Pengkhianatan di Balik Kesetiaan

Pengkhianatan di Balik Kesetiaan

last updateLast Updated : 2025-10-11
By:  Dinda CahyaniOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
18Chapters
195views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Alya tak pernah berpikir hidupnya akan berubah secepat itu. Sejak kecelakaan membuat suaminya lumpuh, ia menyerahkan seluruh hidupnya untuk merawat Damar. Siang malam ia menjadi perawat, sahabat, sekaligus istri yang setia—meski sering harus menelan air mata sendiri. Bertahun-tahun perjuangan dan doa akhirnya membuahkan hasil. Damar sembuh, bisa berjalan lagi, dan kembali bekerja. Alya bersyukur, ia percaya kesetiaan selalu berbuah manis. Namun, kebahagiaan itu hanya sementara. Di balik senyum Damar yang kembali cerah, tersembunyi sebuah pengkhianatan. Alya menemukan kenyataan pahit: lelaki yang pernah ia jaga di saat tak berdaya, kini membagi hatinya pada perempuan lain. Kesetiaan Alya diuji. Antara bertahan dalam luka, atau pergi demi menyelamatkan harga diri dan hatinya sendiri. Karena kadang, kehancuran rumah tangga bukan datang saat badai, melainkan saat seseorang yang kita rawat justru memilih meninggalkan kita.

View More

Chapter 1

Luka yang Membekas

“Kenapa aku harus hidup begini, Ly?!” suara Damar pecah malam itu.

Ia duduk di kursi roda dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam pinggiran lengan kursi hingga buku jarinya memutih.

“Aku ini lelaki gagal! Tidak bisa jalan, tidak bisa kerja, bahkan untuk ke kamar mandi pun harus dibantu. Untuk apa aku masih hidup?” lirih Damar.

Alya yang sedang menuangkan air hangat ke baskom berhenti sejenak. Ia menoleh, menatap suaminya dengan mata jernih. Tak ada air mata, tak ada wajah iba hanya ketenangan yang entah dari mana datangnya.

“Kau masih hidup karena Tuhan belum ingin memanggilmu, Dam,” jawabnya pelan tapi tegas.

“Dan karena aku masih di sini, di sampingmu. Kalau kau menyerah, semua perjuanganku akan sia-sia.”

Damar membuang muka, rahangnya mengeras. “Kau terlalu sabar. Kalau aku jadi kau, aku sudah pergi sejak lama.”

Alya tidak menanggapi. Ia membawa baskom ke hadapan suaminya, lalu dengan sabar mengangkat kaki Damar, mengusapnya dengan kain hangat. Gerakannya lembut, tapi penuh ketegasan seorang wanita yang tahu apa yang ia lakukan.

“Dulu aku menikah denganmu bukan hanya untuk saat kau gagah dan sehat,” ucap Alya sambil menunduk, tangannya tetap sibuk menusap kaki Damar.

“Aku menikah denganmu untuk seluruh perjalanan hidup, termasuk saat kita jatuh sejatuh-jatuhnya," lanjut Alya.

Damar terdiam. Napasnya berat, tapi kata-kata Alya menembus egonya yang rapuh.


Flashback – Malam yang Mengubah Segalanya

Enam bulan sebelumnya, hidup mereka begitu berbeda.

Alya masih ingat jelas telepon yang ia terima malam itu. Suara panik seorang polisi di ujung sana: “Ibu Alya? Suami Anda, Pak Damar, mengalami kecelakaan di tol. Mohon segera ke RS Cakrawala.”

Tangannya langsung gemetar. Ia berlari keluar rumah tanpa sempat mengenakan jilbab dengan benar, jantungnya berpacu begitu keras seolah hendak pecah.

Di lorong rumah sakit, ia hampir roboh saat melihat tubuh Damar terbaring dengan selang dan perban di mana-mana. Darah mengering di wajahnya, dan alat bantu pernapasan menutupi mulutnya.

“Dokter, suami saya… bagaimana keadaannya?” suaranya lirih, hampir tak keluar.

Dokter menatapnya serius. “Ada luka parah di tulang belakang. Kami akan lakukan operasi segera, tapi kemungkinan besar, ia akan mengalami kelumpuhan permanen.”

Seakan seluruh dunia runtuh menimpa kepalanya.

Saat operasi selesai dan Damar akhirnya sadar, ia menatap Alya dengan mata kosong. “Aku… lumpuh, Ly. Kalau kau mau pergi, pergilah. Aku tidak akan menahan.”

Alya menelan sesak di dadanya, lalu menggenggam tangan suaminya erat-erat.

“Aku tidak menikah dengan kakimu, Dam. Aku menikah dengan hatimu. Selama jantungmu berdetak, aku akan tetap di sini.”

Itu adalah sumpah baru yang ia ucapkan tanpa sadar, sumpah yang kemudian mengikat langkahnya dalam hari-hari terberat mereka.

Flash Back Off

Damar menarik napas panjang. “Aku muak menjadi beban.”

Alya menatapnya, kali ini lebih tajam. “Kalau kau benar-benar merasa beban, buktikan dengan berjuang. Jangan hanya marah. Kau punya aku, Dam. Aku berdiri di sampingmu bukan untuk mendengar keluhan, tapi untuk melihat kau mencoba.”

Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak lambat namun menusuk.

Damar menunduk. Untuk pertama kalinya malam itu, ia tidak membalas. Sementara Alya melanjutkan pekerjaannya, wajahnya tetap tenang meski dalam hati ia tahu: perjalanan mereka masih panjang dan melelahkan.

Malam itu, setelah selesai membersihkan tubuh Damar dengan kain hangat, Alya duduk di kursi kayu di samping ranjang. Lampu kamar redup, hanya menyisakan cahaya kekuningan yang jatuh ke wajah pucat suaminya.

“Tidurlah, Dam. Besok kita coba lagi latihannya,” ucap Alya lirih sambil merapikan selimut.

Damar tidak menjawab. Matanya kosong menatap langit-langit. Nafasnya berat, penuh sesal, seakan hidupnya sudah tidak punya arti. Alya tahu, perang sedang berlangsung di dalam hati lelaki itu antara menyerah pada takdir atau mencoba melawannya.

Alya berdiri, hendak mematikan lampu, ketika suara serak Damar terdengar.

“Kalau aku tidak pernah sembuh… apa kau akan tetap di sini?”

Alya menoleh, menatap lurus ke arah suaminya. “Aku sudah menjawab itu berkali-kali, Dam. Kau bisa saja meragukan dirimu, tapi jangan pernah meragukan aku.”

Damar menutup mata, memilih diam. Malam itu mereka tertidur dengan hati masing-masing yang masih penuh luka.

***

Keesokan paginya, Alya sudah bangun sebelum matahari terbit. Ia menyiapkan sarapan, menata obat di meja, lalu membantu Damar bangun dari ranjang. Lelaki itu menolak.

“Aku tidak lapar,” katanya dingin.

“Kau harus makan untuk minum obat,” balas Alya singkat.

“Aku muak dengan semua ini, Ly! Kau tidak lelah?” Damar meninggikan suara.

Alya menghentikan tangannya, lalu menatapnya tegas. “Aku lelah, Dam. Sangat lelah. Tapi aku tetap di sini, bukan? Jadi jangan paksa aku mendengar alasanmu untuk menyerah.”

Keheningan menyelimuti kamar. Damar akhirnya menunduk. Ia tahu, istrinya tidak akan mengasihaninya. Dan mungkin, itu satu-satunya alasan kenapa ia masih berusaha.

Hari-hari setelahnya penuh dengan rutinitas melelahkan. Alya membimbing Damar melakukan latihan sederhana: menggerakkan jari kaki, mencoba mengangkat paha, hingga belajar duduk tegak tanpa bantuan.

Setiap usaha selalu diiringi keluhan.

“Tidak bisa!” seru Damar ketika usahanya gagal.

“Bisa. Ulangi,” jawab Alya cepat.

Meski bibirnya sering mengeluh, tubuh Damar tetap bergerak mengikuti instruksi. Alya tidak membiarkan kelemahan menguasai mereka. Ia tahu, menyerah berarti mengubur seluruh harapan.

Malam-malam mereka pun berbeda. Alya duduk di meja kecil, menulis catatan kemajuan Damar.

Hari ini bisa angkat kaki 5 detik… hari ini berdiri dengan penopang 10 langkah… Catatan itu menjadi pengingat bahwa sekecil apapun hasilnya, mereka tetap bergerak maju.

***

Suatu malam, Damar terbangun dengan napas memburu. Alya yang tidur di kursi segera menghampiri.

“Mimpi buruk lagi?” tanyanya.

Damar mengusap wajahnya. “Kalau saja malam itu aku tidak ugal-ugalan di tol, semua ini tidak akan terjadi.”

Alya menatapnya, lalu berkata pelan tapi mantap, “Kalau saja aku tidak menikah denganmu, aku tidak akan ada di sini sekarang. Tapi aku memilih. Dan aku tidak menyesal.”

Damar tercekat. Kata-kata itu menghantam keras, membuatnya menahan tangis. Tapi ia tetap membalikkan badan, enggan menunjukkan kelemahannya.

***

Waktu berjalan. Tiga bulan berlalu sejak kecelakaan. Latihan yang berat perlahan membuahkan hasil. Kini Damar bisa menggerakkan kakinya, meski masih lemah. Dengan bantuan tongkat, ia sudah bisa berjalan beberapa langkah.

“Luar biasa, Pak Damar,” puji terapis suatu siang.

“Dengan latihan rutin, besar kemungkinan Anda bisa pulih hampir sepenuhnya," lanjut terapis.

Untuk pertama kalinya, Damar tertawa kecil. Matanya kembali berbinar. Alya ikut tersenyum, meski dalam hatinya masih ada rasa was-was.

Karena bersamaan dengan kesembuhan itu, ia melihat sesuatu berubah dalam diri suaminya. Damar mulai lebih sering berdiri di depan cermin, merapikan rambut, meminta parfum kesukaannya, bahkan sesekali bertanya tentang kabar teman-teman lamanya.

Itu pertanda baik, pikir Alya. Tapi ada tatapan dalam mata Damar yang membuatnya resah tatapan seorang lelaki yang mulai haus akan pengakuan lagi.

Malam itu, Alya sedang menyiapkan sup ketika Damar duduk di kursi makan dengan tongkat di sampingnya.

“Ly,” panggilnya.

“Ya?”

“Kalau aku sudah benar-benar sembuh… kau masih mau mengurusku seperti ini?”

Alya menghentikan adukan, menoleh, lalu menatapnya tajam. “Aku mengurusmu bukan karena kau lemah. Aku mengurusmu karena aku istrimu. Kalau kau sembuh, itu justru yang paling kuinginkan.”

Damar tersenyum samar, lalu menunduk. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Tapi Alya merasakan sesuatu yang ganjil di balik pertanyaan itu.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa badai besar justru akan datang ketika hujan mulai reda.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
18 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status