Home / Romansa / THE HEIR / Suara Perut

Share

Suara Perut

Author: Olivia Yoyet
last update Last Updated: 2021-03-23 22:50:29

-3-

"Aku tidak mau!" tegas Nadine, tak peduli saat Theo mengernyitkan dahi. "Coba deh kamu pikir, gimana caranya bisa balas dendam kalau hidup sederhana?" tanya Nadine dengan mata menyorot tajam. 

Theo mengusap rambut dengan tangan, merasa bahwa ucapan Nadine ada benarnya. Pria bertubuh tinggi itu memasukkan tangan ke saku celana dan menyandarkan diri ke dinding. "Oke, saya setuju. Tapi kita tidak akan tinggal di sini," ujarnya. 

"Hmm, terus mau tinggal di mana?" 

"Rumah saya." 

"Tidak mau! Rumahmu ... sempit." 

Theo terkekeh, mengangguk menyetujui pendapat Nadine. Rumah miliknya memang kecil, hanya sebuah rumah di perumahan sangat-sangat sederhana sekali. 

"Begini saja, supaya adil, kita gantian tiap minggunya tinggal di mana. Karena aku jelas-jelas tidak mau dianggap mengejar kekayaanmu," usul Theo. Sengaja mengubah panggilan dari saya ke aku, agar bisa merasa lebih dekat. 

Nadine tampak terdiam sesaat, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui usul Theo. Perempuan berambut panjang itu membalikkan tubuh dan jalan menuju unitnya. Menoleh sekilas pada pria bertubuh tinggi tersebut dan melambaikan tangan memanggil. 

Theo perlahan mendekat dan berhenti tepat di depan Nadine yang seketika merasa canggung. Perasaan aneh yang baru kali ini dia rasakan saat bersama Theo, setelah sekian lama mereka berteman. 

"Bersiap-siaplah, kita ke rumah orang tuaku," ujar Nadine sambil menunduk. 

"Oke, tunggu sebentar, aku mau ngambil pakaian ganti di mobil," sahut Theo sembari berbalik dan jalan memasuki lift kembali. 

***

Satu jam kemudian, kedua orang tersebut sudah bersiap di mobil. Perjalanan menuju Kota Bogor kali ini ditempuh dengan lancar. Lalu lintas yang tidak terlalu padat di pagi menjelang siang ini membuat kendaraan bisa melaju cepat. 

Nadine meminta Theo untuk berhenti di rest area. Mereka duduk di sebuah meja milik pedagang di situ dan menikmati sarapan sederhana. 

"Nanti kamu nggak perlu banyak bicara, cukup aku aja," ucap Nadine. 

"Kenapa? Mereka pasti akan bertanya-tanya alasan kita ingin segera menikah," sahut Theo. 

"Makanya kubilang juga biar aku yang bicara. Kamu itu terlalu jujur orangnya. Nggak bisa jaga rahasia." 

Theo mengulaskan senyuman tipis, dalam hati mengakui bahwa Nadine benar kali ini. Sifatnya yang terlalu jujur itu kadang menyulitkan, tapi Theo tidak ingin mengubah hal tersebut. 

Kejujuran, tanggung jawab dan kesetiaan adalah sikap-sikap yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Theo tiba-tiba merasa rindu untuk bertemu keluarganya di Belitung.

Perjalanan mereka berlanjut. Setibanya di kediaman orang tua Nadine, Theo turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk bos-nya. Hal biasa yang selalu dilakukan, tapi hari ini ada perasaan yang berbeda. Terutama saat Nadine menyambut uluran tangan pria itu dengan pipi yang merona. 

Perempuan berhidung mancung itu melangkah pelan sambil bergandengan tangan dengan Theo. Mereka memasuki pintu depan rumah yang telah dibukakan oleh seorang asisten rumah tangga. 

"Mami dan papi di mana, Bi?" tanya Nadine sembari jalan memasuki ruang tamu yang megah. 

"Di teras belakang, Non,' jawab Bi Sumi, perempuan paruh baya yang telah cukup lama bekerja di sini. 

Nadine mengajak Theo menuju teras belakang rumah. Semakin dekat dengan tempat itu, debar di hatinya semakin tidak menentu. Tangannya mendadak dingin, dan hal itu tidak luput dari perhatian Theo. 

Setibanya di tempat tujuan, Nadine melepaskan tangan Theo dan jalan menghampiri maminya yang sedang melukis. Menciumi kedua pipi perempuan kesayangan itu sambil berpelukan. 

"Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, Sayang?" tanya Bu Rianti, maminya Nadine. 

"Sengaja, Mi, biar jadi kejutan," jawab sang putri yang beranjak menghampiri papinya yang sudah merentangkan tangan dan memeluk putrinya dengan penuh kerinduan. 

"Tambah cantik aja," puji Pak Daniel, papinya Nadine sambil mengecup pipi putrinya. 

"Tentu dong, kan nurun dari mami," timpal sang istri sambil menyalami Theo. 

"Iyain aja deh, daripada papi disuruh tidur sendiri," canda Pak Daniel yang membuat Nadine tersenyum lebar. "Ayo, Sayang, kita duduk dulu," ajak sang papi yang dibalas anggukan sang putri. 

Keempat orang tersebut duduk di dua kursi panjang di teras belakang. Pak Daniel beradu pandang dengan sang istri, saat melihat Nadine yang berpegangan tangan dengan Theo. 

"Papi, Mami, kedatangan kami ke sini adalah ... untuk meminta izin. Kami akan segera menikah," ujar Nadine dengan suara pelan. 

Pak Daniel terdiam sesaat, sementara Bu Rianti terperangah dengan mata membulat. Merasa tidak percaya dengan ucapan anak gadisnya itu yang sangat tidak disangka-sangka. 

"Gimana, Sayang? Mami kok bingung, ya," sahut Bu Rianti sambil memandangi wajah kedua anak muda di hadapan itu secara bergantian. 

"Maaf, saya hanya ingin menegaskan ucapan Nadine, bahwa kami hendak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat," timpal Theo. 

Tiba-tiba Pak Daniel berdiri dengan raut wajah tegang dan tangan mengepal. "Papi tidak setuju kalau kamu mau menikah dengan Theo, Nadine!" tegas pria bertubuh tegap itu dengan suara keras. 

"Tapi, Pi, aku ... mencintai Theo," balas Nadine yang membuat papinya semakin emosi. 

"Mau ditaruh di mana muka papi kalau kamu nikah sama supir!" 

"Pi, tolonglah, kami saling mencintai. Theo adalah orang yang bertanggung jawab, Pi. Aku merasa nyaman dengannya. Hal itu sangat berbeda bila bersama dengan Bagas." Nadine berdiri dan menghampiri papinya. Berharap pria yang menjadi cinta pertamanya itu mau mengubah keputusan. 

"Sekali papi bilang tidak, itu berarti tidak!" Pak Daniel membalikkan tubuh dan jalan menjauh. 

Nadine yang hendak mengejar akhirnya menunda keinginan karena maminya menggeleng keras. "Jangan dikejar, percuma. Kalau sedang emosi papimu jangan dilawan," tukas Bu Rianti sambil menarik lengan putrinya. 

"Sini, duduk dekat mami, kita bahas sekali lagi. Mami benar-benar penasaran dengan alasan kalian untuk menikah," lanjut perempuan dewasa itu seraya mengusap lengan putrinya. 

Nadine menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menceritakan semuanya sesuai dengan apa yang telah disepakatinya dengan Theo. Bu Rianti mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sedikit pun. 

Hingga tibalah saat makan siang. Pak Daniel tetap tidak mau keluar dari kamar. Permintaan putrinya untuk makan bersama pun tidak digubris sama sekali. Hal itu membuat Nadine bersedih. Ogah-ogahan makan dan hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa selera. 

Bu Rianti akhirnya menyusul sang suami ke kamar. Duduk di sebelah kanan dan mengusap punggung pria yang telah menikahinya selama puluhan tahun itu dengan lembut. 

"Kita makan bareng, yuk, Pi," rayunya dengan suara pelan.

"Belum lapar," jawab Pak Daniel yang tengah tengkurap. 

"Mami suapin." 

"Papi bisa makan sendiri." 

"Ayolah, kasian Nadine udah nungguin dari tadi." 

Pria berkulit putih tersebut bergeming. Berusaha menekan rasa lapar yang mendera. Merasa gengsi bila ikut makan bersama yang lainnya, karena tadi dia sudah menolak. 

Akan tetapi, suara perutnya tiba-tiba bergema di ruangan luas ini. Bu Rianti menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Namun akhirnya dia tak mampu menahan lagi dan tertawa terbahak-bahak. Tak peduli suaminya mencebik. 


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • THE HEIR   Musuh Jadi Sahabat

    -57- Beberapa hari kemudian. Di kediaman Theo tampak banyak pria tengah berkemas-kemas dan mengangkut berbagai perabotan ke mobil truk yang telah disewa. Mereka adalah karyawan bengkel yang sengaja diliburkan, serta beberapa sahabat Theo yang bersedia membantu. Sementara Nadine dan sahabat-sahabatnya telah lebih dulu berangkat menuju kediaman baru mereka di kawasan Kalibata. Para perempuan itu bersama ketiga calon nenek tampak sibuk mempersiapkan aneka menu makan siang buat para pria pengangkut barang. Di ruang tamu, keempat pria paruh baya tengah serius membahas perkembangan kasus mereka melawan Bisma Hartawan dan sang putra, Bagaskara Aditya Hartawan. Wajah Daniel tampak semringah karena yakin pihaknya akan menang di pertempuran kali ini, sebab pihak pengacara pihak Bisma telah menghubunginya dan meminta berdamai. Satu jam kemudian, rombongan yang dipimpin oleh Theo tiba di rumah modern mini

  • THE HEIR   Peraduan Panas

    -56-Waktu terus berjalan, proses persidangan Bagaskara dan anak buahnya berlangsung dengan alot. Hal ini disebabkan sikap Bagaskara yang enggan untuk mengakui perbuatannya, padahal semua bukti-bukti sudah sangat memberatkan.Pihak pengacaranya pun sudah lelah untuk memperjuangkan pria bertubuh tinggi besar itu, karena sikap arogan Bagaskara yang masih memandang rendah orang lain, serta kepongahan ayahnya, Bisma Hartawan.Pria paruh baya itu sampai melakukan tindakan frontal, melaporkan Fenita dan Theo dengan tuduhan palsu. Hal itu membuat Daniel murka, demikian pula dengan Herman Kween dan Toni Liem.Malam ini, ketiga pria paruh baya itu berkumpul di ruang tamu kediaman Theo. Sedangkan istri-istri mereka duduk bersama Nadine yang tengah hamil tua di ruang tengah.Theo, Anto dan Pak Dibyo juga ikut dalam obrolan serius para pria di depan. Keenam orang tersebut membahas berbagai rencana untuk melakukan serangan balik pa

  • THE HEIR   Tersisihkan tetapi tetap berkilau

    -55-Suasana kelenteng yang termasuk tertua di daerah Belitung itu tampak cukup ramai. Dua keluarga besar menghadiri acara penyematan dan pengubahan marga, hal yang sangat jarang terjadi bahkan nyaris tidak pernah dilakukan di tempat tersebut.Theo menjalankan berbagai ritual acara dengan penuh kesungguhan. Dengan didampingi oleh sang ayah dan ibu tiri di sebelah kanan, serta Herman Kween dan Ida Deswita di sebelah kiri.Nadine, Tania dan Evan berada di belakang mereka, bersama dengan Sherly dan Dessy, dua adik se-ayah Theo. Kesepuluh orang tersebut mengikuti setiap bagian acara dengan serius. Saat semuanya selesai, rombongan tersebut beserta seluruh keluarga besar yang mengikuti acara sejak awal, memasuki kendaraan masing-masing dan beriringan menuju restoran sekaligus hotel, yang telah dipesan oleh Toni Liem.Setibanya di tempat tujuan, semua penumpang turun dan memasuki restoran yang telah ditutup untuk umum selama satu ha

  • THE HEIR   Suami Tak Berguna

    -54-Theo mengusap wajah dan leher Nadine dengan menggunakan waslap basah, sangat berhati-hati ketika menyentuh leher istrinya yang tampak lebam. Hal yang sama juga dilakukannya di bagian lain, hingga tubuh bagian atas Nadine akhirnya terbasuh. Dengan sabar dan telaten Theo membantu Nadine berganti pakaian.Hati Theo berkecamuk, antara ingin marah sekaligus sedih. Beberapa lebam yang menghiasi tangan dan kaki Nadine membuatnya geram. Bertambah emosi ketika Nadine akhirnya bisa menceritakan tentang peristiwa dirinya yang nyaris diperkosa oleh Bagaskara, sebelum pria itu dipukul oleh Yuri dan jatuh pingsan."Sekarang dia tidak akan bisa mengganggu lagi, Sayang," ucap Theo dengan lembut sambil menyisiri rambut panjang Nadine dengan pelan."Kenapa?" tanya Nadine dengan suara parau. Cekalan tangan Bagaskara di leher dan rahang membuatnya kesulitan untuk berbicara."Dia sudah ditangkap. Om Dibyo memastikan bahwa peng

  • THE HEIR   Takut Kehilanganmu

    -53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon

  • THE HEIR   Over Protektif

    -52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status