Aditama lalu disibukan mengobrol dengan pada tukang pukul penting sembari menyantap sarapan. Dua puluh menit, semua orang telah menghabiskan sarapan masing-masing. Beberapa tukang pukul penting berpamitan kepada Aditama, beranjak dari ruangan itu lebih dulu, menyisakan Aditama dan dua kepala tukang pukul yang sangat dekat denganya di ruangan tersebut. Dua kepala tukang pukul itu adalah Heru dan Edwin.Usai Heru lebih tua daripada Edwin. Sedangkan usia Edwin selisih dua tahun lebih tua dengan Aditama. Heru direkrut sang Ayah lebih dulu daripada Edwin sejak memulai bisnis. Keduanya sama-sana tinggal di situ karena mereka telah menjadi yatim piatu, kedua orang tuanya telah meninggal, juga tidak mempunyai tempat tinggal. Dulu, Aditama tidak hanya menghabiskan waktu bersama mereka, ia juga kerap kali dilatih berkelahi oleh keduanya. Hal tersebut yang membuat keduanya lebih dekat dengan sang tuan muda keluarga Gandara. "Akhirnya Tuan Muda kembali juga setelah lima tahun pergi dar
Pukul tujuh malam. Mobil yang ditumpangi Aditama dan Panji berhenti di sebuah pelabuhan diikuti dua mobil tukang pukul di belakangnya. Mereka memarkirkan mobil di depan tumpukan kontainer. Aditama dan Panji lalu turun dari mobil, Panji langsung disibukan dengan mengeluarkan sebuah kotak kardus berisi berkas-berkas dan tas dari dalam mobil, sedangkan Aditama seketika mengedarkan pandangan ke sekeliling, ia baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Sementara itu, enam tukang pukul yang dilengkapi dengan senjata masing-masing langsung berpencar, matanya menatap awas ke sekitar, memastikan dalam keadaan aman. Selagi Aditama fokus mengamati sekitar, Panji angkat suara. "Tempat rahasia Papa Anda, Tuan." Mendengar hal itu, Aditama menoleh ke arah sumber suara. Kini Panji sudah berdiri di sampingnya, dilengkapi dengan kardus di tangan kiri, sedangkan tangan kananya menenteng tas. Aditama mencerna dalam sepersekian detik perkataan Panji, lalu manggut-manggut. Jadi, tempat ini ad
"Selamat siang, Pak Bastian." sapa seseorang di sebrang sana dengan nada riang yang tak lain dan tak bukan adalah Haryadi Bintoro. Mendadak, ekspresi wajah Bastian menjadi buruk kala mendengar sapaan itu.Disaat suasana hatinya sedang kacau balau karena terjadi masalah pada perusahaanya, tiba-tiba ada seseorang yang dulu pernah bersinggungan dengan keluarga Hermanto ... menghubunginya? Hal tersebut hanya sebuah kebetulan saja atau Haryadi Bintoro memang ada kaitanya dengan masalah yang kini sedang terjadi? "Selamat siang," balas Bastian dengan nada dingin. Di titik ini, benaknya tengah menerka-nerka. "Ada apa Anda menghubungi saya?" kata Bastian lagi. Dia kemudian menambahkan. "Tumben sekali ... bertepatan dengan sedang terjadinya masalah di perusahaan saya!"Lengang sejenak di ujung ponsel. Mendapati hal itu, Bastian semakin tidak karu-karu an. Kentara tidak sabar. "Eh, Anda menuduh saya yang telah melakukan hal demikian pada perusahaan Anda, Pak Bastian?" sahut Haryadi sete
Tak membutuhkan waktu lama untuk seseorang yang sedang dihubungi mengangkat panggilanya. "Selamat malam, Pak Bastian ... ada apa Anda menghubungi saya malam-malam begini?" sapa Haryadi ramah. Nadanya terdengar riang, sama seperti tadi siang. "Tumben sekali ... tidak seperti biasanya." Haryadi mengakhiri kalimatnya dengan kekehan. Mendengar hal itu, Bastian muak bukan main. Dia kemudian berkata. "Tidak usah kebanyakan berbasa-basi. Kau juga 'kan ... yang telah menyabotase bisnis klab malam anakku?!" semprot Bastian yang langsung menuduh Haryadi. Ia sudah tidak bersikap sopan dan segan kepadanya lagi. Peringai aslinya kelihatan. Topengnya sudah terlepas. Haryadi malah tertawa renyah di sebrang sana. Tidak merasa tersinggung.Justru, sepertinya, pria paruh baya itu malah akan merasa senang jika mendengar Bastian marah-marah. Disaat yang sama, juga terdengar tawa lain ... Bastian mengenal suara tawa itu yang tak lain dan tak bukan adalah suara tawa Edward ... anaknya! "It
Vania sedang menceritakan masalah yang terjadi pada perusahaan sang kakek, serta memberitahu jika dalang yang telah menyabotase perusahaan adalah keluarga Haryadi kepada sang suami. Sama halnya dengan Vania sebelumnya, Aditama cukup terkejut mendengar hal tersebut. Tak menyangka pula jika keluarga Haryadi akan nekat. "Keluarga Haryadi sungguh tidak main-main dengan ancamanya waktu itu jika akan membuat keluarga kita menderita, Tama!" Jelas Vania. Dia kemudian menambahkan. "Aku kira ... Pak Haryadi dan Edward sudah tidak akan berani kepada keluarga lagi kita setelah perusahaan kakek berhubungan dengan Gandara group." Aditama terdiam. Tak kunjung membalas perkataan sang istri. Ia tengah berpikir. Selagi Aditama terdiam, Vania angkat suara lagi. "Aku tahu ... kita harus berhati-hati dengan Paman dan Bibi ... mereka jelas tidak suka dengan kita ... tapi ini perusahaan Kakek, sayang. Aku kasihan dengan kakek. Aku tidak mau Kakek jadi terbebani karena masalah ini."Mendengar ucapan Va
"Pa ... Papa yakin jika Aditama akan menyelamatkan Bella dan menebusnya?!" ucap Susan dengan suara serak setelah melihat sang suami menurunkan ponsel dari telinga, sehabis berbicara dengan Aditama di telefon. Bastian tidak langsung menjawab, melemparkan ponsel lebih dulu ke arah sofa, kemudian baru menatap sang istri sembari berkacak pinggang. "Papa ... juga tidak yakin, Ma ... tapi pasti Vania tidak akan tega dengan Bella ... pasti dia akan langsung membujuk Aditama untuk menyelamatkan Bella saat tahu Bella diculik." Jawab Bastian. Dia kemudian menambahkan. "Lagi pula ... Aditama memiliki banyak uang sekarang. Jadi, bagi Aditama dan Vania ... uang 5 miliar itu merupakan nominal yang sedikit." Susan mendecakan lidah. Tetap tidak tenang. Malah semakin gelisah. "Siapa kira-kira yang menculik Bella, Pa?" ujar Susan dengan suara parau. Mendengar itu, rahang Bastian mengeras. Sudah tidak salah lagi. Pasti Haryadi yang menculik Bella!Akan tetapi, Bastian malah terdiam yang membuat Sus
Aditama memasang ekspresi wajah datar. "Aku datang sendiri." Jawab Aditama dengan nada dingin. Dia kemudian menambahkan. "Apa kau melihat ada orang lain yang datang bersamaku ke sini?" Aditama mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Pria yang berdiri di tengah itu mendengus dingin mendengarnya. "Periksa dia!" titah pria itu kepada dua anak buah yang berdiri di samping kanan dan kirinya tanpa menoleh ke belakang. Pandanganya tak lepas sedikit pun dari mengamati gerak gerik Aditama. Seketika dua anak buah pria itu langsung menghampiri Aditama dan memeriksa tubuh pria tampan itu. Merasa pria yang tengah dicek tidak membawa senjata, pun tidak menemukan barang mencurigakan, dua orang itu menatap orang yang memerintahkanya dan berkata, "Aman."Setelah mendapat kode dengan gerakan dagu, dua orang itu kembali ke tempat semula. Lalu, pria yang berdiri di tengah itu tampak berbicara dengan seseorang menggunakan alat komunikasi untuk beberapa saat, mungkin sedang menghubungi Boss-nya, mela
"Siapa Bossmu?" tanya Aditama dengan nada dingin sambil melipat tangan di depan dada. Pandanganya tengah menatap lurus ke depan. Sedangkan tubuhnya bersender pada bagasi mobil. Sementara seseorang yang sedang ia introgasi keadaanya telungkup di atas tanah dalam kendali salah satu tukang pukulnya. Tak lupa, moncong pistol masih menekan—kali ini—pindaj di kepala pria itu. Tadi, Rambo sempat berontak, melawan, yang membuatnya berakhir tidak berkutik seperti itu. "Ak ... aku tidak akan memberitahumu, bangsat!" balas Rambo setelah terdiam sebentar, kembali memberontak, tapi apa yang dia lakukan itu hanya sia-sia belaka karena tukang pukul segera bertindak. Semakin menekanya dengan kuat. Hal tersebut membuat Rambo kembali merintih kesakitan. Mendengar jawaban Rambo, Aditama tergelak. Dia kemudian berkata. "Kenapa kau tidak mau memberitahu siapa yang telah menyuruhmu?" Aditama malah mengajukan pertanyaan. Rambo berdecih mendengar pertanyaan Aditama. "Lucu sekali pertanyaanmu ... kenap