"Kamu mau pergi main lagi, Mas? Kapan kamu cari kerjanya?" Pertemanan memang menjadi racun namun juga bisa menjadi obat penawar, pertemanan dapat terus terjalin dengan komunikasi dan pertemuan yang rutin. Tetapi kini, bagaimana bila pertemanan yang merusak karir dan pernikahan karena pertemuan yang benar-benar rutin? Menjalin komunikasi dan menjaga hubungan pertemanan bukanlah suatu kejahatan, tapi bagaimana jika niat baik itu dimanfaatkan oleh seseorang yang memiliki obsesi?
View MoreGedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing.
Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya curhat. Siapa yang akan menduga itu? "Shh ... hm," desis pria bernama Kalil Nayaka kemudian berdeham singkat, sedikit menakutkan untuk langkah awal dari rencana yang baru dimulai baginya. "Kalau enggak mau ya sudah," ketus wanita cantik bersetelan formal, mengambil gelas kopinya lalu beranjak dari kursi, "kelamaan berpikir membuatmu membuang waktu," lanjutnya bergerutu hendak meninggalkan meja bundar di taman kantor. "Bentar!" tukas pria berkulit cokelat yang biasa disapa Kal itu spontan mencekal tangan lawan bicaranya, "oke sepakat," pungkasnya setelah melepas tangan wanita yang tidak sengaja ia pegang. Menoleh wanita yang berprofesi sebagai Kepala Humas di PT. Awan Buana, "oke, dibahas lagi nanti sepulang kerja di parkiran bawah tanah. Sudah waktunya balik kerja," ujar wanita itu acuh tak acuh, dan melanjutkan langkahnya untuk kembali ke dalam kantor, meninggalkan Kal yang hanya terdiam dengan mata mengerjap. Untuk ke sekian kalinya bagi Kal, pikirannya setuju bahwa si Kepala Humas bernama Kirana Zendaya itu wanita yang unik, menantang, dan menarik. Tersenyum simpul ia sambil beranjak dari kursinya, dan bergegas kembali ke dalam kantor. Senyum sumringah terus Kal ukir pada setiap langkah, wajah tampan dan sifat terbuka tentu membuat banyak wanita tertarik dengannya. Senyum yang terukir itu seringkali mendapat balasan dari wanita yang bertemu tatap, meski Kal tahu bahwa beberapa wanita itu terlalu percaya diri, namun bagi Kal itu tidak penting untuk dipermasalahkan, sebab kesenangan masing-masing individu jelas berbeda. *** Waktu terus berputar, sampai hari menjelang malam dengan warna jingga di langit telah mengukir bersama keindahan. Seindah suasana hati seorang pria berbadan atletis yang sedang menuruni undakan anak tangga menuju parkiran bawah tanah. "Lama," ketus wanita cantik membuat langkah Kal sontak terhenti, dengan wajah masam dan mulut mengecap, jelas terpaksa pria itu tersenyum kecil sebagai tanda damai. Ia tahu, wanita yang sedang didekatinya, wanita yang mengajaknya menikah, dan wanita bernama Kirana Zendaya itu sangat membuat jarak dengan siapapun, hampir tidak tersentuh, dan memiliki jiwa profesional yang tinggi. Hidupnya sangat kaku, itulah yang Kal pikirkan saat mendengar desas-desus tentang seorang Kirana. "Jadi apa saja kesepakatannya? Biar aku buat dokumen, besok sore sepulang kerja kita ke notaris buat urus perjanjian pra-nikah," pungkas wanita yang akrab disapa Rana, wanita cantik berusia dua puluh lima tahun dengan pemikiran idealis yang banyak tidak disukai orang. "Tapi gue punya pacar," ucap Kal sambil mengikuti langkah Rana menuju mobil berwarna merah. "Putus saja," jawab Rana seraya membuka pintu mobil dan melempar tas kerjanya ke jok tengah. "Buset, enteng banget bacot lo." Spontan Kal berucap, "gimana caranya gue bilang ke pacar gue? Aneh saja lo jadi cewek, kagak ada jaga perasaannya banget ke sesama cewek." Bersedekap dada Rana dengan senyuman kecut dan alis kanan terangkat, "terus aku harus jaga perasaan siapa? Pacarmu? Kenal saja enggak," sahut Rana terkekeh rendah. Sahutan yang membuat Kal sontak membisu dengan mulut sedikit terbuka, sangat tidak menyangka Kal akan berjumpa dengan wanita yang tidak memikirkan sesamanya, "ya sudah urus saja pacarmu dulu, terus hubungi aku kalau sudah selesai. Biar kita bahas lag ...." "Enggak!" seru Kal cepat memotong ujaran Rana, "gue janji bakal selesaikan dia malam ini, tapi kita bahas kesepakatannya sekarang," lanjutnya membuat Rana merengutkan bibir sejenak. "Oke. Aku sederhana saja sih, hubungan ini enggak ada seks, tidak ada kewajiban memberi nafkah, tidak ada hak menerima nafkah, jangan ganggu ketenangan hidupku, jangan merusak nama baik keluarga besarku, jangan melebihi batas privasi, dan batas privasi itu selayaknya teman biasa," papar Rana menyebutkan kesepakatan yang ia inginkan. Pembicaraan serius yang ternyata tidak terasa seperti suatu keseriusan, "oke, untuk gue juga sederhana. Lo cukup jangan ganggu urusan gue, jangan usik pertemanan gue, dan saling membantu sebagaimana manusia," jawab Kal mengikuti gaya Rana dalam menyebutkan kesepakatan yang akan dimulai sejak akad pernikahan disahkan. "Yakin?" tukas Rana bersandar di badan mobilnya dengan kedua tangan tetap bersedekap, "gue bikin malam ini juga," lanjutnya membuat Kal mengangguk. "Ya," jawab Kal singkat, dalam pikirnya hanya ingin terlihat sebagaimana laki-laki, walau dada ini berdegup kencang dan merasa serba salah untuk berhadapan dengan Rana. "Oke," pungkas si Kepala Humas itu kemudian masuk ke dalam mobilnya, dan membunyikan klakson singkat sebelum melajukan kendaraan roda empat, meninggalkan Kal yang sontak menghela napas. "Gimana cara itu orang bisa hidup?" gumam Kal bergegas ke tangga darurat parkiran bawah tanah yang mengarah langsung keluar gedung, sebab mobilnya terparkir di area belakang gedung. Langkah santai cenderung cepat khas laki-laki membawa Kal keluar dari parkiran bawah tanah, tangannya bergerak mengambil ponsel di saku celana dan menekan satu kontak untuk dihubungi, "gue sudah hampir berhasil, jadi lo siapkan hadiahnya." Belum terdengar jawaban dari sosok yang dihubunginya, tanda merah pada layar ponsel sudah ditekan dengan wajah lelah, "coba saja kamu enggak begitu, Fa," lirihnya seorang diri seraya menatap kosong parkiran di belakang gedung, tepat sebelum Kal menghela napas singkat lalu bergegas masuk ke dalam mobil.Bergegas Kalil menuju kamar mandi setelah memasang gembok pengaman di gerbang dan mengunci pintu utama, membuang air kecil, mencuci bersih tangan dan wajah sebelum tidur. Kebiasaan kecil Rana yang kini jadi bagian dari kebiasaan Kalil juga, berjalan ia ke kamar tidur dan menjumpai Rana yang sedang memegang botol susu Karsa yang sudah terlelap, "aku naik, ya?""Hm," deham Rana melihat suaminya yang bergegas menaiki ranjang perlahan, dan membaringkan diri di dalam selimut yang disingkap, "Bunda sudah pulang?""Sudah, naik mobil dari ojek daring."Mengangguk pelan Rana menanggapi suaminya, "tadi sore dia ke sini naik apa?""Diantar supir, tapi dia enggak mau telepon supir lagi buat jemput karena ini sudah malam." Mengernyit bingung Rana mendengarnya, aneh sekali mendengar sang Ibunda memahami arti kemanusiaan, "biar supirnya istirahat," tambah Kalil menduga Rana bingung dengan jawabannya."Hm," deham Rana lagi dan mengangguk acuh tak acuh, seraya berpikir kebenaran yang meragukan. Benark
Terdiam Angelica setelah berucap profesional sedemikian rupa di hadapan anak dan menantunya, begitu pula dengan Rana dan Kalil yang memilih tetap diam, semakin mempermudah hening yang memekakan telinga untuk menyelimuti dalam canggung dan bingung satu sama lain. Kalil dengan pekerjaan, Rana dengan persiapan diri untuk berhenti kerja dan hanya fokus pada keluarga, dan Angelica yang memikirkan pengganti Jessica, "Lagi pula, separah apa kondisi Kak Jess?""Kondisinya sangat berantakan," jawab Angelica usai terdiam sesaat untuk mempertimbangkan jawaban, haruskah menyembunyikan fakta dengan kebohongan demi menjaga kebaikan nama Jessica Danti? Ataukah lebih baik jujur demi ketenangan hati? Namun, apa yang harus dijaga dari sesuatu yang cepat atau lambat akan diketahui?"Berantakan gimana?" tanya Rana lagi menuntut penegasan dari jawaban Angelica.Bagi Rana, hubungan keluarga harus selalu terbuka dan jelas dalam hal apa pun, terutama kondisi kini kala Karsa dirawat Rana yang sedang hamil dan
Mengangguk Rana menyambut ujaran ibunya yang tidak menyenangkan hati, "meski begitu, kami juga mempertimbangkan pemahaman Rana tentang perusahaan yang pasti tidak dikenal sepenuhnya, tapi kami juga mempertimbangkan kecerdasan Rana beradaptasi dan pengalamannya di perusahaan lain. Karena itu, kami memutuskan agar kalian menjadi pimpinan dari dewan pengawas internal perusahaan," ujar Angelica membuat Rana terbelalak, sedangkan Kalil sontak menunduk dan berdeham.Tanpa banyak kata, Angelica tahu bahwa sejoli ini terkejut dan cemas. Namun, hasil pertimbangannya dengan para investor hanya dua, antara Rana jadi bagian dewan pengawas atau mengisi jabatan yang pernah ditempati Jessica dan Tomi. Pertimbangan sangat tidak mudah tapi tidak bisa disebut sangat sulit, mengingat besarnya bisnis yang dikelola."Apa enggak ada posisi atau hal lain yang memungkinkan?" tanya Rana mengusap kepala Karsa yang berambut amat tipis, mencari penenang dari hati yang semakin gelisah."Ada," jawab Angelica singk
"Bungsuku sebentar lagi jadi ibu," goda wanita hampir paruh baya setelah berkunjung ke rumah putri bungsunya, godaan yang terlontar begitu saja sambil melihat si bungsu yang sedang membuka blazer, "kamu masih kerja atau Kalil masih betah jadi pengangguran?" tanya wanita hampir paruh baya bernama Angelica Audreylia."Beberapa hari lalu sudah mengajukan surat pengunduran diri, besok konfirmasi terakhir sekalian berpamitan sama tim," jawab si bungsu bernama Kirana Zendaya, si bungsu yang sikap dan cara berpikirnya hampir serupa dengan banyaknya para kakak perempuan pertama. Bukan karena keberanian atau pembentukan karakter yang didapat dari orang tua atau sekolah, tapi karena kenyataan pahit yang memaksa dan melatihnya untuk tetap bisa bertahan hidup, "Kalil mulai kerja nanti awal bulan," lanjutnya melirik Angelica dengan kesal, lirikan yang menjadi hasil dari kekesalan terpendam."Berarti sudah disetujui perusahaan kalau mau berhenti?" tanya wanita hampir paruh baya yang berstatus sebag
"Hai, cucu eyang!" seru Guntur menyambut kedatangan Kalil dan Rana yang menggendong anak dari Jessica, pagi hari yang terbilang cerah sejalan dengan suasana hati semua orang, walau jelas terlihat hampir tidak sejalan dengan Rana yang hanya senyum canggung penuh rasa terpaksa yang jelas terlihat."Ayo masuk," ajak Angelica, ibunda Rana yang hampir setengah hidupnya untuk bermusuhan dengan Rana, hanya karena Rana terlihat lebih mirip dengannya baik dari fisik hingga sikap."Iya, Bu," kata Kalil mewakili Rana yang memang hanya diam setelah memaksanya memakaikan baju pada bayi Jessica, "Ayo, Sayang.""Hm," deham Rana acuh tak acuh, berjalan lebih dulu bahkan melewati sang ayah dan bunda, "Kak Jess!" teriaknya tiba-tiba setelah berada di ruang tengah, menidurkan bayinya di sofa untuk satu orang dan kembali berteriak memanggil."Shh," desis Kalil merangkul istrinya erat, "kenapa, Sayang? Akhir-akhir ini kamu gampang emosi, ya.""Ck, lepas!" tukas Rana menepis tangan Kalil dari bahunya dan m
Rasa malas begitu kuat, fisik yang rasanya seperti patah pada setiap sendi hingga lunglai, dan pikiran tetap terasa berat meski beban terbesar yang berasal dari Tomi telah selesai. Terduduk Rana di atas toilet dan mengulurkan tangan sedikit ke bawah untuk menampung air seni, mengikuti instruksi tertulis dari kotak alat uji kehamilan lalu menyelesaikan hajat.Penuntasan hajat yang seringkali tidak membutuhkan waktu lama, tapi tak jarang juga menghabiskan banyak waktu yang tak terduga. Terhela napasnya seraya mencuci tangan di wastafel kecil, beralih pandangannya pada sebuah stik yang memiliki indikator, stik yang kini bersandar santai di gelas kecil berisikan air seni pertama di pagi hari, dan stik yang kini Rana ambil untuk melihat hasilnya.Terdiam ia melihat layar digital yang menunjukkan hasil, mematung hanya melihat stik di tangannya yang perlahan gemetar takut dan gelisah, "Kalil Nayaka!" teriaknya memanggil."Kenapa, Ran?" sahut Kalil bergegas mendekati pintu kamar mandi dan men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments