LOGINAlya tak pernah berpikir hidupnya akan berubah secepat itu. Sejak kecelakaan membuat suaminya lumpuh, ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawat Damar. Siang malam ia menjadi perawat, sahabat, sekaligus istri yang setia—meski sering harus menelan air mata sendiri. Bertahun-tahun perjuangan dan doa akhirnya membuahkan hasil. Damar sembuh, bisa berjalan lagi, dan kembali bekerja. Alya bersyukur, ia percaya kesetiaan selalu berbuah manis. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Di balik senyum Damar yang kembali cerah, tersembunyi sebuah pengkhianatan. Alya menemukan kenyataan pahit: lelaki yang pernah ia jaga di saat tak berdaya, kini membagi hatinya pada perempuan lain. Kesetiaan Alya diuji. Antara bertahan dalam luka, atau pergi demi menyelamatkan harga diri dan hatinya sendiri. Karena kadang, kehancuran rumah tangga bukan datang saat badai, melainkan saat seseorang yang kita rawat justru memilih meninggalkan kita.
View More“Kenapa aku harus hidup begini, Ly?!” suara Damar pecah malam itu.
“Aku ini lelaki gagal! Tidak bisa jalan, tidak bisa kerja, bahkan untuk ke kamar mandi pun harus dibantu. Untuk apa aku masih hidup?” lirih Damar.
Alya yang sedang menuangkan air hangat ke baskom berhenti sejenak. Ia menoleh, menatap suaminya dengan mata jernih. Tak ada air mata, tak ada wajah iba hanya ketenangan yang entah dari mana datangnya.
“Kau masih hidup karena Tuhan belum ingin memanggilmu, Dam,” jawabnya pelan tapi tegas.
“Dan karena aku masih di sini, di sampingmu. Kalau kau menyerah, semua perjuanganku akan sia-sia.”
Damar membuang muka, rahangnya mengeras. “Kau terlalu sabar. Kalau aku jadi kau, aku sudah pergi sejak lama.”
Alya tidak menanggapi. Ia membawa baskom ke hadapan suaminya, lalu dengan sabar mengangkat kaki Damar, mengusapnya dengan kain hangat. Gerakannya lembut, tapi penuh ketegasan seorang wanita yang tahu apa yang ia lakukan.
“Dulu aku menikah denganmu bukan hanya untuk saat kau gagah dan sehat,” ucap Alya sambil menunduk, tangannya tetap sibuk menusap kaki Damar.
“Aku menikah denganmu untuk seluruh perjalanan hidup, termasuk saat kita jatuh sejatuh-jatuhnya," lanjut Alya.
Damar terdiam. Napasnya berat, tapi kata-kata Alya menembus egonya yang rapuh.
Enam bulan sebelumnya, hidup mereka begitu berbeda.
Alya masih ingat jelas telepon yang ia terima malam itu. Suara panik seorang polisi di ujung sana: “Ibu Alya? Suami Anda, Pak Damar, mengalami kecelakaan di tol. Mohon segera ke RS Cakrawala.”
Tangannya langsung gemetar. Ia berlari keluar rumah tanpa sempat mengenakan jilbab dengan benar, jantungnya berpacu begitu keras seolah hendak pecah.
Di lorong rumah sakit, ia hampir roboh saat melihat tubuh Damar terbaring dengan selang dan perban di mana-mana. Darah mengering di wajahnya, dan alat bantu pernapasan menutupi mulutnya.
“Dokter, suami saya… bagaimana keadaannya?” suaranya lirih, hampir tak keluar.
Dokter menatapnya serius. “Ada luka parah di tulang belakang. Kami akan lakukan operasi segera, tapi kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan permanen.”
Seakan seluruh dunia runtuh menimpa kepalanya.
Saat operasi selesai dan Damar akhirnya sadar, ia menatap Alya dengan mata kosong. “Aku… lumpuh, Ly. Kalau kau mau pergi, pergilah. Aku tidak akan menahan.”
Alya menelan sesak di dadanya, lalu menggenggam tangan suaminya erat-erat.
Itu adalah sumpah baru yang ia ucapkan tanpa sadar, sumpah yang kemudian mengikat langkahnya dalam hari-hari terberat mereka.
Flash Back Off
Damar menarik napas panjang. “Aku muak menjadi beban.”
Alya menatapnya, kali ini lebih tajam. “Kalau kau benar-benar merasa beban, buktikan dengan berjuang. Jangan hanya marah. Kau punya aku, Dam. Aku berdiri di sampingmu bukan untuk mendengar keluhan, tapi untuk melihat kau mencoba.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak lambat namun menusuk.
Damar menunduk. Untuk pertama kalinya malam itu, ia tidak membalas. Sementara Alya melanjutkan pekerjaannya, wajahnya tetap tenang meski dalam hati ia tahu: perjalanan mereka masih panjang dan melelahkan.
Malam itu, setelah selesai membersihkan tubuh Damar dengan kain hangat, Alya duduk di kursi kayu di samping ranjang. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang jatuh ke wajah pucat suaminya.
“Tidurlah, Dam. Besok kita coba lagi latihannya,” ucap Alya lirih sambil merapikan selimut.
Damar tidak menjawab. Matanya kosong menatap langit-langit. Nafasnya berat, penuh sesal, seakan hidupnya sudah tidak punya arti. Alya tahu, perang sedang berlangsung di dalam hati lelaki itu antara menyerah pada takdir atau mencoba melawannya.
Alya berdiri, hendak mematikan lampu, ketika suara serak Damar terdengar.
Alya menoleh, menatap lurus ke arah suaminya. “Aku sudah menjawab itu berkali-kali, Dam. Kau bisa saja meragukan dirimu, tapi jangan pernah meragukan aku.”
Damar menutup mata, memilih diam. Malam itu mereka tertidur dengan hati masing-masing yang masih penuh luka.
***
Keesokan paginya, Alya sudah bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiapkan sarapan, menata obat di meja, lalu membantu Damar bangun dari ranjang. Lelaki itu menolak.
“Aku tidak lapar,” katanya dingin.
“Kau harus makan untuk minum obat,” balas Alya singkat.
“Aku muak dengan semua ini, Ly! Kau tidak lelah?” Damar meninggikan suara.
Alya menghentikan tangannya, lalu menatapnya tegas. “Aku lelah, Dam. Sangat lelah. Tapi aku tetap di sini, bukan? Jadi jangan paksa aku mendengar alasanmu untuk menyerah.”
Keheningan menyelimuti kamar. Damar akhirnya menunduk. Ia tahu, istrinya tidak akan mengasihaninya. Dan mungkin, itu satu-satunya alasan kenapa ia masih berusaha.
Hari-hari setelahnya penuh dengan rutinitas melelahkan. Alya membimbing Damar melakukan latihan sederhana: menggerakkan jari kaki, mencoba mengangkat paha, hingga belajar duduk tegak tanpa bantuan.
Setiap usaha selalu diiringi keluhan.
Meski bibirnya sering mengeluh, tubuh Damar tetap bergerak mengikuti instruksi. Alya tidak membiarkan kelemahan menguasai mereka. Ia tahu, menyerah berarti mengubur seluruh harapan.
Malam-malam mereka pun berbeda. Alya duduk di meja kecil, menulis catatan kemajuan Damar.
Hari ini bisa angkat kaki 5 detik… hari ini berdiri dengan penopang 10 langkah… Catatan itu menjadi pengingat bahwa sekecil apapun hasilnya, mereka tetap bergerak maju.
***
Suatu malam, Damar terbangun dengan napas memburu. Alya yang tidur di kursi segera menghampiri.
Damar mengusap wajahnya. “Kalau saja malam itu aku tidak ugal-ugalan di tol, semua ini tidak akan terjadi.”
Alya menatapnya, lalu berkata pelan tapi mantap, “Kalau saja aku tidak menikah denganmu, aku tidak akan ada di sini sekarang. Tapi aku memilih. Dan aku tidak menyesal.”
Damar tercekat. Kata-kata itu menghantam keras, membuatnya menahan tangis. Tapi ia tetap membalikkan badan, enggan menunjukkan kelemahannya.
***
Waktu berjalan. Tiga bulan berlalu sejak kecelakaan. Latihan yang berat perlahan membuahkan hasil. Kini Damar bisa menggerakkan kakinya, meski masih lemah. Dengan bantuan tongkat, ia sudah bisa berjalan beberapa langkah.
“Luar biasa, Pak Damar,” puji terapis suatu siang.
“Dengan latihan rutin, besar kemungkinan Anda bisa pulih hampir sepenuhnya," lanjut terapis.
Untuk pertama kalinya, Damar tertawa kecil. Matanya kembali berbinar. Alya ikut tersenyum, meski dalam hatinya masih ada rasa was-was.
Karena bersamaan dengan kesembuhan itu, ia melihat sesuatu berubah dalam diri suaminya. Damar mulai lebih sering berdiri di depan cermin, merapikan rambut, meminta parfum kesukaannya, bahkan sesekali bertanya tentang kabar teman-teman lamanya.
Itu pertanda baik, pikir Alya. Tapi ada tatapan dalam mata Damar yang membuatnya resah tatapan seorang lelaki yang mulai haus akan pengakuan lagi.
Malam itu, Alya sedang menyiapkan sup ketika Damar duduk di kursi makan dengan tongkat di sampingnya.
“Ly,” panggilnya.
“Ya?”
“Kalau aku sudah benar-benar sembuh… kau masih mau mengurusku seperti ini?”
Alya menghentikan adukan, menoleh, lalu menatapnya tajam. “Aku mengurusmu bukan karena kau lemah. Aku mengurusmu karena aku istrimu. Kalau kau sembuh, itu justru yang paling kuinginkan.”
Damar tersenyum samar, lalu menunduk. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Tapi Alya merasakan sesuatu yang ganjil di balik pertanyaan itu.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa badai besar justru akan datang ketika hujan mulai reda.
Beberapa minggu berlalu sejak malam itu di balkon apartemen Alya.Hubungan Alya dan Arsen semakin hangat mereka mulai saling terbuka, berbagi kebiasaan kecil, tawa ringan, bahkan percakapan panjang tentang mimpi-mimpi masa depan. Tapi, seperti bayangan yang selalu menempel, Damar kembali hadir di kehidupan mereka.Sore itu, Alya sedang menyiapkan dokumen untuk presentasi di rumah.Arsen duduk di sofa, membaca majalah desain. Mereka tertawa kecil membahas proyek baru yang sedang digarap Arsen. Kehangatan itu membuat Alya merasa aman, seolah dunia bisa tenang sejenak.Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi muncul nama Damar.“Alya, bisakah kita bicara? Aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin kesempatan kedua." Isi pesan dari Damar.Alya menatap layar, napasnya membeku sesaat. Tangan yang menahan dokumen hampir jatuh.Ia menatap Arsen yang masih fokus membaca, lalu menelan ludah. “Arsen… ini Damar.”Arsen menutup majalah, menatapnya dengan tenang tapi tajam. “Apa dia minta ketemu?”Alya
Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Arsen di kafe.Alya mencoba fokus bekerja, menulis, berolahraga, dan menjaga ritme hidupnya tetap stabil. Tapi di sela-sela waktu sunyi, pikiran tentang Arsen selalu kembali. Tentang cara pria itu menatapnya tanpa menuntut, tanpa menyalahkan, tanpa mengasihani.Dan justru itu yang membuat Alya takut.Malam itu, ia duduk di balkon apartemennya. Angin laut membawa aroma asin, langit penuh bintang samar di balik awan tipis. Di meja kecil, secangkir teh melati mengepul pelan.Ia membuka laptopnya, mencoba menulis. Tapi baru beberapa kalimat, pikirannya kacau lagi.Ponselnya bergetar. Nama Arsen muncul di layar."Aku nggak tahu kamu mau jawab atau nggak. Tapi aku di bawah, di depan gedungmu, aku cuma mau bicara. Sekali ini aja," isi pesan dari Arsen.Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi bukan karena takut. Karena ia tahu, kali ini ia harus menentukan arah hidupnya.Ia mengambil shawl, turun dengan langkah mantap.Arsen
Alya berdiri diam di ambang pintu, memandangi sosok Arsen yang masih basah kuyup.Hujan di luar belum reda, tapi entah kenapa, kehadiran pria itu membuat ruangan apartemennya terasa lebih hangat dan berbahaya sekaligus.“Kenapa kamu datang, Sen?”Suaranya pelan tapi berat. “Aku pikir kamu butuh waktu sendiri.”Arsen menarik napas panjang. “Aku memang mau kasih kamu waktu. Tapi setelah tahu kamu ketemu Damar hari ini, aku nggak bisa diam.”Alya membeku. “Kamu tahu?”“Teman di kantormu cerita,” jawab Arsen tenang. “Aku nggak bermaksud ngawasin kamu, tapi aku khawatir.”Alya menatapnya lama. Mata itu… mata yang dulu hanya penuh dingin profesionalisme, kini menyimpan sesuatu yang lebih dalam takut kehilangan.Ia berjalan pelan ke arah dapur, menyiapkan dua cangkir kopi tanpa menatap Arsen. “Kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak akan jatuh dua kali pada orang yang sama.”“Bukan itu maksudku,” suara Arsen sedikit serak. Ia melangkah mendekat. “Aku cuma takut… kamu belum benar-benar bebas dar
Matahari sore menembus jendela kaca kafe tempat Alya duduk. Di depannya, laptop terbuka, tetapi jarinya hanya menatap layar kosong. Sudah setengah jam dia tidak mengetik apa pun. Pikirannya melayang ke arah yang tidak ingin ia akui tentang Arsen.Sejak beberapa minggu terakhir, pria itu hadir terlalu sering. Di kantor, di lobi apartemen, bahkan di pesan singkat sederhana yang selalu berujung pada percakapan panjang.Awalnya, Alya pikir kehadiran Arsen hanya sebagai rekan kerja yang perhatian. Tapi perlahan, tatapan hangat itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam… sesuatu yang membuat dadanya bergetar, tapi juga takut.“Masih belum bisa fokus, ya?”Suara berat itu membuyarkan lamunannya. Arsen datang tanpa mengetuk, membawa dua gelas kopi panas.Alya tersenyum samar. “Kamu memang jago banget muncul di waktu yang tepat.”Arsen duduk di seberangnya, matanya tajam tapi lembut. “Atau kamu memang selalu butuh aku di waktu yang salah.”Alya menatap pria itu pria yang kini mulai mengisi r
Sudah tiga minggu sejak Alya meninggalkan rumahnya dengan Damar. Rumah besar itu kini bagai bangunan kosong tanpa jiwa. Tak ada lagi tawa kecil, tak ada aroma kopi buatan Alya di pagi hari, hanya sunyi yang memantul di setiap dinding.Damar bangun pagi dengan mata bengkak, duduk di tepi ranjang, menatap sisi tempat tidur yang kosong. Dulu, tangan Alya akan menggenggam tangannya pelan, menanyakan apakah ia butuh bantuan berdiri. Kini, hanya udara yang menjawab.Ia berjalan ke dapur, membuka lemari, semua masih sama, kecuali toples gula yang sudah kosong. Alya selalu mengisinya tiap akhir pekan. Kini, benda kecil itu terasa seperti simbol kehilangan yang lebih besar dari apapun.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil di pinggir Denpasar, Alya memulai harinya dengan sederhana. Kopi hitam, buku catatan di samping laptop, dan musik instrumental yang pelan mengisi ruang. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak tenang tapi ketenangan itu bukan tanpa luka.Di l
Malam itu, di gedung kantor Damar sudah terlihat sepi. Lampu-lampu lorong berpendar redup, membentuk bayangan panjang di lantai marmer. Alya berdiri di ujung koridor, napasnya perlahan, langkahnya mantap. Hatinya sakit, tapi ia menahan segalanya amarah, kecewa, dan rasa sedih yang ingin meledak. Ia ingin melihat sendiri… agar tak ada lagi keraguan.Di balik kaca ruang rapat, ia melihat pemandangan yang selama ini menghantui pikirannya:Damar dan Karina duduk terlalu dekat. Tangan Damar di pinggang Karina, wajah mereka nyaris bersentuhan. Tawa kecil Karina terdengar ringan, tapi menusuk seperti pisau. Damar tersenyum santai, tanpa rasa bersalah. Mereka bercumbu, bebas, seakan dunia hanya milik mereka berdua.Rasa sakit menekan dada Alya. Tubuhnya gemetar, tapi wajahnya tetap tenang. Air mata menitik, tapi ia menahannya. Ia mengumpulkan seluruh keberanian, melangkah masuk ke ruang rapat.Damar menoleh, matanya melebar saat melihat Alya berdiri di pintu. Wajahnya pucat, tangan gemetar.“






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments