LOGINZhakia lived her life forlornly after her parents’ death. She was raised being hard-headed and having her own beliefs that juct could not be swayed. And that unruliness brought her to Kastello, a place she did not even dream of. Magistrates forced her to join the Knights, a group of warriour, but she refused. However, the head magistrate used the reason kf justice for her parents that was why she agreed. While her days inside the Kastello have gone on, strands of her heart became interwoven with other members’. And as she formed strong bond with them, mysteries started to unravel. And as they became closer and closer, the real danger is also zooming in. Sa isang lugar, ay may nag-iisang grupo, na may iisa ring layunin at nagkakaisang dugo.
View MoreBagian 1
"Safira, kenalkan ini Ninik," ucap ibu mertua. Beliau beserta Bapak dan adik iparku baru saja dari pulang kampung di tanah Jawa.
Aku tersenyum sembari hendak mengulurkan tangan.
"Ninik ini pacar Harsa sejak SMP dulu, cinta pertama Harsa," lanjutnya.
Aku ternganga mendengar penuturan wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Tanganku mengambang tanggung untuk menyambut uluran tangan perempuan yang ia kenalkan. Apa maksudnya mengenalkan wanita itu sebagai pacar dan cinta pertama Mas Harsa? Apa pula maksudnya mengajaknya kemari?
"Ninik akan menikah dengan Harsa. Karena Harsa masih berbaik hati tidak menceraikan kamu, maka kamu harus rela dimadu," ucap Ibu lagi dan serta merta membuatku menarik lagi tanganku.
Kubiayai seluruh akomodasi dan transportasi pulang pergi mereka, tetapi ketika kembali oleh-oleh gundik yang aku terima.
Aku mengalihkan pandangan pada laki-laki yang berdiri di belakang perempuan bernama Ninik itu. Ia terlihat sangat tenang dan santai menjinjing sebuah tas besar. Barangkali tas milik calon istri mudanya itu. Pantas saja tadi dia begitu semangat menjemput dan melarangku ikut. Ia memintaku memasak yang banyak dan enak, rupanya ada yang istimewa.
Hatiku berdesir perih. Rasanya nyaris ambruk. Sedih dan amarah berpadu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada tanda apa-apa yang menjadi sebuah firasat hal semenyakitkan ini akan terjadi.
Ibu mertua memang tidak setuju dengan pernikahan kami sejak awal. Aku yang hanya tamat SMA, di matanya tidak punya pekerjaan, serta disebut masih bocah karena saat menikah masih usia muda. Alasan lain yang selalu dia dengungkan pula adalah aku bukan berasal dari tanah yang sama dengan mereka. Aku asli putri Borneo.
"Opo ora enek perawan Jawa sing ayu. Kok, nggowo adoh-adoh soko Kalimantan," ucapnya ketika Mas Harsa mengenalkanku. Namun, kala itu Mas Harsa kukuh melanjutkan hubungan kami. Katanya hanya aku yang mampu membuatnya move on dari Ninik yang telah mengkhianatinya.
Ya!
Aku tahu Ninik sebelumnya. Memang dia cinta pertama Mas Harsa. Aku yang kedua dan merasa bahagia karena berpikir menjadi yang terakhir. Akan tetapi, nyatanya aku salah. Bukan aku yang terakhir.
Mas Harsa merantau ke pulau Borneo ini untuk mengadu peruntungan nasib. Ia bekerja sebagai asisten di perkebunan kelapa sawit ternama di kota ini, kota Ngabang, Kalimantan Barat.
Meninggalkan Ninik dalam waktu yang lama, membuat perempuan itu menjatuhkan pilihan pada laki-laki lain.
Mas harsa pernah dikhianati, tahu rasanya disakiti, tetapi mengapa sekarang tega menyakitiku?
Cukup berani jika dia ingin beristri dua. Padahal sudah jelas aturan dari perusahaan yang melarang poligami.
"Masuklah dulu. Kita bicarakan di dalam," tuturnya tenang. Namun, muak terdengar dirunguku. Ingin rasanya kuusir wanita tidak tahu diri itu. Seenaknya pergi dan seenaknya pula datang kembali ketika Mas Harsa sudah berstatus suamiku. Dia hanya memikirkan perasaan sendiri.
Ingin pula kucakar laki-laki yang telah mengikat janji setia padaku itu. Akan tetapi, berlaku kasar tidaklah elegan. Akan terbukti ucapan Ibu bahwa aku masih bocah.
Aku menarik napas panjang, meredam emosi dan sakit yang merajai sukma. Semua harus dihadapi dengan anggun.
"Silakan," ucapku. Aku menepi dari mulut pintu, memberi ruang untuk mereka berlalu.
Mas Harsa memegang pundak Ninik, mengiringnya menuju kamar tamu dengan lembut.
Allahu Rabbi. Hatiku teriris rasanya. Sakit sekali menyaksikan laki-laki yang masih berstatus suamiku itu berlaku mesra pada perempuan lain. Sudut mata seketika menghangat. Segera kutarik napas dalam. Tidak boleh ada air mata yang keluar di hadapan mereka. Hal itu hanya akan menunjukkan aku lemah. Aku bukan wanita lemah.
Langkah kuarahkan menuju dapur. Menyiapkan minuman untuk menyambut kehadiran mereka, sekaligus menata makan siang yang telah aku siapkan sejak tadi. Setelah itu aku menemui mereka kembali yang sedang bercengkrama di ruang keluarga.
"Mau langsung makan atau istirahat dulu?" tanyaku. Kutahan emosi sedemikian rupa agar sikap dan bicaraku tampak tenang. Aku tidak mau ibu mertua bersorak girang atas keterpurukanku. Beliau harus menyaksikan bahwa apa yang mereka rencanakan tidak akan mempengaruhiku. Meskipun itu hanya di luar. Karena hatiku remuk. Namun, mereka tidak boleh melihat keremukan itu.
"Makan dulu saja. Sudah lapar," jawab Mas Harsa.
"Nik, Safira masak makanan kesukaanmu," ucapnya pada wanita di sampingnya. Parasnya tidak ada yang istimewa. Standar saja. Kulitnya lebih gelap dibandingkan denganku. Namun, mungkin karena dia adalah cinta pertama Mas Harsa, maka semua padanya terlihat istimewa.
Aku merutuk. Ternyata tadi dia memintaku masak rawon karena itu makanan kesukaan perempuan itu.
'Astagfirullahal'azim,' batinku menahan perih, 'Sungguh kamu dan keluargamu telah berkomplot menyakiti hati ini, Mas. Jika memang ingin berpoligami, tidak begini caranya. Apa yang telah kalian lakukan ini benar-benar menyakitiku. Dan aku pantang disakiti.'
"Iya. Yuk, makan," ajakku tetap berusaha tenang. Bukankah air yang tenang itu biasanya dalam? Dan air yang dalam akan menenggelamkan.
Mereka semua beranjak. Aku mendahului menuju meja makan, menarik satu kursi untuk Mas Harsa. Kemudian duduk di sampingnya.
"Biarkan Ninik duduk di situ, kamu di sana saja," ujar Ibu sambil menunjuk kursi pada sisi yang lain.
"Mbak Ninik belum menikah dengan Mas Harsa. Sebaiknya memang jauh-jauhan dulu. Belum halal. Dosa," jawabku tenang. Tanganku menciduk satu entong nasi untuk Mas Harsa, meletakkannya ke dalam piring, kemudian menyiramnya dengan rawon.
Ibu mencebik, "Sabar ya, Nik. Besok kamu segera nikah dengan Harsa. Kamu adalah cinta pertama Harsa. Sama-sama sarjana. Kamu lebih pantas mendampingi Harsa dibandingkan dia. Lihat saja nanti kalau sudah menikah, pasti kamu yang diistimewakan," ujarnya laksana air garam yang menyiram luka hatiku.
Dadaku bergemuruh. Ingin kusiramkan kuah rawon itu ke wajah mereka. Akan tetapi, benakku masih bisa bekerja bahwa itu tidak bijaksana.
Mas Harsa memegang tanganku, "Tenang, Sayang. Mas akan berusaha adil," ucapnya.
Aku terdiam.
'Sayang ... sayang kepala loe peyang. Kalau sayang tidak akan mendua,' batinku.
Adil? Bahkan saat ini sudah terbaca bagaimana perlakuan yang akan kuterima. Dari dia menatap perempuan itu, memintaku masak makanan kesukaannya, dan semangatnya dia menjemput ke bandara sudah menjelaskan bahwa memang wanita itu yang akan dinomor-satukan.
"Cinta pertama yang dulu memilih berkhianat. Hati-hati nanti dikhianati lagi," sindirku.
"Jangan asal bicara jika tidak tahu cerita sebenarnya," sanggah ibu mertua.
"Oh ... jadi bagaimana cerita sebenarnya?" tanyaku santai sambil menyuap makananku. Susah payah aku menahan agar makanan itu masuk dengan aman dalam perut. Karena sebenarnya selera makanku seketika hilang ketika tadi Ibu mengenalkan perempuan itu.
Kulihat Ibu menelan ludah. Sementara Ninik menunduk.
"Bagaimana?" tanyaku ketika beberapa lama mereka hanya diam.
"Dulu hanya sebuah kesalahpahaman saja. Ninik sering menghubungi mas, tetapi karena mas di kebun, jadi jarang ada signal. Ninik mengira mas berpaling." Mas Harsa yang bersuara.
"Ooo ... Kenapa dulu tidak menyusul ke Kalimantan saja?" tanyaku sambil menatap tajam.
"Perempuan menyusul laki-laki itu tidak etis. Tidak sopan," sahut ibu mertua membela.
"Ya, dari pada nyusul suami orang, lebih tidak etis lagi 'kan?" sinisku, "Mestinya dulu itu disusul saja. Tabayyun dulu, tanya kenapa gak bisa dihubungi. Jadi gak asal tuduh terus gegabah mengambil keputusan. Menyesal 'kan? Dari pada nekatnya sekarang, dia sudah beristri, lho. Dan sepertinya Mbak Ninik harus menyiapkan mental baja. Karena bisa-bisa akan dipanggil pelakor sama orang-orang." Kuletakkan telapak tangan di sisi mulut, menyebutkan kalimat terakhir dengan setengah berbisik. Perempuan itu menunduk.
Ah, dia itu menunduk karena merasa tidak enak atau hanya akting agar terlihat tertindas?
"Jangan macam-macam. Kalau sampai Ninik mendapat perlakuan tidak baik dari warga, saya pastikan kamu akan dicerai. Kamu itu yang pelakor. Kamu yang mengambil Harsa dari Ninik," ancam Ibu sinis.
Aku mendengkus. Tidak perlu menunggu Mas Harsa menceraikanku. Aku yang akan menggugat jika dia benar-benar akan mendua.
"Mbak Ninik menikah lebih dulu dari kami. Tidak mungkin saya merebut Mas Harsa," balasku kalem sambil menyeruput kuah rawon. Tidak peduli dengan netra Ibu yang menyorot tajam.
"Sudah, Nik. Ayo dilanjutkan makannya. Jangan didengar omongan orang sakit hati. Dia tidak akan berani macam-macam. Bisa apa dia tanpa Harsa," ucapnya sambil mengusap tangan Ninik yang terulur di atas meja.
Aku mengulum bibir. Tersenyum miris. Ibu selama ini memang tahunya aku yang bergantung pada Mas Harsa. Menurut beliau aku menguasai seluruh gaji suamiku.
Gaji Mas Harsa sebagai asisten perkebunan terdengar cukup besar, mendekati delapan juta perbulan. Namun, besar kecilnya pendapatan itu relatif, tergantung dari gaya hidup atau besarnya pengeluaran. Yang namanya harta, sedikit cukup, banyak habis.
Ibu tidak pernah tahu bahwa sebagai pedagang online, pendapatanku lebih besar dari suamiku. Aku punya toko yang Ibu tidak tahu tempatnya. Sengaja tidak kuceritakan secara gamblang karena jika beliau tahu pendapatanku besar, dia akan meminta jatah bulanan lebih besar.
Aku hanya sesekali memantau toko. Pengelolaannya kuserahkan pada dua orang teman SMA yang kupercaya menjadi tangan kanan. Usaha online telah kurintis ketika masih duduk kelas X. Berawal hanya sebagai dropshiper, kemudian keuntungannya mulai membesar dan aku merambah menjadi reseller dengan menyetok barang sedikit-sedikit.
Aku memang hanya tamat SMA, dan masih muda. Namun, kerasnya cobaan hidup telah menempaku. Ayah meninggal ketika aku kelas empat SD. Disusul Ibu yang selalu sakit-sakitan karena terpukul atas kepergian ayah empat tahun kemudian. Sejak SMP aku yatim piatu, tinggal bersama bibi dan harus mengerjakan tugas rumah layaknya orang dewasa. Tidak berani meminta uang keperluan sekolah memaksaku memutar otak untuk mencari uang sendiri.
Kelas XII usaha online-ku mulai melesat. Aku memiliki puluhan reseller aktif. Setahun berikutnya aku bisa membelu perumahan BTN yang saat ini digunakan sebagai gudang penyimpanan barang a.k.a toko.
Jika Ibu bertanya bisa apa aku tanpa Mas Harsa? Maka biarlah beliau melihat bisa apa Mas Harsa tanpa aku. Atau biar beliau sendiri merasakan bisa apa tanpa aku. Aku yang menutup lubang menganga pengeluaran keluarga mereka selama ini, termasuk biaya kuliah Santi--adik iparku.
"Pokoknya Ibu dukung sepenuhnya kamu sama Harsa. Kalian berdua bagi ibu udah cocok banget," lanjutnya. Aku cuma berkedik. Meski hati ini teramat sakit. Umpana daging yang dipotong dengan cara disayat-sayat sembilu tipis. Perih.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Mungkin senyum kemenangan karena dibela calon mertua. Ia mulai menyuap makanan yang ada di piringnya. Aku menatapnya tajam.
"Setelah makan, istirahatlah Mbak. Pasti lelah. Piringnya biarkan saja. Nanti saya yang bereskan. Mungkin akan menjadi kali terakhir saya mencuci piring di rumah ini," ujarku. Lalu kualihkan netra pada Mas Harsa, menatap sinis laki-laki yang juga balas menatapku tak mengerti.
Zhakia's POVSabay-sabay kaming napatungo nang makapasok ang matataas sa sala ng aming tinutuluyan. Tumagal iyon ng ilang segundo bago muling nag-angat ng tingin at sinalubong sila. The three magistrates were standing proudly along with the danger within them. Bakas naman ang pag-aalala sa mukha ng reyna, na halos palipat-lipat ang tingin sa aming lima. Alam ko kung bakit sila naparito, kung bakit biglaan silang pumunta nang ganito kaaga. Ayaw ko pa sanang bumangon ngunit baka may malabag nanaman akong isa sa mga batas nila."Are you all okay? Maaari ninyo bang ikuwento sa amin ang nangyari?" tanong ng reyna nang hindi na mapigilan."Have you had your breakfast? If not yet, it is better to talk about it while we are eating," sabat ng pangunang mahistrado, na sa pagkakatanda ko pa ay Matteo ang pangalan."Nakakain na po kami, Mister," seryosong tugon naman ni Crishelle. "Pero kung kayo ay hindi
Zhakia's POVNaghanda ako sa papalapit niyang kamao. Ang usapan ay isang usapan, tanging kamao sa kamao lamang. At nang makarating ay agad na sumegunda ang isa pa na agad ko ring nailagan. I have come to his one side and that was when I decided to shower him my punches. Tumama sa kaniyang mukha ang bawat kamao kong dumadating. Ngunit nanatiling seryoso lamang ang kaniyang mukha, walang pinagbago kahit pa sa palagay ko'y apat na suntok ang tumama. Yumuko ako sa ambang paglandas muli ng kaniyang kamao sa akin ngunit agad ding dumapo ang isa pa sa aking mukha, kaya nabalewala ang pag-ilag kong iyon dahil sa maliksing paggalaw ng kaniyang mga kamay.Agad akong napatalon paatras habang isang beses na sinapo ang natamaang bahagi. But I have to remove it because Silver is already infront of me again. Walang humpay ang pag-atake ng aming mga kamao. Sinanay ang abilidad nito, sa larangan ng bilis, bigat, at lakas. My parents did not teach
Zhakia's POVNang matapos iyon niliko ni Crishelle ang usapan. Ang mga tao'y nagkani-kaniyang buo rin ng kanilang talakayan. Nanatili naman akong umid at tahimik, hanggang sa matapos ang munting salu-salo. I did not expect that words from him. I thought he would agree to Hades with his opinions. Akala ko pa ay makikisama ang punong mahistrado sa panghuhusga sa akin. Ngunit, kung sa bagay, magaling lang talaga siya kung kumilatis ng mga nararapat sa hindi. Kung ako rin ang nakaramdam ng ganoon ay masasabi ko ang ganoong bagay. He is not deserving for his mindset's goal is only to get the power of the ring...Napatingin ako sa kabuuan ng bahay, at habang ako'y nagninilay-nilay ay hindi ko mapigilang mamangha sa kapaligiran. This is not a house or a mansion. Palace, that's the right term for it. Maayos at malinis ang mga gamit. Sa ngayon, narito ako sa madilim na pasilyo ng ikalawang palapag. Magaang pumasada ang mga daliri ko
Zhakia's POVHindi ko napigilan ang aking paningin sa paglibot sa kabuuan ng Kastello. Halos abutin din ng oras ang paglalakbay namin sa loob lamang ng nasabing lugar. The castle's extremity was hidden by the thick vapors, a gray fogs that showing how dangerous the place is. Malamig ang anyo dahil ang kastilyo'y may itim na kulay. Ngayon ko lang din nakita sa malapitan ang mga tore sa paligid, halos hindi ko na mabilang iyon dahil sa sobrang dami. Basta ay meron sa tarangkahan ng lugar, sa mga gilid, at sa kung saan-saan pa. Pakiwari ko'y ang mga tore ay para sa mga kawal. Doon isinasagawa ang mga pag-atake, pag-espiya, at kung anu-ano pa.Ang arena ay sobrang lawak, sa tingin ko ay doon naman isinasagawa ang mga iba't ibang uri ng aktibidad na ayon sa mga larangang dinadalubhasa, gaya ng pakikipaglaban. Sa paligid ay may mga kawal na kumpleto ang armas sa katawan, hindi rin nakaligtas sa aking paningin ang mga kababayan ko. Sa