-2-
Nadine menekan kepala Theo, dan memperluas sentuhan dengan isapan kuat. Napas gadis itu mulai terengah-engah, demikian pula dengan Theo. Tangan pria itu merambat naik. Menyusuri punggung hingga leher belakang Nadine. Berpindah ke leher depan dan mengusap rambut dan pipi gadis itu dengan lembut.Sejenak pria itu terdiam, menatap wajah perempuan yang tengah dibuai dalam dekapan dengan hasrat yang bergelora. Namun, alarm di otaknya berbunyi dan membuat Theo menghentikan ciuman. Menarik diri dan menempelkan ibu jari di sudut bibir Nadine yang masih memejamkan mata.
"Tidurlah, Bu, sudah malam," bisik Theo dengan suara bergetar.
Nadine membuka mata dan sejenak merasa linglung. Gadis berkulit putih bersih ini memiringkan kepala ke kanan sambil mengusap rahang Theo yang mengeras. "Bukankah ini yang kamu inginkan, Bagas? Ayolah, aku akan memberikannya padamu," lirih Nadine dengan mata berembun.
Theo menatap wajah sang bos dengan perasaan yang campur aduk. Antara bingung dengan berhasrat layaknya seorang pria normal. Namun, hatinya lebih dominan. Theo menurunkan tubuh Nadine ke kasur dan merapikan pakaian gadis itu yang sedikit tersibak.
Pria bertubuh tinggi itu berusaha untuk berdiri tapi lagi-lagi Nadine menarik tangannya hingga hilang keseimbangan. Theo terjatuh di kasur dengan tubuh miring ke kiri. Berusaha untuk bangkit lagi tapi Nadine menaiki tubuh pria itu dan menelentangkannya.
Mata Theo membulat saat Nadine menarik blusnya hingga terlepas, melemparkan benda berbahan lembut itu ke lantai dan membungkuk. Tangan Nadine bergerak membuka kancing kemeja Theo, dan pria itu tidak bisa mencegahnya lagi.
Usapan lembut jemari Nadine di bagian tengah tubuh membuat Theo mengerang tanpa sadar. Pria itu seakan-akan lupa dengan status mereka sebagai bos dan karyawan. Otaknya sekarang penuh dengan bayangan adegan film biru yang pernah ditonton bersama teman-temannya.
Penolakan Theo ternyata berubah menjadi tuntutan untuk dipuaskan dan memuaskan. Pria itu mengusap kulit halus Nadine dan melepaskan penyangga bukit milik perempuan itu. Napas Theo memburu saat melihat keindahan di hadapan. Tanpa berpikir panjang pria itu menarik tubuh Nadine ke arahnya, dan memuaskan diri dengan kecantikan lahiriah gadis itu.
Desahan kecil dari bibir Nadine membuat Theo semakin berani. Dia memiringkan tubuh dan menjatuhkan tubuh gadis itu ke kanan. Kecupan berpadu dengan gerakan tangan yang semakin berani, hingga semua penutup tubuh terlepas.
Theo berpindah ke atas Nadine, menarik napas sesaat sebelum akhirnya menyatukan diri mereka dengan pelan. Jeritan Nadine saat pria itu memasuki dirinya, dibungkam Theo dengan ciuman tanpa jeda. Desahan napas berpadu dengan lenguhan panjang saat keduanya memadu kasih.
Nadine menarik kepala Theo dan melumat bibir pria itu dengan hasrat yang menggebu. Desahannya berubah menjadi jeritan saat mencapai puncak kenikmatan duniawi. Theo mempercepat gerakan dan melepaskan semua rasa dalam tubuh perempuan itu.
Sejenak keduanya masih dalam posisi yang sama. Theo mengusap rambut Nadine yang berantakan dan mengecup dahi perempuan itu, sebelum menarik diri dan rebah di sampingnya.
Nadine memiringkan tubuh dan memeluk pinggang Theo. Bulir bening luruh dari sudut matanya yang disertai senyuman tipis di bibir, merasa bahagia telah memberikan apa yang Bagas minta sejak dulu.
Theo menarik selimut yang terlempar ke sudut tempat tidur dan menyelimuti tubuh mereka. Pria itu memiringkan tubuh dan mengusap lengan Nadine beberapa kali, sebelum akhirnya dia pun ikut terlelap.
***
Dering alarm ponsel membuat Nadine terbangun. Perempuan itu mengerjapkan mata beberapa kali sambil menguap. Menggeliat sesaat sebelum menyadari bahwa tubuhnya terasa sakit, terutama di bagian bawah perut.
Nadine terperangah saat menyadari dirinya yang polos tanpa busana. Bertambah kaget ketika melihat sosok Theo yang masih terlelap di sampingnya.
"Kenapa Theo ada di sini? Apa yang telah terjadi?" batinnya.
Perempuan berparas cantik itu akhirnya menyadari apa yang telah terjadi. Samar-samar dia mengingat kejadian kemarin malam, kemudian memejamkan mata dan terisak-isak.
Theo terbangun saat mendengar suara tangisan di dekatnya. Pria itu memandangi perempuan yang tengah menangis itu dengan segudang rasa bersalah.
"Bu, maaf," lirih Theo sembari bangkit dan duduk dengan bertahan ke tangan kanan.
Nadine membuka mata dan mengusap sudutnya dengan jari. Bangkit dan memandangi wajah Theo sambil menutupi bagian tengah tubuh dengan selimut.
"Kenapa ini bisa terjadi, Theo?" tanya Nadine dengan suara bergetar.
"Ibu mabuk berat, dan saya ...." Theo tidak bisa melanjutkan ucapan karena merasa sangat bersalah.
"Kenapa kamu nggak nolak?" pekik Nadine.
"Udah, Bu, tapi ... Ibu maksa terus." Theo berusaha membela diri karena itulah yang sebenarnya terjadi.
"Harusnya kamu pergi aja, tenagamu pasti kuat untuk melawan ajakanku." Nadine kembali terisak dan menutup wajahnya dengan tangan.
Theo beranjak mendekat dan merangkul pundak perempuan itu. Merapatkan tubuh mereka dan mengusap rambut Nadine yang tergerai. "Maaf," lirihnya. "Saya akan bertanggung jawab untuk menikahi Ibu," lanjutnya yang membuat Nadine tiba-tiba berhenti menangis.
Perempuan itu menengadah dan menatap wajah pria berahang kokoh itu dengan perasaan yang aneh. "Tidak, aku tidak akan menikah denganmu. Sekarang pergilah, aku ingin sendiri." Nadine berusaha mengucapkan kalimat itu dengan suara tegas. Walaupun dia tidak yakin dengan ucapannya.
Theo menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Janjinya untuk bertanggung jawab malah dibalas Nadine dengan ucapan yang menyinggung perasaan.
"Baik, Bu. Saya akan pergi. Tapi, saya akan tetap menepati janji, baik Ibu mau ataupun tidak," ucap Theo sambil mengeraskan rahang dan perlahan menjauh.
Pria itu memungut pakaiannya di lantai dan mengenakan dengan asal-asalan. Kemudian, jalan menuju pintu dan membuka benda bercat biru tua itu sambil melirik sekilas ke Nadine. Theo jalan ke luar, memasuki kamar mandi di sudut dapur dan bersandar di pintunya.
Pria itu mengusap wajah beberapa kali dengan tatapan menerawang. Merasa bersalah telah mengambil kehormatan bos-nya sendiri. Merutuki diri yang tidak bisa menjaga nafsu duniawi.
Theo membersihkan diri dengan cepat dan ke luar. Jalan menuju lift dan memencet tombolnya. Saat pintu lift terbuka Theo bergegas masuk. Pandangannya terarah pada sesosok perempuan yang berlari ke lift sambil meneriakkan namanya.
"Oke, aku bersedia menikah denganmu, tapi dengan satu syarat," ujar Nadine dengan napas tersengal-sengal sesaat setelah tiba di depan lift.
Theo menahan tombol lift dan beranjak ke luar. "Syarat apa?" tanyanya dengan rasa penasaran tingkat tinggi.
"Pernikahan kita hanya berlangsung satu tahun. Aku ingin membalas dendam pada Bagas dan perempuan pencuri itu. Bagaimana, mau?" Nadine balas bertanya.
Theo berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk menyetujui. Seulas senyuman manis di wajah Nadine membuat jantungnya berdetak lebih kencang. "Tapi, saya juga punya syarat, Bu," balasnya yang membuat Nadine mengernyitkan dahi.
"Apaan? Aku penasaran." Nadine melipat tangan di depan dada dan menunggu Theo menyelesaikan ucapannya.
"Ibu harus melepaskan semua atribut kekayaan, dan hidup sederhana dengan saya."
-57- Beberapa hari kemudian. Di kediaman Theo tampak banyak pria tengah berkemas-kemas dan mengangkut berbagai perabotan ke mobil truk yang telah disewa. Mereka adalah karyawan bengkel yang sengaja diliburkan, serta beberapa sahabat Theo yang bersedia membantu. Sementara Nadine dan sahabat-sahabatnya telah lebih dulu berangkat menuju kediaman baru mereka di kawasan Kalibata. Para perempuan itu bersama ketiga calon nenek tampak sibuk mempersiapkan aneka menu makan siang buat para pria pengangkut barang. Di ruang tamu, keempat pria paruh baya tengah serius membahas perkembangan kasus mereka melawan Bisma Hartawan dan sang putra, Bagaskara Aditya Hartawan. Wajah Daniel tampak semringah karena yakin pihaknya akan menang di pertempuran kali ini, sebab pihak pengacara pihak Bisma telah menghubunginya dan meminta berdamai. Satu jam kemudian, rombongan yang dipimpin oleh Theo tiba di rumah modern mini
-56-Waktu terus berjalan, proses persidangan Bagaskara dan anak buahnya berlangsung dengan alot. Hal ini disebabkan sikap Bagaskara yang enggan untuk mengakui perbuatannya, padahal semua bukti-bukti sudah sangat memberatkan.Pihak pengacaranya pun sudah lelah untuk memperjuangkan pria bertubuh tinggi besar itu, karena sikap arogan Bagaskara yang masih memandang rendah orang lain, serta kepongahan ayahnya, Bisma Hartawan.Pria paruh baya itu sampai melakukan tindakan frontal, melaporkan Fenita dan Theo dengan tuduhan palsu. Hal itu membuat Daniel murka, demikian pula dengan Herman Kween dan Toni Liem.Malam ini, ketiga pria paruh baya itu berkumpul di ruang tamu kediaman Theo. Sedangkan istri-istri mereka duduk bersama Nadine yang tengah hamil tua di ruang tengah.Theo, Anto dan Pak Dibyo juga ikut dalam obrolan serius para pria di depan. Keenam orang tersebut membahas berbagai rencana untuk melakukan serangan balik pa
-55-Suasana kelenteng yang termasuk tertua di daerah Belitung itu tampak cukup ramai. Dua keluarga besar menghadiri acara penyematan dan pengubahan marga, hal yang sangat jarang terjadi bahkan nyaris tidak pernah dilakukan di tempat tersebut.Theo menjalankan berbagai ritual acara dengan penuh kesungguhan. Dengan didampingi oleh sang ayah dan ibu tiri di sebelah kanan, serta Herman Kween dan Ida Deswita di sebelah kiri.Nadine, Tania dan Evan berada di belakang mereka, bersama dengan Sherly dan Dessy, dua adik se-ayah Theo. Kesepuluh orang tersebut mengikuti setiap bagian acara dengan serius. Saat semuanya selesai, rombongan tersebut beserta seluruh keluarga besar yang mengikuti acara sejak awal, memasuki kendaraan masing-masing dan beriringan menuju restoran sekaligus hotel, yang telah dipesan oleh Toni Liem.Setibanya di tempat tujuan, semua penumpang turun dan memasuki restoran yang telah ditutup untuk umum selama satu ha
-54-Theo mengusap wajah dan leher Nadine dengan menggunakan waslap basah, sangat berhati-hati ketika menyentuh leher istrinya yang tampak lebam. Hal yang sama juga dilakukannya di bagian lain, hingga tubuh bagian atas Nadine akhirnya terbasuh. Dengan sabar dan telaten Theo membantu Nadine berganti pakaian.Hati Theo berkecamuk, antara ingin marah sekaligus sedih. Beberapa lebam yang menghiasi tangan dan kaki Nadine membuatnya geram. Bertambah emosi ketika Nadine akhirnya bisa menceritakan tentang peristiwa dirinya yang nyaris diperkosa oleh Bagaskara, sebelum pria itu dipukul oleh Yuri dan jatuh pingsan."Sekarang dia tidak akan bisa mengganggu lagi, Sayang," ucap Theo dengan lembut sambil menyisiri rambut panjang Nadine dengan pelan."Kenapa?" tanya Nadine dengan suara parau. Cekalan tangan Bagaskara di leher dan rahang membuatnya kesulitan untuk berbicara."Dia sudah ditangkap. Om Dibyo memastikan bahwa peng
-53-Keempat orang di ruang kerja Elsa itu tampak sangat tegang. Theo tak henti-hentinya berjalan mondar-mandir sepanjang ruangan. Sementara Elsa dan Anto menelepon ke sana kemari, mencari informasi kemungkinan tempat Nadine dibawa. Sementara Santi nyaris tak berhenti menangis sambil menyandarkan tubuh ke sofa.Ketika sosok Pak Dibyo, pengacara perusahaan tiba bersama tiga orang asistennya, mereka langsung membahas tentang kejadian penculikan Nadine. Rekaman cctv di depan gedung kantor event organizer itu sayangnya tidak bisa menangkap nomor plat kendaraan tersebut. Demikian pula dengan sosok orang yang menarik Nadine masuk ke mobil. Yang tampak hanya sosok pemilik warung dan dua orang tenaga satuan pengamanan yang berteriak sambil berusaha mengejar mobil hitam itu. Namun, sayangnya mobil itu berhasil kabur."Om belum buat laporan ke polisi, karena ingin menyelidiki hal ini terlebih dahulu," ujar Pak Dibyo, sesaat setelah mereka selesai menon
-52-Tangan Nadine bergetar hebat ketika melihat hasil alat tes kehamilan, yang baru saja digunakannya di toilet klinik praktek dokter. Bulir bening luruh dari matanya tanpa sempat ditahan lagi. Isak tangisnya terdengar hingga ke luar pintu, di mana Theo telah menunggu dengan cemas."Sayang, udah selesai?" tanya Theo sambil mengetuk pintu toilet.Saat pintu itu terbuka, pria tersebut menatap wajah sang istri yang masih menangis. Berjuta tanya muncul di dada ketika Nadine menghambur memeluk tubuh Theo dengan erat. "Gimana hasilnya?" tanya Theo, benar-benar penasaran.Nadine tidak menjawab, melainkan mengulurkan tangan dan memperlihatkan alat tes kehamilan itu ke arah Theo yang kebingungan."Ini, maksudnya apa? Aku nggak ngerti," ucap Theo sembari membolak-balikkan alat tersebut."Garis dua, Sayang," sahut Nadine."Artinya?""Positif. Aku ... hamil."Seper