“Saya nggak nipu, saya cuma belum sempat menjelaskan yang sebenarnya sama Rani.” Dia menyahut.
“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu kerja jadi tukang bersih-bersih!” seru Rani tertahan. “Aku pikir kamu itu kerja di perusahaan besar jadi manajer atau apa ....”“Haha, jangan mimpi kamu.” Yolla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melirik Byanz. “Modelan begini mana cocok jadi manajer kantor.”Setelah puas menghina Byanz di depan mata Rani, Yolla dengan enteng melangkah pergi meninggalkan mereka berdua menuju halaman parkir.“Rani, tunggu ....”“Aku malu punya pacar seperti kamu, Byanz!” potong Rani sebelum Byanz selesai dengan ucapannya. “Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu ini cuma tukang bersih-bersih di kantor orang? Kamu sengaja menutupi ini semua? Iya?”“Aku itu cuma gantiin ayah aku untuk sementara saja,” jelas Byanz. “Kamu tahu kan kalau ayah aku kerja jadi cleaning service? Sebagai anak, sudah sewajarnya kalau aku menggantikan ayahku yang sedang sakit untuk ....”“Aku nggak mau tahu,” geleng Rani yang wajahnya nampak sama sinisnya seperti Yolla. “Aku tuh malu, Yanz. Aku nggak mau punya pacar tukang bersih-bersih, kita putus detik ini juga!”Rani langsung berbalik bahkan sebelum Byanz sempat mencegahnya, cewek itu keburu pergi dengan langkah-langkah cepat membawa setumpuk rasa kecewanya yang sangat besar.“Nasib ...” keluh Byanz sambil menggelengkan kepalanya.Sementara itu di rumahnya, Yolla baru saja tiba dan langsung pergi ke kamarnya dengan langkah-langkah ringan.“Yol, tumben kamu hari ini ceria sekali?” sapa Virny ketika berpapasan dengan putrinya di tangga. “Biasanya kamu cemberut tiap pulang kantor.”Yolla tersenyum lebar, masih terbayang dalam ingatannya bagaimana dia membongkar pekerjaan asli Byanz sebagai tukang bersih-bersih di kantornya kepada cewek tadi.“Lagi bahagia aja, Ma.” Yolla menjawab ringan. “Papa belum pulang, ya?”“Mungkin sebentar lagi,” sahut Virnie sambil melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dapur.Yolla melempar tasnya begitu saja ke atas tempat tidur, entah kenapa hatinya begitu senang sekali saat dia melihat wajah suram Byanz saat ceweknya tahu tentang pekerjaan aslinya di perusahaan.“Rasain kamu,” gumam Yolla dengan wajah sangat puas.Namun, kesenangan Yolla atas kesengsaraan Byanz tidak berlangsung lama. Lebih tepatnya saat Sony tiba-tiba menyinggung tentang CEO baru yang akan menghuni kantornya tidak lama lagi.“Pa, aku kan sudah berusaha menyelesaikan pekerjaanku dengan sangat baik.” Yolla mengeluh. “Kenapa Papa masih harus repot-repot mencari orang lain untuk mengisi jabatan itu sih?”Virnie tidak berkomentar apa-apa karena dia tidak ingin mendahului kepentingan suaminya.“Masalahnya papa butuh orang yang berkompeten sekarang juga,” jawab Sony jujur.“Jadi maksud Papa aku nggak kompeten?” sahut Yolla sambil meletakkan sendoknya. “Aku kurang bisa diandalkan, begitu maksud papa?”Sony menarik napas.“Papa percaya kamu bisa diandalkan suatu saat nanti,” katanya lambat-lambat. “Tapi untuk sekarang ini, papa butuh seseorang yang berkompeten sambil nunggu kamu lebih siap. Tenang saja, CEO baru ini tidak akan mengganggu jabatan kamu sama sekali di kantor.”Yolla tidak berkomentar apa-apa, tetapi raut wajahnya kelihatan tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan sang ayah.“Terus kapan orang itu akan datang?” tanya Yolla sambil melanjutkan menyantap makanannya lagi.“Secepatnya,” jawab Sony tanpa ragu-ragu.Hari-hari berikutnya, Yolla merasa hatinya tidak begitu tenang saat bekerja. Dia terus menebak-nebak seperti apa orang yang begitu ayahnya dambakan untuk mengisi jabatan CEO di perusahaan ini.“Awas aja kalau dia berani mengusik kinerjaku,” gumam Yolla di sela-sela pekerjaannya.“Kenapa sih kamu, gelisah amat?” komentar Sisty saat menemani Yolla makan siang di resto dekat kantor.“Sebentar lagi bakalan ada CEO baru di perusahaan papa aku,” jawab Yolla lesu.“Oh, aku kira ada apa ...” tanggap Sisty santai. “Terus kenapa kamu kelihatan nggak suka begitu, merasa tersaingi atau gimana?”Yolla menoleh menatap Sisty sambil menaikkan sebelah alisnya, seolah sahabatnya itu baru saja mengatakan hal yang berlumur dosa.“Jelas aku nggak sukalah!” sahutnya segera. “Kan udah ada aku yang jadi CEO, anak pemilik perusahaan pula ... Apa yang akan dikatakan pegawai yang lain kalau mereka tahu papaku malah merekrut orang buat jadi CEO baru?”Sisty menggaruk-garuk kepalanya dan tidak menjawab.“Kelihatan banget kan kalau aku seolah nggak becus kerja,” sungut Yolla lagi. “Papaku benar-benar menjatuhkan nama baikku di sini, kok tega ....”“Asyik kan, kamu malah ada temannya buat ngobrol soal kerjaan?” komentar Sisty. “Aku jadi membayangkan kalau yang gabung di perusahaan ayah kamu itu adalah pria muda, ganteng, pintar, kaya ... pokoknya mirip-mirip seperti yang ada di drama-drama televisi.”Yolla menghela napas, jawaban konyol Sisty justru membuat hatinya tambah semakin mendongkol terhadap keputusan sang ayah.Hingga hari yang paling dibenci Yolla itupun tiba.Pagi itu Sony meminta sebagian karyawannya berkumpul di ruangan rapat termasuk Yolla sendiri.“Terima kasih karena kalian sudah meluangkan waktu di pagi hari ini,” ucap Sony membuka pembicaraan. “Saya ingin memperkenalkan seseorang yang akan bergabung dengan perusahaan ini. Dia adalah Babyanz Avinskie, silakan.”Mata Yolla melebar saat seorang laki-laki muda muncul dari balik bahu ayahnya.“Si office boy,” gumam Yolla tak percaya. Jadi dia yang akan ditunjuk ayahnya sebagai CEO baru? Ayahnya pasti bercanda!“Selamat pagi, nama saya Byanz. Saya akan berusaha sebaik mungkin untuk melaksanakan kewajiban saya di perusahaan ini, mohon bantuannya.” Byanz berkata dengan bahasa formal seraya menganggukkan kepalanya dengan sopan.Yolla tentu saja menganggap bergabungnya Byanz di perusahaan ayahnya adalah sebuah lelucon konyol yang nyata dan harus ditentang detik itu juga.“Papa nggak salah nunjuk orang? Si Babangs ini kan ....”“Namanya Babyanz, Yol.” Sony meralat dengan tenang.“Apalah namanya nggak penting,” sahut Yolla tidak sabar. “Bukannya dia ini ... adalah office boy di kantor kita, Pa?”“Byanz selama ini hanya menggantikan ayahnya yang sakit,” jawab Sony sambil memandang Yolla sementara Byanz memilih untuk diam selama tidak ada yang menyuruhnya bicara.“Tapi tetap aja dia itu nggak pantas, Pa ...” Yolla nampak kesulitan mencari padanan diksi yang pas untuk mengungkapkan betapa gilanya memilih mantan office boy untuk mengisi jabatan CEO di suatu perusahaan besar seperti ini.“Baiklah, silakan kalian kembali bekerja.” Sony tampak tidak terlalu ambil pusing dengan masalah Yolla yang keberatan dengan keputusannya. “Pak Byanz, biar Mita yang akan mengantar kamu ke ruangan.”“Terima kasih banyak, Pak Sony.” Byanz menyahut sambil mengangguk hormat.Mita sendiri tidak kalah terkejutnya saat tahu bahwa Byanz telah bergabung di perusahaan tempatnya bekerja.“Kamu yang kemarin nolong saya, kan?” tanya Mita takut-takut saat berjalan menuju ruangan Byanz.“Iya, mungkin ...” jawab Byanz ragu-ragu. “Terima kasih ya, kamu sudah mau mengantar saya?”“Sama-sama Pak,” angguk Mita, terkesima dengan kesopanan yang diperlihatkan Byanz kepadanya.Bersambung—"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k