Share

Empat

Di sebelah kiri kami, di dekat dinding, pianis mulai beraksi dan membenahi lembaran partitur pada kisi-kisi kayu yang ada di depannya. Miss Natalie menganggap dirinya seperti seorang analis politik. Dan tepat saat dia mulai mengecam usul kenaikan pajak penjualan, sang pianis menyerbu tuts piano. Penuh kegembiraan saat dia memainkan alunan pembukaan dengan suara berdentang-dentang. Orang-orang itu pun meraih buku nyanyian mereka dan menunggu bait pertama. Miss Natalie tidak melewatkan satu ketukan pun. Saat ini dia pemimpin kor. Dia mengangkat tangan, kemudian menepukkannya untuk meminta perhatian, lalu mulai melambaikannya ke segala penjuru bersama nada pembukaan dari bait pertama. Mereka yang tak lumpuh perlahan bangkit berdiri.

Lolongan itu mereda secara dramatis pada bait kedua. Kata-katanya tidak dihapal dan hampir semua orang malang ini tidak dapat melihat lebih jauh dari hidung mereka, jadi buku nyanyian itu tidak berguna sama sekali. Mulut Neely tertutup, namun dia lirih-lirih bersenandung ke langit-langit.

Piano itu tiba-tiba berhenti saat lembaran partitur jatuh dari kisi-kisi dan bertebaran di lantai. Menandakan lagu berakhir. Mereka menatap sang pianis yang menggapai-gapai dan menggerak-gerakkan kaki di tempat lembaran musik yang jatuh itu terkumpul.

“Terima kasih!” Miss Natalie berteriak ke mikrofon, sementara orang-orang itu terempas kembali ke tempat duduk. “Terima kasih. Musik merupakan berkah yang hebat. Mari kita mengucapkan terima kasih pada Tuhan untuk musik yang indah.”

“Amin!” Neely menggaung.

“Amin,” orang-orang jompo lainnya dari deretan belakang mengulangi disertai dengan anggukan.

“Terima kasih,” kata Miss Natalie. Dia menoleh dan tersenyum pada Bolie dan aku. Kami berdua membungkuk ke depan, bertelekan siku, dan satu kali lagi memandang orang banyak itu. “Saat ini,” katanya, “untuk acara hari ini, kami begitu gembira karena kedatangan Profesor Stephan di sini dengan beberapa mahasiswanya yang tampan dan cerdas.” Dia melambaikan tangannya yang bergelambir ke arah kami, tersenyum dengan giginya yang kuning dan kelabu ke arah Stephan yang tanpa suara sedang berjalan ke sampingnya. “Bukankah mereka tampan?” Dia bertanya sambil melambaikan tangan ke arah kami. “Seperti yang kalian ketahui,” Miss Natalie meneruskan bicara ke mikrofon, “Profesor Stephan memberi kuliah hukum di Universitas Southaven. Di situlah putra bungsu saya belajar, namun tidak lulus, dan setiap tahun Profesor Stephan mengunjungi kita di sini bersama para mahasiswanya yang akan mendengarkan masalah hukum kalian dan memberikan nasihat yang selalu bagus, dan bisa saya tambahkan, selalu gratis.” Dia menoleh kembali melontarkan senyum sinting pada Stephan. “Profesor Stephan, atas nama kelompok kami, saya mengucapkan selamat datang kembali ke Lincoln Garden. Kami berterima kasih atas perhatian anda pada setiap masalah warga senior kita. Terima kasih. Kami mencintai anda.”

Dia mundur dari podium dan mulai dengan bertepuk tangan keras-keras, mengangguk penuh dengan semangat pada rekan-rekannya untuk berbuat hal yang sama, namun tidak satu orang pun yang mengangkat tangan, termasuk Neely.

“Dia dipuja di sini,” gumam Bolie.

“Ya, setidaknya itu. Setidaknya dia dicintai,” jawabku. Mereka sudah menghabiskan sepuluh menit duduk di sini. Ketika itu makan siang telah lewat, dan aku melihat beberapa kelopak mata jadi berat. Mereka akan mendengkur ketika Stephan selesai.

Stephan melangkah ke podium, mengatur mikrofon, berdeham, dan menunggu Miss Natalie mengambil tempat duduk di deretan depan. Begitu duduk, dia berbisik gusar pada laki-laki pucat di sampingnya, “Kau seharusnya tadi bertepuk tangan!” Laki-laki itu tidak mendengar.

“Terima kasih, Miss Natalie,” kata Stephan. “Pasti menyenangkan jika berkunjung ke Lincoln Garden.” Suaranya terdengar tulus dan tidak ada keraguan dalam pikiraku bahwa Profesor Stephan Gerald benar-benar merasa memperoleh kehormatan untuk ada di sini sekarang, di tengah geudng yang menekan perasaan ini, di hadapan kelompok manula yang menyedihkan ini, bersama dengan empat mahasiswa yang kebetulan masih tersisa di kelasnya. Stephan hidup untuk hal ini.

Dia memperkenalkan kami. Aku berdiri cepat dengan senyum tipis, kemudian kembali duduk dan sekali lagi memasang wajah serius. Stephan bicara soal jaminan kesehatan, pemotngan anggaran dan surat wasiat, pengecualian pajak, orang-orang yang tersisih dan pembayaran asuransi. Topik-topik itu berjatuhan seperti lalat. Celah-celah aturan Santunan Sosial, undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, peraturan rumah jompo, perencanaan pembagian hak milik dan obat bius. Dia melantur, ucapannya ruwet, sama seperti yang biasa diucapkan di dalam kelas. Aku menguap dan mengantuk juga. Neely mulai melirik jam tangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status