Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)

Meraih Cinta Mantan Istri (Kesempatan Kedua)

last updateLast Updated : 2025-05-16
By:  Bai_NaraUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
19Chapters
81views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Dia berubah. Dulu, dia hanya gadis remaja yang terpaksa kunikahi demi baktiku pada Umi. Tapi sekarang, setelah tujuh tahun berlalu, dia menjelma menjadi wanita dewasa yang cantik, pintar dan anggun. Bisakah aku mendapatkannya kembali di sisiku? sementara saat ini, ada lelaki lain yang bergelar calon suami?

View More

Chapter 1

1. Status Baru

Orang bilang menikah itu ibadah. Orang bilang menikah itu artinya sabar sepanjang hayat. Dan ya, aku mempercayai ucapan orang-orang. Karena sepertinya, setelah ijab kabul terucap dari bibir lelaki bernama Muhammad Arnaf Abidillah, lelaki berparas tampan, seorang dokter, sekaligus gus di tempat aku mondok, maka aku telah resmi menjadi istrinya. Istri yang tidak diinginkan. 

Ingin menolak permintaan Umi Saroh, tapi aku tak sampai hati mengucap kata itu. Mata wanita yang begitu kusayangi selain ibu kandungku terlihat penuh pengharapan. Permohonan. Mana mungkin aku tega mengatakan tidak pada beliau. Mana mungkin aku mengatakan kalau aku tak memiliki perasaan apa pun pada putranya. Meski banyak orang yang berkata dia tampan, dia pintar, dia alim, dia pria yang sukses. Tapi bagiku, untuk apa semua predikat yang disandang, jika pada kenyataaannya, lelaki yang kini bergelar suamiku tak pernah sekalipun mau bertegur sapa denganku. 

Bahkan aku yakin, nanti malam, ranjang kami yang sudah dihiasi penuh warna dan megah khas kamar pengantin, pasti hanya akan teronggok begitu saja tanpa tersentuh. Dan ... aku sangat yakin, kesabaranku, penderitaanku pasti akan dimulai dari sekarang. 

"Kirana, ayok ke Mas Arnaf, saatnya salim." Alina adik bungsu Gus Arnaf yang usianya sama denganku memberitahu kalau aku harus menuju ke depan. 

Mau tak mau aku berdiri. Dengan pelan dan kepala menunduk aku berjalan diiringi langkah Alina dan Ulya, adik pertama Gus Arnaf yang usianya hanya lebih tua dua tahun dariku. 

Sampai di tempat ijab kabul, aku masih menunduk. Pihak MUA mengarahkanku untuk menyalami Gus Arnaf. Aku melakukan dengan patuh. Bunyi jepretan kamera mulai terdengar dan aku terpaksa berhenti agar momen yang harusnya sakral dan mendebarkan ini terbidik oleh lensa kamera. 

Tak berapa lama, sebuah kecupan sekilas mampir di keningku. Kecupan seringan bulu yang terasa hambar. Karena aku yakin, Gus Arnaf melakukannya karena terpaksa. Pun hatiku. 

"Ayok pengantin tanda tangani dulu buku nikahnya terus foto." 

Salah satu orang memerintahkan aku dan Gus Arnaf untuk menandatangani buku nikah dan berfoto. Kami berdua dengan patuh melakukannya. 

"Senyum! Nah, bagus."

Sang fotografer memerintahkan aku dan Gus Arnaf melakukan berbagai pose foto. Senyum kami terbit. Senyum palsu. Rasanya aku ingin semua berakhir. Sayangnya setelah ijab kabul masih ada resepsi dan aku harus berganti baju sebanyak tiga kali. Luar biasa. 

Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Kujalani setiap rangkaian resepsi pernikahanku dengan terus memasang senyum palsu. Jangan tanya bagaimana keadaan hatiku, hancur. Apalagi setiap sesekali melirik ke bagian tamu undangan. Ada seorang lelaki yang sejak pertama kali aku mengenal cinta, namanyalah yang selalu aku pinta pada Allah, tengah duduk terpekur sambil menatapku sendu. Ya Allah nyesek. Kami cinta tapi takdir berkata tidak.

Dia bukan takdirku. Sementara Gus Arnaf? Aku pun tak yakin kalau kami akan memiliki takdir yang lama. Bahkan ketika perjodohan itu diucapkan oleh Umi Saroh, bahwa ada janji antara beliau dan mendiang ibuku, aku tak pernah sekalipun berdoa untuk pernikahanku dan Gus Arnaf. Dan aku yakin, Gus Arnaf pun pasti melakukan hal sama. Lihat saja nanti malam buktinya. 

Akhirnya seluruh rangkaian pernikahan ini selesai. Aku bisa berganti baju di kamar Alina dan mencopot semua atribut pengantin yang aku pakai. Alina dan kedua sahabatku yang lain tentu saja membantu. 

"Cieee, yang udah nikah. Hihihi, bisa ngamalin Si Qurotun, hahaha," ledek Alina padaku. 

Bukannya merona karena dia goda, aku malah hanya menerbitkan senyum tipis. Malas berkomentar. 

"Iya nih, kita bertiga kalah," ucap Moza dengan ekspresi jahilnya. 

"Ho'oh, tahu gini aku juga minta dilamar Kang Burhan, huwaaaa. Mana Kang Burhan baru OTW ke Kairo lagi, kyaaaa!" Kini giliran Tika yang heboh. 

"Salahmu sendiri, coba kamu mempertegas hubungan kalian, gak bakalan kayak gini deh! Ambigu. Mana cewek Mesir cantik-cantik, beh! Kamu bakalan dilupakan dalam waktu sebentar saja."

"Idih! Moza kok ngomongnya gitu?"

"Kan aku bicara fakta! Fakta Bestie."

Kedua sahabatku masih asik saling berdebat hingga ketiganya entah kenapa malah langsung memberondongku dengan pertanyaan apakah aku sudah siap untuk nanti malam. Karena tak mau menjadi bahan ledekan, aku segera mencari bahan pembicaraan lain salah satunya menanyai teman-temanku pada ke mana kalau sudah menerima ijazah nanti.

Moza dan Tika bercerita kalau mereka akan pulang ke rumah dan akan mendaftar di universitas yang mereka tuju. 

"Wah senangnya." Lalu aku menatap ke arah Alina. 

"Habis ini kamu rencana mau mondok di mana?" tanyaku. 

"Di Al Hikam. Katanya bagus di sana."

"Wah, Al Hikam ya? Iya kudengar bagus."

"Iya ada pondok MTs, MA dan SMK bahkan perguruan tingginya."

Kedua sahabatku yang lain jadi heboh. 

"Iya, bagus kok. Niatku sebetulnya mau mondok di sana, tapi mendiang ibuku gak bolehin. Maunya sekitar Pekalongan aja, ya mau gimana lagi. Aku anak tunggal. Lagian kalau aku ke sana pasti gak bisa wara-wiri merawat Ibu."

Begitu mengucap nama ibu, wajahku berubah jadi sedih. Ayahku meninggal saat aku berusia dua belas tahun karena kecelakaan, ibuku berjuang sendirian merawatku. Beliau bahkan memilih tak menikah lagi, selain karena mencintai Ayah, beliau tidak mau aku punya ayah tiri. Sayangnya, kebahagiaanku kembali terenggut, ibuku meninggal karena sakit dua bulan yang lalu. Rupanya selama ini, Ibu menderita penyakit kronis, tapi beliau merahasiakannya dariku. Dan kondisinya diperparah karena harus mengurusi peninggalan dan usaha Ayah yang bergerak di bidang tekstil dan batik. Karena kematian ibuku inilah, makanya pernikahanku dipercepat. Coba beliau masih hidup. 

"Hihihi, aku dengar sih Abah Azzam si pemilik pondok punya tiga putra cuma sayang, yang pertama udah nikah, yang kedua udah punya tunangan nah yang ketiga udah punya bakal calon istri. Duh! Padahal ganteng-ganteng banget tahu!" pekik Alina. 

"Iyaaaa, masa jadi bojo kedua?"

"Moh!" Kompak ketiga sahabatku lalu tertawa. 

"Meski aku gak begitu cantik pantang jadi bini kedua!" ucap Alina lantang. 

"Aku juga dan ih! Gak mau dipoligami juga, bagiku cowok yang poligami itu cowok yang gak bisa jadi pemimpin yang baik. Harusnya kan cowok yang baik itu setia dan bisa menahkodai kapalnya, membimbing istrinya, ya kan?"

"Ho'oh. Lagian jaman nabi sama sekarang kan beda ya?"

Ketiga temanku masih asik berghibah. Aku hanya tersenyum mendengarkan ocehan Alina dan kawan-kawan.

"Ki, Kiran! Ki!"

Suara teriakan Alina memecah lamunanku. Kutatap ketiga sahabatku intens lalu tersenyum. 

"Aku ngelamun ya?"

"Iya, kebiasaan."

Aku hanya mengulas senyum tipis tanpa ingin memberi pembenaran. Karena memang beginilah aku, tukang ngelamun. Halu. 

"Ada yang dipikirkan?"

Lagi. Hanya senyum tipis yang bisa kuulas untuk Alina dan kawan-kawan. 

"Ck, kebiasaanmu cuma senyum doang. Ngomong kenapa."

"Mau ngomong apa, Lin. Kalau pada kenyataannya kini aku sudah bergelar istri, padahal kamu tahu, aku punya banyak sekali cita-cita yang entah apa bisa kuwujudkan atau tidak," ucapku lirih dengan tatapan menerawang. 

"Pasti bisa lah, Umi sama Mas Arnaf bukan tipe manusia yang memaksakan kehendak. Lihat saja nanti. Aku yakin, Mas Arnaf pasti akan ngijinin kamu kuliah, Umi juga."

Alina mengucap dengan menggebu-gebu. Aku suka sikap optimisnya yang selalu menjadi penyemangat bagi kami berempat. 

"Nanti aku bantu ngomong deh sama Mas Arnaf dan Umi. Tapi, aku yakin sih, paling kamu ya kuliahnya dekat sini aja, gak mungkin jauh-jauh kan udah jadi bini."

Tawa ketika temanku muncul, aku sendiri hanya mengulas senyum pedih karena ucapan Alina kembali mengingatkanku akan status baru sebagai istri. Istri yang tak diharapkan. 

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
19 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status