LOGINIndra adalah penulis novel pria perkasa. Tapi di balik layar, dia bahkan tak mampu memuaskan istrinya sendiri. Ketika rasa malu menumpuk, ia mendaftar ke sebuah klinik misterius yang menjanjikan hasrat yang lebih liar dan stamina yang lebih sakti. Namun, ternyata klinik itu tak hanya menawarkan sebuah pemulihan, melainkan juga fantasi yang selama ini hanya bisa Indra salurkan lewat tulisan!
View MoreTubuh Bella telentang di atas ranjang, bersinar keemasan diterpa lampu tidur. Kulitnya halus, lembap, dada naik-turun, titik kecil di tengah dadanya mengeras oleh udara dingin dan hasrat yang belum tersalurkan. Rambut panjangnya menjuntai di bantal seperti aliran tinta di kanvas. Kaki terbuka lebar, mengundang.
Indra ada di atasnya, telanjang, berkeringat. Tapi tidak panas karena gairah. Justru… karena panik. Ia menekan pinggulnya perlahan. Tubuhnya ingin bergerak. Bella menggigit bibir, bersiap menyambut. Tapi… Miliknya lemas. Sekali lagi. Bella membuka mata. Tatapannya turun ke bawah tubuh Indra, lalu kembali ke wajahnya. “Astaga… lagi?” Indra menunduk. “Maaf…” Kata itu begitu sering keluar, sampai rasanya hambar. Ia berguling ke samping, membelakangi istrinya, mencoba menyembunyikan wajah. Bella menarik napas panjang. “Indra… Aku udah panas banget barusan.” Ia tak menjawab. Tubuhnya tegang, bukan karena syahwat, tapi karena malu. Bella mendengus. “Ck! Pantas aja bukumu nggak laku.” Indra menahan napas. Ucapan itu menusuk lebih dari sekadar ejekan. “Isinya cuma omong kosong soal pria jantan yang bisa bikin wanita jerit tiap malam. Nyatanya, penulisnya sendiri nggak bisa bikin istrinya basah.” Ia tahu Bella tidak asal bicara. Indra dulunya penulis buku erotis. Judul-judulnya laris di toko daring, isinya dipenuhi pria perkasa, tahan lama, jago membaca tubuh perempuan. Tapi itu dulu. Sekarang? Tak satu pun dari fiksi itu tercermin di dirinya. Ia bahkan tak sanggup bertahan dua menit. Ironisnya, makin parah performanya, makin turun pula angka penjualan. Seolah pasar tahu: semua kejantanan itu cuma khayalan. Ia sudah coba semuanya—obat kuat, ramuan herbal, sampai video panas—tapi tetap saja, saat Bella membuka kaki, tubuhnya malah layu. Dan Bella? Semakin hari semakin tak sabar. Semakin tajam. Semakin kehilangan respek. “Penulis cerita seks,” gumam Bella, berdiri dari ranjang. “Tapi kalah sama mainan plastik.” Bella melangkah ke arah laci, dada bergoyang pelan. Ia membuka laci, mengambil alat ungu berkilau yang kini lebih sering menyentuhnya daripada tangan suaminya sendiri. “Kalau kau nggak bisa menyelesaikan, biar dia saja yang ambil alih,” ucap Bella datar. Ia kembali ke ranjang. Tanpa malu. Tanpa basa-basi. Tubuhnya menyandarkan diri ke dinding, kakinya terbuka, dan getaran halus dari vibrator mulai mengisi kamar. Bzzzt. Tangannya lihai. Jari telunjuknya meluncur ke antara pahanya, mengarahkan alat itu tepat ke pusat gelombang hasrat. Nafasnya mulai memburu. Dada naik turun. Pinggulnya bergerak perlahan. “Ahh…” Indra tidak bisa tidak menatap. Tapi semakin dia lihat, semakin ia merasa seperti sampah. Tak ada yang lebih menghina harga diri pria daripada melihat istrimu mendesah puas oleh benda elektronik—sementara dia hanya bisa terbaring, gagal, seperti boneka rusak. Bella menegang. Tubuhnya melengkung. Rahangnya terbuka sedikit, suara tertahan. Lalu hening. Satu menit. Dua. Ia selesai. Ia meletakkan alat itu di meja samping, bangkit pelan dan mengambil tisu. Tanpa memandang Indra, ia berkata, “Aku bisa gila kalau ini terus berlanjut. Setidaknya satu dari dua harus kau penuhi: uang atau kepuasan.” Indra menggenggam selimut. Telinganya panas. “Aku… akan cari cara lagi.” Bella menoleh. “Kau sudah coba semuanya. Jus entah apa, film biru, bahkan hipnoterapi. Gagal semua. Aku bosan lihat kau ngotot pakai cara aneh. Sekarang dengar aku—ke dokter.” Indra memejamkan mata. Membayangkan dirinya menceritakan masalah ini ke orang asing, membuka celana, diperiksa seperti pasien impotensi tanpa harapan. “Harga dirimu udah jatuh, Ndra. Kau cuma belum sadar,” lanjut Bella, tajam. Ia mengambil baju tidur dan masuk ke kamar mandi. Bunyi air menyala. Indra berguling ke samping, menatap alat getar itu di meja. Alat kecil itu… sudah tiga kali lebih memuaskan Bella dalam seminggu terakhir. Sementara dirinya? Tak satu pun. Malam itu, Indra tidak tidur. Ia menyalakan ponsel dan membuka halaman demi halaman pencarian. Sampai akhirnya ia melihat satu link mencolok: KLINIK VITALITAS LELAKI – Terapi Langsung, Bukan Obat, Hasil Terbukti. Dokter Wanita Berpengalaman. Testimoni di bawahnya seperti ditulis oleh pria-pria yang hampir bunuh diri, lalu kembali jadi alfa. Semua menyebut satu hal: Dokter Salsa. Namanya misterius. Ulasannya konsisten. Indra tak tahu kenapa, tapi tangannya mengklik. *** Keesokan harinya… Indra berdiri ragu di depan bangunan tua di pinggiran kota. Catnya kusam, jendelanya buram, dan di halaman hanya tumbuh semak liar serta pohon besar yang menaungi nyaris seluruh fasad. Klinik? Dari luar, tempat ini lebih mirip rumah terbengkalai yang cocok jadi lokasi syuting film horor dibanding pusat pengobatan. Papan namanya kecil, nyaris tak terlihat: “Klinik Vitalitas Lelaki – dr. Salsa” “Kenapa sepi sekali?” gumam Indra, melirik ke sekeliling. “Kemana pasiennya yang katanya ribuan itu?” Ia menarik napas. Tangannya menyentuh gagang pintu kaca. Kriet. Deritnya nyaring, mengiris udara pagi yang sunyi. Saat pintu terbuka, aroma kayu tua dan bunga kering langsung menyeruak. Tidak ada suara. Tidak ada langkah. Tidak ada antrean. Dan tiba-tiba… “Selamat datang.” Suara serak terdengar dari balik meja tinggi. Indra nyaris tersentak mundur. Bukan perawat muda dengan seragam ketat seperti di bayangannya—melainkan seorang wanita tua, rambutnya putih disanggul, wajahnya seperti guru matematika dari neraka. Indra menelan ludah. “Tempat ini benar-benar horror…” Matanya menangkap bagaimana tatapan si nenek langsung turun ke arah bawah perutnya—terang-terangan, tanpa sopan santun. Tatapan itu seperti menilai potensi… atau kerusakan. “Saya antar langsung ke ruang dokter.” Tanpa konfirmasi data. Tanpa tanya nama. Ia langsung berbalik. Indra mengikuti, seolah terhipnotis. Langkah mereka menyusuri lorong sempit yang pencahayaannya remang. Jantungnya berdebar tak karuan, antara takut dan penasaran. “Dokter, ada pasien baru...” Tirai terbuka. Sosok wanita itu muncul dari balik ruangan. Rambutnya panjang, hitam, dan bergelombang jatuh di bahu. Kulit wajahnya bersih, riasannya tipis, hanya mempertegas bentuk alis dan bibirnya yang penuh. Bibirnya merah alami, basah, dan tampak lembap. Tatapannya langsung menusuk—dingin tapi intens. Jas dokter putih melayang terbuka, memperlihatkan tubuh yang sangat tak biasa untuk profesinya. Di baliknya, kemeja putih ketat menempel rapat pada dua bukit dada besar yang hampir tumpah keluar. Dua kancing teratas terbuka, membiarkan belahan dadanya terlihat jelas. Bukan sekadar mengintip—tapi menyambut mata siapa pun yang berani menatap. Rok span abu-abu tinggi menyatu dengan pinggulnya yang ramping dan padat. Kakinya jenjang, mulus, dan ditopang oleh heels hitam berkilau yang membuat setiap langkahnya terdengar mantap di lantai. Indra terdiam. Jantungnya memompa keras. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ada gerakan nyata di bawah perutnya. Spontan. “Selamat pagi,” ucap wanita itu dengan nada rendah dan tenang. “Saya dr. Salsa.” Indra berdiri kaku. “I… Indra.” “Santai saja,” katanya sambil tersenyum singkat. “Silakan duduk.” Indra menuruti. Tangannya terasa dingin. Nafasnya pendek-pendek. Salsa berjalan pelan menghampirinya. Tumitnya mengetuk lantai tiap langkah. Tatapannya mengarah ke wajah Indra… lalu turun. Matanya menelusuri bagian dada, lalu perut, lalu berhenti di pangkal paha. Ia tidak berpaling. “Masalah ereksi?” tanyanya tenang. Indra mengangguk cepat. “Iya. Belakangan… gak bisa keras, bahkan kalau sudah coba macam-macam.” Salsa tetap diam, hanya menatapnya. Lalu ia mendekat. Sangat dekat. Tangannya terulur. Ia menelusuri bagian jasnya, lalu menyentuh kerah Indra, merapikannya sedikit—kontak ringan yang tak berarti apa pun secara medis, tapi membuat tubuh Indra menegang. Napas Salsa terasa di wajahnya. Aroma parfumnya hangat dan tajam, seperti vanila bercampur kulit panas. “Kalau kau ingin hasil cepat,” bisiknya, “aku perlu lihat langsung kondisi dasarnya.” Ia melangkah ke arah pintu. Tanpa bicara. Klik. Pintu dikunci dari dalam. Salsa menoleh lagi. Tatapannya tak berubah. “Bukalah celanamu. Kita mulai sekarang.”“Wah gawat,” gumam Indra ketika melihat tiga orang itu tampak bersiap melakukan gangbang pada wanita yang sudah lemas dan tidak bisa melawan itu.Indra tampak bengong di dekat motor bututnya, kepalanya sedang berpikir keras untuk menolong. Meskipun dia sedikit mengerti bela diri, tapi dia sadar dia tidak bisa melawan mereka sekaligus. Mereka tiga orang dengan tubuh yang kekar, ototnya tampak menggelembung. Membayangkan ditonjoknya saja Indra sudah bergidik ngeri.“Ah, tapi aku tidak bisa membiarkan wanita itu jadi korban,” ucapnya.Dor! Dor! Dor! Dor!Indra nekat, hanya itu yang ada di dalam pikirannya sekilas. Menirukan suara tembakan yang entah apakah itu mirip atau tidak.“Polisi datang!” teriaknya.Ketiga orang itu kocar kacir melarikan diri sambil merapikan celana mereka yang sudah sempat diturunkan.“Menyerahlah, kalau tidak akan ditembak mati!”Indra benar-benar sudah pasrah, seandainya para penjahat itu menyadari kalau dia hanya menggertak, maka habislah dia.Tapi, ternyata ke
"Hotel?" tanya Indra ragu."Iya. Biar lebih rileks."Indra seperti kerbau dicocok hidung. Dia hanya menurut dan mengekor di belakang Gresa.Begitu tiba di luar ruangan, Salsa tampak berdiri dengan wajah cemas. Dia pura-pura sibuk dengan ponselnya."Saya bungkus yang ini," ujar Gresa kepada Salsa sambil menarik tangan Indra."Hah?" "Nanti pembayaran setelah saya kembalikan," sambung Gresa yang tidak peduli dengan kebingungan Salsa."Tapi-""Sudahlah, serahkan pada saya," potong Gresa cepat.Salsa hanya bisa memandang kepergian Indra dan Gresa dengan bengong. Tapi, entah mengapa di dalam hatinya merasa tidak rela Indra dibawa pergi."Dok..." Brumm!Salsa masih menatap mobil Gresa yang mengaum membawa Indra pergi."Dokter...""Eh, iya!" jawab Salsa tergagap dan setengah berteriak.Ternyata itu adalah Vina yang membawa hasil pemeriksaan pada Indra pada beberapa hari ini."Ini laporan untuk pasien atas nama Indra yang dokter minta," ujar Vina menyerahkan map plastik itu kepada Salsa .Sa
“Eh, jangan!” teriak Indra menahan.Namun terlambat, tangan Gresa lebih cekatan. Hanya butuh beberapa detik saja semua kancing kemeja itu sudah terlepas.“Bagaimana? Apa ini juga harus dilepaskan?” tanya Gresa menunjuk bra berwarna hitam itu.Indra dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu.”Gresa tergelak melihat Indra yang tampak gugup. “Aku ini pasien. Boleh dilakukan seperti apa saja. ikhlas kok.”“Iya, tapi—““Jangan banyak berpikir, ayo periksa aku,” potong Gresa cepat sambil melemparkan bra nya kea rah Indra. beruntungnya Indra memiliki refleks yang begitu baik, dia bisa menangkap bra itu hingga tidak jatuh ke lantai.Tangan Indra gemetar, padahal baru memegang bra nya saja. Tapi, dia sudah panas dingin. Bagaimana tidak? Kini dia bisa melihat tubuh bagian atas gresa tanpa mengenakan sehelai benangpun. Dia bingung, mau menolak tapi juga tergoda.Seperti kucing yang dikasih ikan, matanya pasti membelalak semangat. Tapi, ada rasa sungkan mengingat siapa Gresa.“Baiklah, a
“Indra, kenapa kamu disini?”“Sa… saya terapis,” jawab Indra gugup.Kini, bukan hanya gugup karena harus memberikan terapi kepada pasiennya, Indra juga gugup melihat siapa pasiennya, yang tidak lain adalah Gresa.“Astaga, dunia ini sempit sekali,” kekeh Gresa santai.Indra menatap Gresa bingung, Indra terpaku. Dia tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini—memberikan terapi pada wanita yang dikenalnya, dan bahkan belum lama ini gagal ditemuinya. Kini, mereka malah bertemu di situasi aneh seperti ini.Gresa duduk di depannya, lalu menghela nafas panjang. “Terima kasih. Berkat kamu, aku jadi tahu kalau suami aku selingkuh.”“Hah?” Indra mengerutkan dahi.Indra semakin bingung, selama beberapa hari ini dia tidak kemana-mana. Hanya menghabiskan waktu di klinik, melakukan berbagai kegiatan, mulai dari memperhatikan para pengunjung, hingga meneruskan proyek novelnya. Dia yakin tidak pernah membongkar perselingkuhan siapa pun.Dia merasa tidak melakukan apapun, tidak juga membongkar
“Tapi—”“Sttt… ini bagian dari prosedur pengobatan.” Vina menempelkan telunjuk di bibir Indra. Gerakannya tenang, tapi matanya tajam.Tanpa memberi waktu untuk protes, ia mengikat tubuh Indra ke kursi dengan gerakan cepat. Jika di video tadi yang terikat adalah perempuan, kini justru Indra yang menjadi ‘korban’.“Sus… kenapa saya diikat?” tanya Indra, nafasnya mulai memburu.“Ikuti saja semua tahapannya kalau mau sembuh. Kalau tidak, silakan keluar sekarang.” Suara Vina datar, jelas sudah kehilangan kesabaran atas protes Indra sejak tadi.Indra hanya bisa pasrah. Berontak pun percuma, kini tubuhnya terikat pada kursi. Sedangkan Vina mulai menggerayangi tubuhnya. Jika Salsa dan Lita memperlakukannya dengan lembut, Vina kebalikannya. Dia menampar wajah Indra dengan keras, kemudian dengan lidahnya dia menjilatnya, seolah itu bisa menghilangkan rasa sakit yang baru saja diterimanya.“Apakah ini yang bermasalah?” tanya vina yang sedang berlutut di depan paha Indra.“Iya, Sus,” jawab Indra
“Nanti sama perawat. Aku buru-buru,” ucap Salsa sambil setengah berlari keluar kamar, bahkan tak sempat menoleh.Indra hanya bisa mematung, menatap kepergian wanita itu. Tubuhnya masih berada di puncak hasrat, tapi harus ditinggalkan begitu saja. Rasanya seperti bom waktu yang sudah siap meledak di kepalanya—tapi tiba-tiba dimatikan.Sakit. Menyiksa.“Ah, gagal. Belum rezeki kamu,” gumam Indra sambil menatap dengan oba bagian bawah perutnya yang kini benar-benar sudah kembali terkulai lemas. Entah apa karena hasrat yang tidak mencapai puncak klimaks atau memang tertidur dengan sendirinya seperti kebiasaannya. Yang jelas kini Indra tahu kalau ‘dia’ belum sembuh.Sambil memegangi kepala yang ikut nyut-nyutan, Indra mencoba “mengusahakan” sendiri dengan tangannya. Tapi sia-sia. Tak ada tanda-tanda kehidupan.“Sial…” makinya lirih.Hampir tengah hari, Indra baru keluar dari kamar. Dia segera menuju ke klinik, ternyata saat ini klinik cukup ramai. Dan ini baru pertamanya Indra melihat ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments