putih."Kamu sakit?""Gak.""Kenapa ngolesin minyak kayu putih? Kamu masuk angin? AC-nya kegedean kah?"Gus Arnaf duduk di sampingku. Dia meraba dahiku dengan punggung tangannya."Gak panas, kok.""Aku gak panas, Gus. Cuma digigit nyamuk.""Nyamuk? Mana ada? Ruangan ini tertutup. Kamar ber-AC juga, ya gak bakalan ada nyamuk lah," ucapnya kebingungan.Aku menatap Gus Arnaf dengan wajah cemberut. Lalu dengan tergesa aku membuka mukena atasan. Sedikit menyingkirkan rambut yang mengenai leherku lalu menunjukkan banyaknya noda merah di leherku."Nih! Tuh lihat. Aku digigit Gus. Banyak banget ini. Mana gede banget bekas gigitannya. Nyam
Awalnya terasa canggung saat berjumpa dengan rekan kerja plus keluarga dari rekan Gus Arnaf. Tapi lama kelamaan aku bisa beradaptasi.Meski kuakui, para istri, maupun dokter wanita di tempat kerja Gus Arnaf ada yang berpenampilan ala sosialita, tapi bersyukur aku bisa membaur. Yah, aku selalu ingat pesan Mamah, kalau dimana pun kita berada, langit harus dijunjung, pembawaan diri jangan sampai luntur tapi tidak boleh tidak beradab. Dan itu selalu kubawa ke mana pun aku pergi seperti saat ini."Mbak Kiran usia berapa ya?" tanya dokter spesialis kandungan bernama Mala. Katanya dia termasuk seniornya Gus Arnaf. Dia sudah menikah dan punya satu anak. Anaknya berusia empat tahun. Cewek. Dan si bocil kini sedang berada di pangkuanku."Delapan belas, Dokter.""Mbak Mala. Jangan panggil dokter. Orang lagi santai juga." Senyum persahabatan dari Dokter Mala membuatku merasa nyaman."Iya Mbak." Aku pun ikut tersenyum."Mmm, masih muda banget ya. Tapi gak papa deh, penting Arnafnya suka."Aku hany
Beberapa hari ini aku merasa ada yang aneh dengan sikap Gus Arnaf. Dulu dia yang seringnya cuek padaku, terlihat lebih memperhatikan kehadiranku.Dia selalu pamit kalau akan berangkat bekerja. Gus Arnaf bekerja di RSUD saat siang. Sementara di sore hari, dia bekerja di salah satu rumah sakit swasta cukup ternama di kota kami. Sabtu minggu dia membantu di klinik temannya. Jadwalnya memang sepadat itu. Makanya untuk urusan pondok, dia cenderung bergerak di balik layar, tidak terjun langsung.Sesekali dia akan pulang larut karena kesibukannya. Anehnya, kini, kalau pulang larut, dia selalu chat aku. Bahkan bisa sehari sampai lima kali dia mengirimi chat hanya untuk bertanya hal-hal receh.Bukan hanya itu saja, beberapa kali kulihat dia membawakan jajanan untukku setiap pulang kerja, bahkan pernah dia membelikan aku beberapa stel gamis. Membuat Alina uring-uringan karena dia tidak dibelikan. Alina baru semringah saat sang kakak membelikan dia gamis juga. Tapi, ternyata dia juga membelikan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments