Semua nanar, begitu tau siapa yang Pevita tunggu.
"Joe," ungkap Jilly. Sampai membulat sempurna bola mata Jily bersamaan dengan dahinya yang mengerut tajam. Dia tidak habis pikir akan bertemu dengan Joe lagi dan lagi. Sungguh menjengkelkan!
Bagaimana Joe bisa bebas begitu saja dari tangan Rayzen. Dan nampaknya dia sehat sehat saja. Tidak ada luka atau apapun yang menunjukan kalau Joe menerima kekerasan fisik. Apa yang terjadi? Padahal aku belum sempat berbicara dengan Rayzen untuk membahas nasib Joe. Padahal, yang sudah sudah tidak ada yang selamat dan bebas begitu saja kalau berurusan dengan Rayzen. Semua orang tahu siapa si tangan dingin itu. Pihak berwajib saja sampai kesulitan untuk menghadapi kekuasaan Rayzen, gumam Aland dalam hati menatap Joe heran.
Sementara Rosita sudah geram ingin mencabik cabik wajah Joe. Hanya saja, Salika menahannya. Sambil itu dia berbisik di telinga sang mama, "ingat ma, kita punya misi dengan dia. Biarkan saja."
Mereka pun mengerti. Kemudian, semua anggota keluarga Miller termasuk Aland, kembali ke meja yang mereka sudah pesan.Di meja lain, Joe begitu asik menikmati hidangan yang tersedia. Sampai Pevita heran melihatnya.Apa dia kelaparan? Sampai makannya lahap seperti ini? Batin Pevita.Rupanya Joe sadar kalau Pevita memperhatikannya. "Apa ada yang salah denganku?" Tanya Joe."Tidak. Hanya saja aku melihatmu ... " Pevita sampai tidak bisa meneruskan kata katanya khawatir menyinggung perasaan Joe."Seperti orang tidak makan satu minggu." Sambar Joe.Tak mampu menahan, Pevita pun terkekeh. "Tidak begitu maksudku.""Kebetulan memang aku juga lapar. Dan sepertinya sayang sekali kalau menyia nyiakan makanan di tempat ini. Belum tentu aku bisa kembali lagi ke sini."Sungguh semakin membuat Pevita tertawa sambil geleng geleng kepala. "Kamu ada ada saja. Umm, kamu tinggal bilang padaku. Kapanpu
Berdecak kagum semua anggota keluarga. Dipikir mereka Aland lah yang hebat."Bahkan diam diam papa pun kenal dengan pemilik resto termewah di kota ini," ungkap Salika. Dengan bangganya dia mengatakan itu."Pantas papa mengarahkan kita makan di sini," seru Felicia, yang tidak kalah senangnya. "Tidak menyangka, suamiku ternyata memiliki relasi yang sangat luas. Kenapa papa tidak pernah bercerita sama mama." Kali ini Rosita pun ikut ikutan memuji suaminya.Namun justru sebenarnya Aland sendiri mendapatkan dirinya sangat bingung.Siapa yang sudah melakukan ini? Jangankan mengenalnya, tau siapa pemiliknya saja, tidak. Sama sekali tidak mengerti, batin Aland."Sepertinya ada yang salah." Akhirnya Aland memilih bersuara. Dia sendiri penasaran. "Boleh aku bertemu dengan orang itu? Setidaknya aku ingin mengucapkan terima kasih," pinta Aland.Nampak wajah pelayan itu bingung. Dia sendiri tidak tau siapa pemi
"Apa kita sudah selesai?" Tanya Jilly, yang wajahnya dari tadi sangat tidak enak dipandang. Dia benar benar terbakar api cemburu yang sangat besar."Kalau sudah, sebaiknya kita pulang. Aku masih harus menemui Vino," sambungnya."Kalian pulanglah dulu, papa masih ada urusan dengan laki laki itu," sahut Aland, sambil menghunuskan tatapan mata segaris ke arah Joe yang masih sibuk bermesraan dengan Pevita di meja ujung sana. Itulah juga yang membuat Jilly semakin panas melihatnya. Masalahnya Pevita itu cantik dan kaya. Kalau perempuan yang bersama Joe itu jelek dan miskin, tentu hati Jilly tidak terbakar seperti sekarang ini. Sungguh, Jilly benar benar merasa tersaingi."Tidak ada yang pulang. Kami semua menunggu papa sampai selesai berbicara dengan laki laki busuk itu!" Sahut Rosita."Kalau begitu, aku pulang duluan," seru Jilly, sambil bersiap siap."Jilly, duduk!" Rosita mengatakan ini dengan nada tegas. Dia tidak mau satu anak
Hilang sudah selera makan Joe sekaligus menutup canda yang penuh tawa. Padahal sebelumnya mereka sedang asik bersenda gurau tanpa serius membahas satu persoalan yang ada. Begitu saja terjadi. Seperti air yang mengalir tanpa tau akan bermuara di ujung mana. Joe pun bingung bagaimana dirinya bisa tiba tiba melebur begitu saja dengan Pevita.Namun sekarang, sedikit senyum saja tak ada di wajah Joe setelah Aland Miller datang dan menyinggung putri kesayangan yang tak tau ada di mana. Itu sangat menggelitik perasaan Joe. Khususnya perasaan sedih sekaligus benci dengan orang orang yang sudah tega menjauhkan dirinya dari Kiara."Boleh aku tau, apa yang mereka lakukan pada putrimu?" Tanya Pevita dengan hati hati. Dia sangat begitu penasaran."Mereka menjual putriku pada seorang konglomerat!" Sahut Joe datar. Namun ekpresinya wajahnya begitu mengerikan bagi siapapun yang menatapnya. Joe sedang marah besar. Hanya saja, bentuk kemarahan itu dia pendam dal
Tak terasa malam pun semakin larut. Joe memutuskan untuk beranjak. "Sebaiknya kita pulang," ujar Joe, sambil bersiap. "Sebentar, aku urus dulu billnya," sahut Pevita. Kemudian, dia pergi menuju kasir. Sejurus kemudian, dia kembali dengan wajah bingung. "Apa yang terjadi?" Tanya Joe. Dia pura pura polos. Seperti linglung, Pevita jadi bingung sendiri. "Baru saja aku ingin membayar bill makanan kita, tapi kata petugas kasir bill kita sudah lunas." "Benarkah?" Joe pura pura tidak tahu. "Lalu apa yang membuatmu bingung? Seharusnya kita senang dong karena billnya sudah lunas. Jadi kamu tidak perlu menguras tabunganmu," ujar Joe dengan sedikit candaan. "Iya. Tapi ... aku cuma heran. Siapa yang sudah membayarkannya bill kita?" "Kenapa kamu terlihat bingung. Mungkin saja keluarga Miller yang sudah melakukan itu. Dia ingin memberikan kejutan pada kita." "Umm, benar juga. Mungkin saja. Tapi kenapa mereka begitu baik?" "Entahlah. Mungkin, ini sebagai ucapan terima kasih atas apa
"Joe," ucap Pevita. "Kamu takut?" "Tidak. Aku hanya belum bisa memberi ruang untuk wanita lain di hatiku." Nampak rasa kecewa membias di wajah cantik dari gadis yang memiliki tubuh nyaris sempurna. Dia pun membuang napas, putus asa. "Tidak ada yang bisa aku janjikan padamu. Kalau kamu tidak bisa menunggunya, aku tidak akan melarangmu pergi dari kehidupanku," pungkas Joe. "Jangan. Aku mengerti. Kamu jangan khawatir kalau aku akan pergi meninggalkanmu. Paling tidak, aku akan selalu berada di sisimu sampai misimu tuntas." "Kamu jangan memaksakan diri kalau kamu tidak sanggup." "Sejak awal aku mengenalmu, aku yakin kamu laki laki baik. Dan kamu sangat berbeda. Itu yang membuatku tertarik denganmu. Tolong, jangan larang aku untuk membantumu." Joe terdiam sambil menatap dalam wajah polos gadis manis yang ada di depannya. "Kapanpun kamu mau pergi, aku tidak akan menghalangimu." "Sayangnya, aku tidak akan melakukan itu," balas Pevita. Dia tersenyum ringan. Dan kemudian, Pevita
"Oh ya, terima kasih," sahut Joe sekenanya. Dia tidak ingin memberi apresiasi berlebihan pada Pevita khawatir nanti malah membuatnya besar kepala. Dan kemudian Joe pun melenggang masuk ke dalam kamar mandi.Sesaat berlalu, Joe sudah bersiap. Pevita pun sudah menunggunya di meja makan."Aku tidak tahu apa makanan kesukaanmu. Maaf kalau hidangannya tidak sesuai seleramu," ucapnya."Tidak apa. Aku suka apa yang sudah kamu siapkan."Pevita pun tersenyum, kemudian dia menyiapkan sandwich daging dan telur untuk Joe."Kamu yakin akan menemui tuan Aland?"Joe mengangguk ringan sambil mengunyah."Tidak khawatir kalau mereka akan menipumu?"Joe menggeleng."Sebaiknya kamu berhati hati dengan mereka. Aku memang tidak terlalu mengenal mereka. Tapi, dari beberapa hari kemarin ketika aku bertemu mereka, aku perhatikan mereka bukan keluarga yang welcome terhadapmu.""Ja
Dengan gayanya yang pongah sambil menghisap cerutu khas negeri menara, Aland menyambut kedatangan Joe.Aland melihat jam pada lengannya, lalu berkata, "sembilan lewat lima puluh sembilan. Kau tepat waktu."Dan kemudian, dia menjentikan jarinya, mengajak Joe masuk.Tidak asing bagi Joe berada di rumah yang pernah membuat hari harinya berat dan juga hatinya terluka. Keadaannya masih sama. Tidak ada yang berbeda. Hanya saja saat ini perasaannya yang tak lagi sama. Kalau dulu dia datang ke sini dengan Jilly, namun sekarang Joe hanya datang seorang diri."Duduklah, anggap saja rumah sendiri," titah Aland. Cukup baik sambutannya.Sesaat kemudian, Rosita pun menyusuli. "Sudah datang rupanya si gembel ini!" Ucapnya, masih tak berubah. Dia masih senang menghina Joe. Padahal, Joe tidak pernah melakukan satu kesalahanpun padanya selain sudah menikahi putrinya. Tapi bagi Rosita, justru itulah kesalahan Joe yang paling besar karena sudah