MasukAfter six months of working together Chase Ward, an attractive and successful lawyer and his secretary Christine Morrison are constantly at each other's throats. Chase is torn between his growing attraction for Christine and his need to be better than his father. To make matters worse his rival is Mason Pritchard, his former friend and colleague. Christine seems indifferent to both of them, but Chase is adamant to not to let Mason win this time. He takes Christine with on a trip to London. The company's private jet crashes during a storm and Chase and Christine survive. But will they survive the dangers that await them on the seemingly deserted island?
Lihat lebih banyak“Hei, kenapa kau tidak pergi saja ke rumah sakit dan menjual ginjalmu? Setidaknya itu lebih berguna daripada mengemis di sini!”
Di sebuah toko roti di pinggiran kota Skylight Grove, seorang pemuda berjaket biru tua menjadi pusat perhatian. Ia sedang berusaha keras mendapatkan diskon yang sudah tidak berlaku.
Orang-orang yang mengantri untuk membayar pesanan mulai geram dan beberapa bahkan mencibir tanpa sungkan. Namun, tampaknya pemuda itu memilih pura-pura tak mendengar omelan pelanggan di belakangnya.
Dengan ekspresi serius, pemuda itu bahkan menyerahkan kartu identitasnya kepada gadis penjaga kasir.
“Nona, jika diskon di toko ini sudah habis, baiklah, kupercayakan kartu identitasku ini padamu. Aku akan membayar kekurangannya minggu depan,” ucap si pemuda tampak bersikukuh untuk membeli kue tart yang berada di luar jangkauan isi dompetnya.
Si penjaga kasir menerima kartu identitas pemuda itu sembari mengeja nama yang tertera di kartu itu. “Eric White…” ucapnya lirih lalu menyerahkan kembali kartu itu kepada si pemuda diiringi dengan helaan napas pelan. “Tampaknya kau sedang sangat membutuhkan kue tart ini. Tapi apa boleh buat, kartu identitasmu tak berguna di sini.”
Eric menampakkan gurat kecewa saat itu juga. Membuang rasa malunya, Eric mencoba menawarkan opsi lain. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku tinggalkan jaket ini sebagai jaminan? Memang sedikit lusuh, tapi...”
“Sedikit lusuh katamu?!” sergah seorang perempuan di belakang Eric. “Apa matamu rabun? Itu sudah seperti kain lap! Oh, inilah mengapa aku benci orang miskin. Mereka benar-benar menyedihkan!”
Eric mengepalkan tangan, nyaris membalas, tapi si kasir mendahuluinya, “Mr. White,” ucap gadis itu, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. “Kurasa aku bisa membayar kekurangannya. Kau tak perlu meninggalkan apa pun di toko ini.” Perempuan itu tersenyum ramah, meski awalnya ia juga kesal pada Eric, namun pada akhirnya ada rasa iba muncul di hatinya.
Logikanya, jika Eric tidak berada dalam keadaan terdesak, tak mungkin pria muda setampan itu bersedia menahan malu di depan banyak pelanggan lain hanya demi sebuah kue tart yang tidak mahal.
“Mr. White, kau mendengarku?” tanya si penjaga kasir sesaat setelah Eric tampak diam membeku.
“Aku tak salah dengar? Kau akan membayarkan sisa kekuarangannya untukku? Luar biasa!” Eric memekik gembira. “Nona, aku akan datang lagi minggu depan dan membayar hutangku padamu, oke?”
Si penjaga kasir hanya tersenyum kecil, tak begitu berharap Eric akan menepati janji. “Baiklah, aku akan memproses pesananmu. Apakah ada request tulisan tertentu di atas kue tart ini?” tanya si penjaga kasir.
“Tentu! Happy Birth Day, My Beloved Elise, tulis saja begitu. Ngomong-ngomong, terima kasih.”
Beberapa saat ketika pesanan Eric telah selesai dibuat dan pembayarannya telah diproses, seorang perempuan di belakang barisan Eric melipat dua tangannya ke dada sembari memberi tatapan sinis.
“Aku merasa sangat beruntung kekasihku tak semiskin dirimu, Bung! Oh, pasti rasanya menyedihkan sekali mendapat kado kue tart dari hasil mengemis!”
Eric nyaris tersulut emosinya, namun, segera ia ingat bahwa di hari bahagia itu, ia tak perlu menanggapi dengan serius hinaan-hinaan dari orang lain. Eric tersenyum sinis lalu melirik perempuan yang baru saja mencibirnya, dengan membuat gerakan menutup hidung.
Eric bertanya, “Nona, mengapa bicaramu busuk sekali? Apa kau makan tai sebelum datang ke sini?”
Perempuan itu terdiam seketika, tak mengira bahwa Eric akan membalas ejekannya dengan sindiran yang sarkas. Sementara itu, pelanggan lain yang mendengar percakapan tersebut berbisik satu sama lain, beberapa orang yang sebelumnya ingin melontarkan hinaan kepada Eric kini mengurungkan niatnya, khawatir jika mereka akan mendapatkan balasan menohok dari Eric.
Ting!
Eric yang baru saja keluar dari toko roti merasakan ponselnya bergetar, itu adalah notifikasi pesan masuk. Segera, Eric merogoh ponselnya menggunakan tangan kanan selagi tangan kirinya menenteng bingkisan kue tart.
[Eric, cepatlah kembali atau kita tak akan bertemu lagi!]
Itu adalah pesan dari Elise.
Tentu saja, Eric merasakan tubuhnya seperti disengat ribuan lebah. Jantungnya berdegup kencang saat ia berlari menyusuri trotoar di Magnolia Street. Napasnya terputus-putus namun ia tak membiarkan kakinya berhenti.
Ia ingin segera tiba di tempat tujuannya.
Ring
Ring
Ring!
Ponsel Eric bergetar lagi, ia yakin itu adalah panggilan dari Elise. Untungnya, saat itu Eric telah tiba di lokasi tujuan, yaitu di rumahnya sendiri.
Saat itu, jantung Eric berdegup kian kencang saat ia melihat ada sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Itu adalah mobil milik Paman Jim dan Bibi Peyton, kerabat jauh dari Eric White.
Seketika mata Eric merah padam saat ia membuat praduga tentang hal yang tak beres di dalam rumahnya. Eric berlari memasuki rumah dan mendapati Elise sedang duduk sendirian menungguinya.
Elise berdiri dengan senyum kaku demi menyambut sang kakak, namun bukannya menerima sambutan Elise, Eric berjalan mendekat lalu menghantamkan tamparan keras ke pipi gadis remaja itu.
Elise merintih sesaat tetapi tak berniat membela diri atau semacamnya. Ketika mata Elise menangkap sebentuk bingkisan yang terjatuh ke lantai, bibirnya tersenyum sendu, dengan nada bergetar ia bertanya, “Eric, apakah itu kado ulang tahunku?”
Mata Eric memerah dan sedikit berkaca-kaca. “Jawab pertanyaanku, mengapa ada mobil Paman Jim di depan rumah kita?” tanya Eric sembari menunjuk mobil yang sedang terparkir di halaman rumah mereka.
Yang membuat Eric marah dan sedih adalah kenyataan bahwa Bibi Peyton merupakan seorang mucikari dan sudah berkali-kali menawari Elise White untuk menjadi pelacur di rumah bordil miliknya.
“Mengapa kopermu ada di sini?” tanya Eric lagi seraya menunjuk ke arah koper milik Elise yang menyandar ke sofa.
Elise seolah tak mau merespon pertanyaan kakak kandungnya. Tubuhnya menunduk ke bawah dan tangan kanannya memungut bingkisan yang terjatuh di lantai, tampak sebentuk kue tart yang telah hancur namun Elise tetap tersenyum.
“Kue tart itu sepertinya sangat enak. Eric, boleh aku mencicipinya sekarang?” tanya Elise yang kali itu tanpa sadar air matanya jatuh ke lantai. Ia tahu ia telah membuat keputusan yang sulit, tapi, itu semua ia lakukan demi menyelamatkan Eric, kakak kandungnya.
“Elise!” Eric mencengkram dagu Elise lalu menghadapkan wajah adiknya ke wajahnya. “Katakan padaku, apa kau yang meminta Bibi Peyton datang ke sini?! Katakan padaku, apa kau menerima tawaran perempuan jalang itu?!”
Mata Elise White basah ketika ia berusaha untuk menganggukkan kepala.
Melihat ekspresi rumit di wajah sang adik, cengkraman tangan Eric mengendur. Tubuhnya lemas lalu lututnya ambruk ke tanah.
Eric tahu alasan Elise memilih untuk menjadi pelacur. Eric menderita kanker darah dan membutuhkan tindakan operasi dengan segera, namun, karena sepanjang hidup Eric bekerja keras untuk membiayai sekolah Elise, Eric membiarkan penyakitnya begitu saja sebab memang tak ada dana lebih untuk melakukan operasi.
“Elise, ketahuilah, aku tak sudi berobat ke dokter menggunakan uang hasil kau menjual tubuhmu! Sadarlah itu menyakiti hatiku!” Eric tertunduk, ia merasakan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan melebur menjadi satu di hatinya.
“Eric, kau adalah satu-satunya keluarga yang kupunya, tolong jangan keras kepala, aku ingin kau hidup dan menemukan kebahagiaan.”
Mendengar ucapan sang adik, kepala Eric terasa seperti terhantam palu.
Elise tampak gelisah saat ia memandangi jam di pergelangan tangannya. “Eric, Paman Jim akan segera datang, aku memintanya untuk pergi sebentar agar aku bisa berpamitan denganmu dengan layak. Kumohon, berikan aku senyuman manismu, aku sangat ingin melihatnya…”
Mata eric kian basah saat ia menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa detik berikutnya, Eric melakukan sesuatu yang berada di luar prediksi Elise.
Paramedics were rushed forward to assist the wounded. Christine left the rest of the Ward family and stumbled right up to the tape barrier to get a better view. They could do nothing but wait as gurneys pushed past them. Waiting for a sign that Chase was still alive. To Christine it felt as if everything was sharper, sounds, colors, the smells, even her own breathing seemed harsher to her ears. But the people seemed to move in slow motion when she spotted him over the heads of the crowd. She wanted to scream out his name, but there was no sound coming through. Christine managed to hold up her hand. He turned his head and then he saw her, started making his way through the crowd. The first thing she noticed was the blood spatter on his face and all over his white shirt. But he was alive! And pushing through the crowd until… “Chrissie!” He was right there in front of her. “Sir, sir! You need to see a doctor.” A police officer tried to detain him, but he ignored the man. He only had
To say it was a media circus would have been an understatement. Chase was beset with reporters from all sides as he stepped out of his car to get into the court building.“Mr. Ward, are you associating yourself with the Mafia now?” One reporter screamed at him.“How does it feel to be back in court after your time in jail, Mr. Ward?”Then there were the protesters waving placards and screaming protest slogans in support of the families that suffered at the hands of the crime boss.Chase muttered curses under his breath. So much for wanting to keep a low profile. He expected there to be some media presence, but this was outrageous. He ran up the steps of the court building, narrowly missed being hit in the face by a camera wielding television reporter.The security officers at the door ushered him through and kept the hounds at bay. He walked briskly down the broad corridor to where Carlucci’s bail hearing was to be held.***He spent the next two hours arguing Carlucci’s case before t
“I would advise against it.” Alexander told Chase over the phone. Not that there was anything he could do to stop Chase from getting his hands on the footage if he was on a mission to do so. “Dad, I need to see it. It’s affecting my relationship with Christine.” He paused, “Please.” Alexander ruffled a hand through his hair. Does it ever stop? “Alright. I have it here.” “I’ll be right over.” Chase ended the call. For a long time, Alexander sat staring out at the window, watching the snow fall, swirling specks blown about by the ice wind. Just like us, Alexander thought, were all just specks being blown in all directions by an ill wind. He heard Erica and the twins come back, but he stayed in his office, not having the courage to face Erica and ask, no, beg her forgiveness for accusing her of seeing Justin Hunter. He should have known better. Erica wasn’t that kind of woman. After all these years he still felt inferior to Hunter. He, Alexander didn’t deserve a woman like Erica, but
“Hey, Bro! I brought the painting I promised.” Raven was the first to react, acting as if he just didn’t kiss Christine.“Fuck! Chase is going to kill me,” Raven thought to himself.Christine froze. How long has he been standing there, watching them. She didn’t mean to kiss Raven back; it was a spontaneous reaction. It’s not like it meant anything. But Chase wouldn’t see it that way.Chase stalked towards them his face expressionless. “Did I interrupt something?” His eyes flitted to the painting of Christine. Raven captured her beautifully. The likeness was so striking it seemed as if she could just walk out of that canvas.“No, of course not.” Christine found her voice. She went to Chase and kissed him. His lips were cold.Chase looked at her flushed face and then at Raven who couldn’t look him in the eyes.“I kissed Christine.” Raven blurted out. He’d rather have Chase smash his face in than look at them the way he was now, as if they’d betrayed him. “Just a peck. It wasn’t her faul












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.