Ini lagi, apa alasan mas Umair memesan makanan hanya karena aku lapar? Atau dia memanfaatkan situasi kelaparanku ini untuk memberi pelajaran bagi mas Bima? Argh, kenapa jadi sepusing ini rasanya.
"Karena aku lapar 'kan Mas? " tanyaku polos.Mas Umair tersenyum kearahku." Iya, " katanya singkat. Entah dari jawabannya aku merasa tidak puas. Aku merasa bukan itu tujuannya yang sebenarnya.Setelah tujuan utama dengan pak Chandra selesai, mas Umair meminta Udin dan Deni untuk pulang terlebih dahulu. Sementara itu, ia akan mengajakku ke suatu tempat.Ternyata suamiku itu romantis juga. Padahal awalnya aku yang akan mengajaknya pergi, tapi ini malah sebaliknya. Ah, untung saja tadi pagi aku tak jadi ganti pakaian.Kata mas Umair, tak hanya satu tempat yang akan menjadi tujuan kami hari ini. Malah ada beberapa tempat, yang dimana membuatku jadi semakin bersemangat."Gak usah tanya kita mau kemana, nikmati saja perjalanannya, " kataAku bingung dengan maksud mas Umair yang akan kembali nanti malam, sementara saat ini saja waktu sudah hampir sore, tidak mungkin kalau harus pulang dulu, tapi sebagai istri, aku mengikuti saja langkahnya. Mungkin ia masih membutuhkan waktu untuk mencari jalan keluarnya. ***Mobil jadul mas Umair berhenti di sebuah rumah kecil di area kampus yang berjarak sekitar 10km dari kompleks tempatku tinggal. Rumah ini pun berjejeran dengan beberapa rumah lainnya. Halamannya pun sempit, hanya muat untuk satu mobil saja, maka dari itu rumah ini terasa berdempetan dengan sebelahnya. "Rumah siapa Mas? " tanyaku ketika mas Umair hendak mengajakku turun. "Rumah kita. Turun yuk," katanya seraya keluar dari mobil tanpa menjelaskan lebih padaku. "Loh, pak Ustadz sudah pulang? Lama gak kesini." Sapa seseibu yang baru keluar dari rumahnya. Rumahnya tepat di samping kanan rumah yang akan dimasuki suamiku. "Iya Bu Restu, InsyaaAllah besuk ad
"Jangan katakan kamu tetep kekeh dengan keputusanmu sebelumnya, " ucap mama seraya meletakkan sendoknya. Sepertinya wanita tua ini ingin mendengar keputusanku dengan seksama. Ah, dasar, kalau soal harta telinganya tak mau ketinggalan. "Tidak Ma, kali ini ku pastikan Mama dan lainnya akan senang mendengarnya," kataku. "Gak usah bertele-tele, buruan, deh! " sahut mbak Sinta tak sabaran. Ku tarik nafas panjang dan bersiap mengukapkan keputusan yang telah direncanakan mas Umair. "Saudah ikhlaskan rumah ini untuk kalian, tapi tidak dengan butik karena butik adalah peninggalan dari ibu kandung Saudah, " Mas Umair berkata duluan sebelum aku menjelaskan, padahal mulutku sudah terbuka untuk memulai berbicara. Ah, suamiku. "Benar itu Saudah? " Mama berjalan kearahku. "Iya, Ma. Ambil saja rumah ini, anggap saja hadiah untuk Sinta dan Santi," ujarku sesuai permintaan suamiku. Benar tebakanku, seketika wajah empat orang bermuka tembok ini berubah jadi senang. Senyum kemenangan terpancar jel
Pagi ini aku bersiap untuk menyusul mas Umair ke cafe dekat ma'had Abu Bakar yang ternyata adalah tempat ia mengajar. Pantas kemarin mas Umair berkata pada bu Restu bahwa akan ada jadwal mengajar hari ini. Sebuah fakta baru yang ku tahu tentang suamiku. Ia tak hanya lulusan dari universitas di Kairo, namun ternyata suamiku juga seorang dosen bahasa arab di Ma'had Abu Bakar ini. Dibilang beruntung, tentu saja aku beruntung menjadi istrinya. Mas Umair tak hanya kaya harta, tapi juga kaya hati. Yah, meski wajahnya banyak yang bilang tampan standar tapi bagiku katampanannya melebihi aktor Kim Hyun Joong. Dengan berjalan kaki, hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di cafe yang dimaksudkan mas Umair. Selain ma'had ada juga sebuah kampus swasta yang letaknya tak jauh dari ma'had. Selain itu, ada juga sekolah modern dan supermarket tak jauh dari sini. Jadi, kalau harus berjalan kaki pun aku bisa menikmatinya dengan santai. Banyak temannya. Sesampainya aku di cafe, t
"Aku mau pergi, kamu mau ikut gak?" tanya mas Umair ketika kami tengah sarapan. Yah, seperti sebelum-sebelumnya, sarapan kami pun dipesan via online. "Kalau gak mau ikut, masih marah, ya sudah jaga rumah gak pa-pa, " kata mas Umair lagi. Huh, kenapa suamiku ini? Memang sejak mobil jadul miliknya dibawa pulang Bayu kemarin, suasana hatiku memang memburuk, tapi bukan berarti aku marah padanya. Lagian, tumben sekali ia menawariku untuk pergi, biasanya juga langsung diajak atau disuruh menyusul. Sepertinya mas Umair ini yang marah, bukan aku. "Emang mau kemana?" tanyaku penasaran. "Ambil hadiah buat temenku. ""Belanja dong? Kalau gitu aku ikut. Jam berapa kita berangkat? Terus belanja dimana?" Aku sangat antusias mendengar tujuan mas Umair mengajakku pergi hari ini, meski hanya mengambil hadiah untuk orang lain, bukan untukku, tapi pasti ambilnya di tokonya langsung. Ah, paling tidak bisa cuci mata. Aku pun diminta suamiku untuk bersegera siap-siap karena kurang dari 30 menit taksi
"Ini rumah siapa lagi? " tanyaku setengah berbisik pada mas Umair yang akan mengambil kue kering tersebut. "Nanti juga tahu, makan dulu," katanya. Ah, suamiku ini senang sekali membuatku kebingungan, membuatku menebak-nebak yang hampir bikin kepala nyut-nyutan. Langsung menjawab saja apa susahnya, sih? Selalu begini. Menyebalkan. Singkat cerita, setelah berbincang-bincang cukup lama akhirnya aku mengerti siapa pemilik rumah ini. Duh, suamiku yang dari desa ini ternyata tak hanya kaya harta tapi juga kaya hati. MasyaaAllah. Bagaimana tidak, rupanya mas Umair adalah pembeli mobil dari orang pemilik rumah ini. Bahkan dibayar lunas olehnya. Dan Risa, aku sudah salah menduga. Ia sebenarnya masih ada darah keturunan dengan mas Umair, hanya saja dari jalur keturunan mana aku hanya bisa mengangguk ketika dijelaskan. Saking bingungnya dan banhak jalurnya. Mas Umair sendiri katanya pernah bercerita saat di pernikahan kami karena ia tak bisa hadir dikarenakan masih di luar negeri. Namun, k
"Mau main-main sama saya? Ayo! " ku tantang mereka sebelum mengambil kembali plastik belanjaanku. Ku ambil posisi kuda-kuda, bersiap menghadapi mereka. Dan dengan cepat aku mengambil kembali plastik belanjaanku lalu berlari dengan sekencang-kencangnya. "Hey! Dasar wanita gil*!" teriak wanita muda itu setelah aku berhasil menjauh darinya. Untung saja bagian bawah gamisku yang ku pakai pagi ini lebar, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sampai di rumah, nafasku rasanya hampir kehabisan. Saking lelahnya, belanjaanku, ku biarkan begitu saja di atas meja. Dan aku pun mengambil posisi duduk dengan menyadarkan badanku di sofa. "Kenapa? Pulang-pulang bukannya ngasih salam malah ngeloyor begitu aja, " kata mas Umair sembari duduk di sebelahku. Duh, perkataan suamiku barusan rasanya mengganggu kebebasanku, astagfirullah. "Assalamualaikum," kataku dengan sangat malas. "Astagfirullah." Mataku membulat kala suamiku beristighfar, meski pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Apa ada yang
"Kami sadar atas kesalahan kami dulu, makanya kami juga minta maaf akan itu, suamimu 'kan orang baik dan bijaksana, pasti mau memaafkan kami, " ujar mas Bima percaya diri. Sudah ku duga, pasti kebaikan suamiku benar-benar dimanfaatkan oleh mereka. Dasar muka tembok. Ku lihat lagi wajah suamiku yang duduk di sebelahku ini. Mendadak jatungku berdegup kencang menunggu jawaban apa yang akan ia berikan. Ku harap suamiku ini mengambil keputusan yang tepat. "Kami bisa bantu tapi bukan meminjamkan uang melainkan sebuah kesepakatan, " kata mas Umair. Aku mengernyitkan dahiku mendengar jawaban mas Umair, apa maksudnya sebuah kesempatan? Memberikan pinjaman pada manusia model mereka saja aku tak sudi, apalagi ini, mengajak mereka untuk bersepakat. Tapi, kenapa tiba-tiba mas Umair mengajukan kesepakatan untuk membantu mereka? Biasanya mas Umair memberikan apa yang mereka inginkan secara cuma-cuma. Apa suamiku ini sudah mulai itung-itungan dengan mereka? "Kesepakatan apa Mas? Tolonglah, jang
Aku dan mas Umair kompak memandangi mobil di hadapan kami. Mobil dari mas Bima yang dibeli mas Umair atas tawarannya untuk membantu mas Bima guna dijadikan modal usahanya. Ku lihat wajah serius suamiku, dari apa yang ku lihat, ia tampak bingung. Aku sendiri juga tak tahu akan diapakan mobil tersebut, karena sejak tadi malam mas Umair tak memberitahukanku sama sekali. "Tuh, mau diapain mobilnya?" kataku dengan wajah masam lalu mendudukkan diri ke kursi di dekat kami. Sebenarnya masih ada rasa sedikit kesal karena keputusan mas Umair kali ini menurutku tidak tepat. Ku pikir masih ada cara lain untuk membantu mas Bima tanpa membeli mobilnya, karena kami sebelumnya sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli mobil. Memang suamiku bisa dikatakan saat ini tidak kekurangan uang, tapi dengan pengeluaran yang berjumlah besar dalam jarak dekat, bukankah itu pemborosan? Duh, kenapa suamiku ini? Apa ia ingin terlihat kaya di depan keluarga mama. Setiap kali ada masalah yang berkaitan dengan